#Istri_Mantanku 7
PoV Ayu
Aku masih belum bisa memejamkan mata. Sementara ponsel di nakas sudah padam. Namun, rasa penasaran masih saja menghantuiku. Kuputuskan untuk mengambil ponsel diam-diam. Aku berusaha bergerak sepelan mungkin agar Rian tidak terbangun. Jujur aku sangat penasaran dengan tanggapan Suli. Aku takut Rian mendapat masalah gara-gara aku. Atau parahnya Suli justru memarahi Rian. Tidak! Jangan sampai, aku tidak rela Rian terkena imbas dari kesalahanku.
Sial, ternyata ponselku sekarang diproteksi dengan password. Aku tidak bisa membukanya. Aku mencoba membuka dengan kata sandi yang mungkin Rian gunakan.
'Geovandra' salah.
'Ayurian' salah juga.
Baru aku akan mengetik password lain, Rian terbangun, ia bangkit dan menatapku tak suka. Gelagapan aku segera menaruh ponsel kembali di nakas dan dengan cepat berbaring, menutupi seluruh wajah menggunakan selimut. Aku takut, sungguh Rian sangat mengerikan kalau marah. Untungnya sejauh ini ia adalah tipe orang yang jarang marah. Namun, kali ini aku tidak yakin, ia paling tidak suka jika aturannya dibantah.
Selimut yang menutupi wajahku disibak oleh Rian. Aku memejamkan mata, menutupi wajah dengan telapak tangan. Dalam hati aku berdoa agar Rian tak memarahiku.
"Kamu ngapain? Coba-coba buka HP? Huh?" tanyanya. Nada suaranya pelan namun sarat akan penekanan.
Aku menggeleng tanpa membuka mataku. Sekejap aku mendengar Rian menghela napas. Tangannya yang hangat meraih telapak tanganku, menariknya hingga tak lagi menutupi wajah. Aku masih memejamkan mata, tak berani menatap Rian.
Embusan napasnya terasa di wajahku, hangat, lembut dan menggelitik. Aku semakin tercekat, takut sekaligus penasaran pada ekspresi wajah Rian.
"Jangan coba-coba Ayu, atau aku nggak akan ijinin kamu pegang HP selamanya," ucapnya tepat di depan wajahku.
Ancaman yang sangat mengerikan. Bisa-bisa aku mati muda saking bosannya tak boleh pegang HP. Sedikit berlebihan? Mungkin, tapi sejauh ini ponsel adalah benda yang sangat berharga untuk menjaga kewarasan bagi ibu rumah tangga sepertiku. Semenjak Geo lahir, aku tak diperbolehkan membantu Rian di toko. Bisa dibayangkan bagaimana hidupku tanpa benda serba bisa itu.
Perlahan aku membuka mata, wajah Rian begitu dekat, bahkan hidung kami hampir bersentuhan. Ya Tuhan, kenapa aku masih merasa segugup ini ditatap oleh lelaki yang sudah menikahiku lebih dari lima tahun. Namun, kegugupanku sirna saat melihat mata Rian. Mata yang jarang sekali bisa kubaca, entah kenapa sekarang mudah sekali dipahami.
Aku tersenyum penuh arti. Kukecup sekilas pipinya yang kasar seraya mencubit hidungnya pelan.
"Jangan marah Sayang ... aku cuma liat jam aja kok," ucapku gemas. Biar saja aku berbohong, Rian sudah tahu aku orang yang selalu penasaran dan ingin tahu. Dari matanya aku tahu Rian tidak marah, pasti ia bisa memaafkanku. Toh aku tak berhasil membuka ponsel.
"Bohong! Mana ada liat jam sambil ketak-ketik gitu? Dikira aku nggak liat apa?" Rian balas mencubit pipiku.
"Hehe ... maaf Sayang, aku kan pengen tahu. Kamu sih nggak mau cerita. Kamu pikir aku nggak penasaran apa?" Kumajukan bibirku tanda merajuk. Biasanya jika aku sudah begini, Rian akan luluh dan menuruti semua kemauanku.
"Belum saatnya, Sayang. Nanti aku kasih tau kamu. Sekarang kamu tidur, udah malem banget loh ini."
"Nggak mau! Aku tuh nggak ngantuk, udah tidur dari siang. Pokoknya kamu cerita atau aku nggak mau ngomong sama kamu!"
