istri mantanku 8

34 0 0
                                    

#Istri_Mantanku 8

Rian sudah berangkat ke toko selepas sahur tadi, biasanya ia akan pulang saat tengah hari dan kembali ke toko lagi sampai sore. Seperti biasa, aku hanya berdua dengan Geo. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumah sudah pulang setelah pekerjaannya selesai.

Sejak aku pulang dari rumah sakit, Geo menjadi sangat penurut. Ia sering duduk bermain di dekatku tanpa rewel. Padahal biasanya ia paling suka keluar rumah dan bermain ke tempat temannya. Mungkin bocah itu kasihan padaku dan calon adiknya. Sekecil itu aku sudah bisa melihat watak Rian di diri Geo. Mereka sama-sama perhatian dan penyayang. Aku bersyukur memiliki mereka.

Sedikit banyak, aku memang mengurangi aktivitasku dan memilih berbaring di kasur. Namun, bagaimana pun, aku tak bisa terus-terus tiduran. Geo masih sangat membutuhkan pendampinganku. Entah untuk ke kamar kecil atau sekadar membuka pintu depan yang handlenya cukup keras.

Seperti saat ini, aku dan Geo yang tengah menonton TV di kamar, dikagetkan dengan suara ketukan pintu. Dengan hati-hati, aku turun dari ranjang dan berjalan perlahan menuju pintu depan.

"Sebentar ...," teriakku dari dalam. Berharap si tamu mau bersabar menungguku membuka pintu mengingat aku yang tak boleh berjalan cepat-cepat.

Kubuka pintu perlahan, menguak daunnya agak lebar agar bisa leluasa menyambut tamu. Aku terperangah demi melihat siapa yang datang. Sosok itu berdiri menjulang di depanku. Ia yang nyaris tak berubah sejak sembilan tahun lalu. Hanya saja terlihat lebih dewasa dengan kumis tipis di atas bibir. Selebihnya ia masih Fian yang dulu. Fian yang dagunya sebatas puncak kepalaku, sehingga mudah baginya menenggelamkanku dalam pelukannya ... dulu.

Aku mematung, menatap sosok yang kini tersenyum simpul. Mengatur debaran yang menggila di dada. Bukan karena rasa yang dulu masih ada, tapi karena hal lain. Aku takut, sungguh. Rasanya ada yang tidak beres akan terjadi. Firasat buruk itu seolah menguat dalam benak, membuatku was-was.

"Hai, Ayu."

"Ngapain kamu ke sini? Dari mana kamu tahu rumah aku?" todongku pada lelaki yang telah membuat amarahku naik hanya dengan melihat wajahnya. Sudah dua tahun aku dan Rian pindah dari rumah orang tuaku, menempati rumah kami sendiri yang jaraknya cukup jauh dari rumah Ibu.

"Aku ada perlu sama kamu, em ... katanya kamu baru pulang dari rumah sakit?"

"Kata siapa?"

"Rian"

"Rian?"

"Iya, makanya aku pengin jenguk kamu."

Lagi-lagi aku dibuat terperangah. Bagaimana bisa Rian memberi tahu Fian. Apa saja yang sudah mereka obrolkan hingga Fian bisa datang ke rumahku. Apa ini bagian dari rencana Rian untuk membuktikan kalau aku dan Fian tidak selingkuh?

"Hey, kok bengong, boleh aku masuk?" Fian menyadarkan lamunanku.

"Jangan! Rian nggak ada di rumah. Mending kamu pulang, aku baik-baik aja. Terima kasih sudah menjenguk."

Fian tampak kesal dengan usiranku. Sungguh aku tidak ingin mencari penyakit. Kedatangan Fian ke rumah saat Rian pergi bisa menjadi fitnah tak terbantahkan. Entah kenapa firasatku mengatakan, kalau aku harus berhati-hati. Ini bisa membuat Suli semakin yakin dengan tuduhannya.

"Nggak apa-apa kalo kamu nggak ijinin aku masuk, tapi, aku pengen ngomong sama kamu, sebentar aja. Plis ...."

"Ya udah ngomong!" perintahku ketus.

"Em, kayaknya kamu harus duduk deh, kamu keliatan pucet gitu."

Kuhela napas, menyadari kondisiku yang memang kurang baik. Dokter bahkan menyuruh tetap di tempat tidur selama di rumah karena aku sempat mengalami pendarahan ringan saat di rumah sakit.

"Ya udah duduk situ." Aku menunjuk kursi kayu yang ada di teras. Nada suaraku sedikit melunak, mencoba menenangkan hati yang penuh gemuruh.