Rian tampak mengehela napasnya. Ia mencubit hidungku agak keras, membuatku mengaduh.
"Bandel, kamu yah, udah berani ngebantah aku?"
"Aku nggak ngebantah, ish lepasin, sakit tau!" Kuusap hidungku yang pasti sudah memerah itu tepat setelah Rian melepaskan cubitannya.
"Sakit? Sini aku sembuhin ...." Rian memajukan bibirnya, masih sempat-sempatnya ia menggodaku. Dasar lelaki.
"Nggak usah, kamu tuh jahat." ucapku ketus. Kubalikan badan memunggungi Rian. Semenjak hamil, aku merasa emosiku naik turun, sulit terkontrol dan mudah sekali terbawa suasana. Seperti saat ini, yang awalnya hanya pura-pura merajuk, aku sekarang malah ingin menangis karena marah. Jabang bayi ... kenapa kamu bikin mamamu ini jadi cengeng?
"Ya udah, ya udah." Rian mengalah. Ia pindah posisi dan berbaring menghadapku.
"Aku udah ngomong sama Suli. Kemarin kita ketemu di Balai Kemambang ...."
"Kamu ngapain ketemuan sama dia?" Aku segera memotong ucapannya. Memicing curiga pada lelaki yang tampak melongo melihat ekspresiku.
"Sayang ... tenang dulu, belum apa-apa udah marah. Aku nggak mau cerita kalau kamu kaya gitu, nggak baik buat kesehatan kamu sam dede bayi."
"Abisan kamunya gitu!"
"Makanya dengerin dulu, masih mau dengerin apa nggak?"
Aku mengangguk, kupeluk lengan Rian protektif. Rasanya aku takut kehilangan lelaki itu. Aku takut ada yang merebutnya dariku. Padahal kami hanya berdua di kamar ini.
"Waktu aku inbox, Suli nggak mau maafin kamu, aku pikir dengan ketemu langsung sama dia, dia bakal mau dibujuk dan aku ajak kesini biar kamu bisa minta maaf secara langsung."
Aku mendengarkan dengan seksama tanpa menyela sedikit pun. Sementara Rian memelukku dengan satu tangannya sembari mengusap rambutku.
"Tapi dia tetep nggak mau. Dia mau bukti kalau kamu sama Fian benar-benar nggak ada hubungan apa-apa. Baru dia mau maafin kamu."
"Tapi kan nggak ada bukti kalo aku sama Fian ada hubungan. Atas dasar apa dia nuduh aku sama Fian selingkuh? Aneh, malah dia yang minta bukti. Harusnya tuh kamu yang minta bukti ke dia, mana buktinya aku sama Fian selingkuh?"
"Ya kan di sini kamu yang mau minta maaf, ya udah aku ikutin aja kemauan Suli."
"Padahal kan aku cuma mau minta maaf soal postingan-postingan aku, kenapa malah jadi aku dituduh selingkuh?"
"Ya udah makanya aku mau buktiin dulu ke Suli kalo kamu nggak selingkuh sama Fian."
"Caranya?"
"Kita liat aja nanti. Udah ya, aku ngantuk mau tidur."
"Ish cuma gitu?"
"Lah iya emang cuma itu."
"Terus ngapain aku nggak boleh pegang HP?"
"Itu ...."
"Itu apa?"
"Masih banyak yang nyerang kamu lewat inbox. Aku nggak mau kamu kepikiran terus, nggak baik buat kesehatan kalian."
"Aku nggak baperan kok,"
"Mana ada? Nggak boleh pokoknya! Udah tidur."
Rian memejamkan matanya, tak menggubris cubitanku yang mencoba membangunkannya. Ia malah memelukku semakin erat. Sementara aku merasa ada yang tak beres. Ada firasat buruk yang membayangiku. Entah apa, aku sendiri tak mampu menjabarkannya. Yang jelas, perasaanku sungguh tak enak. Seperti ada yang Rian tutup-tutupi.
Kuembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan hati yang gundah. Semoga saja firasatku bukan apa-apa. Aku berharap masalah ini segera selesai dan aku bisa menjalani hidup dengan tenang bersama keluarga kecilku.
Aku tersenyum mengusap perutku yang rata, di sana degup yang mulai terasa membangkitkan semangatku. Aku berharap ia cukup kuat, menemaniku menyongsong hari esok dengan segala rahasianya.
Banyumas, 30 April 2020.
Next?