Kami duduk bersisian di kursi yang berbeda. Fian terus menatapku lekat, membuat jengah. Jujur aku tidak nyaman dengan kedatangan Fian. Aku berharap, Rian segera pulang agar tak terjadi salah paham.

"Ay, kenapa sih kamu nggak bales inbox aku?"

"Aku nggak pegang HP sekarang!"

"Jangan bohong, Ay. Aku liat facebook kamu selalu aktif."

"Aku nggak bohong, Facebook aku mungkin aktif, tapi aku nggak pegang HP."

"Tapi bukannya ... kamu selalu baca pesan-pesan aku?"

"Bukan aku! Rian mungkin," ucapku cuek.

"Kamu jangan bercanda deh."

"Aku nggak bercanda! Bahkan sekarang HP aku dipegang Rian, dan aku nggak bisa buka karena ada passwordnya."

"Serius?"

"Iya! Udah deh, kalo emang kamu cuma mau ngomong itu mending kamu pulang, jangan sampe orang-orang mikir yang enggak-enggak."

"Tapi Ay, masalahnya aku semalem ngirim video kita dulu yang ...."

"Fian!" Aku memekik menyadari video yang mungkin dimaksud Fian.

"Jangan bilang kamu masih nyimpen itu?" serbuku khawatir.

"Maaf Ay, aku nggak pernah ngehapus apa pun tentang kenangan kita. Karena jujur, rasa aku sama kamu masih sama sampai sekarang. Aku nyesel udah ninggalin kamu dulu demi Suli."

"Astagaaa Fian! Kamu tuh bodoh apa gila sih? Kamu yang milih Suli kamu juga yang nyesel? Dan sekarang? Kamu ngirimin video kita dulu ke Rian? Kamu nggak waras tau! Kamu bisa ngancurin rumah tangga aku!"

"Aku nggak tahu kalo HP kamu dipegang Rian. Lagi pula emang kamu nggak nyadar kalo kamu juga udah ngancurin rumah tangga aku sama Suli? Hah?"

Aku terdiam menahan emosi yang sudah memuncak sampai ubun-ubun sementara mataku mulai memanas dengan prasangka yang bermunculan di benak.

"Semua yang kamu lakuin itu selalu bikin Suli marah ke aku, dia selalu nuduh aku selingkuh sama kamu. Lagi pula kalo kamu emang masih suka sama aku, kenapa kamu nggak ngomong dari dulu sih?"

"Jangan geer kamu, aku udah nggak ada rasa sedikit pun sama kamu!"

"Terus buat apa kamu seolah cari perhatian aku lewat status-status kamu?"

"Aku nggak nyari perhatian kamu!"

"Nyatanya kamu nunjukin ke aku perhatian itu Ay!"

"Aku cuma pengen bikin kamu nyesel karena lebih milih Suli ketimbang aku!"

"Dan aku bener-bener nyesel sekarang, aku pengin kita balik lagi, Ay."

"Kamu gila Fian! Aku udah punya suami sama anak."

"Aku nggak peduli, aku bisa nerima kamu apa adanya, juga anak kamu."

"Yang waras Fian ... yang waras!" Aku gagal membendung air mataku. Kututup wajah dengan kedua tanganku. Meredam suara tangis yang semakin tak terkendali. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat Rian membuka video yang Fian kirim.

"Maaf Ay, aku ... aku cuma udah nggak bisa nahan perasaan ini lagi, aku udah cukup tersiksa selama sembilan tahun ini."

Baru aku akan membalas ucapan Fian, ketika tiba-tiba aku mendengar suara Geo.

"Mama ...." Geo mengintip dari balik pintu, wajahnya kuat menyiratkan rasa takut.

"Masuk Geo!" bentakku tanpa sadar. Aku tak ingin Geo melihatku dan Fian yang tengah emosi. Namun, Geo justru ketakutan dengan bentakanku, ia menangis memegangi daun pintu.

Aku segera bangkit menghampiri Geo. Kupeluk tubuh kecil itu sekilas lalu menggandeng tangannya untuk masuk. Tiba-tiba lenganku ditarik oleh Fian cukup keras hingga membuatku tersentak ke belakang.

"Ay, aku belum selesai ngomong sama kamu," ucapnya keras.

Seketika aku merasakan nyeri di perutku, sakit sekali hingga kurasakan ada sesuatu yang basah mengaliri pahaku. Aku terduduk di lantai, perlahan cairan merah terlihat merembes di celana yang kukenakan. Masih terdengar tangisan Geo dan pekik khawatir Fian hingga semua terasa gelap. Rasa sakit menguasai hingga perlahan kesadaranku hilang.

Banyumas, 1 Mei 2020

Next?
Menerima kritik dan saran 😊.

ISTRI MANTANKU (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang