"Kamu ngapain SMS-an sama Deni?" serbu Fian saat aku baru saja keluar dari toko tempatku bekerja.
"Lah ... SMS apa? Aku cuma balesin pas dia nanya kabar sama ngajak reuni kok!"
"Ay, jangan dikira aku nggak tau yah! Walau pun di HP kamu udah dihapus, aku udah baca semua di HP-nya Deni. Kamu tuh bukan cuma bahas reuni kan? Kamu juga kangen-kangenan sama dia!" Fian mulai bersungut-sungut.
Kumajukan bibir seraya mencebik sebal. Setelah seharian bekerja bukannya sambutan hangat, justru sambitan amarah yang kudapat. Percuma saja dia menjemputku kalau ujung-ujungnya membuat emosi jiwa.
"Bisa nggak bahasnya nanti aja? Aku cape banget pen pulang!" rengekku.
Fian mengernyit mendengar ucapanku. Lalu, dengan brengseknya ia justru memakai helm dan menstarter motor, menoleh padaku dengan tatapan sinis.
"Pulang sendiri!" ucapnya seraya berlalu. Meninggalkan asap knalpot Satria FU nya di mukaku.
Demi apa Ya Tuhan! Punya pacar seaneh itu. Jauh-jauh menjemput dan berakhir aku ditinggal begitu saja, padahal rumah kami searah. Akhirnya, dengan emosi memuncak, kuhentakkan kaki menuju pangkalan ojek.
Sabar ... sabar!
Lima tahun pacaran, sedikit banyak aku sudah paham dengan wataknya yang cemburuan. Ia juga sering marah-marah dengan asumsinya sendiri. Namun, bagaimana pun aku tetap menyayanginya. Lelaki yang selalu membelaku sejak kami masih sama-sama berseragam putih abu-abu. Ia begitu tulus dan penyayang, rela membersihkan muntahanku di UKS saat aku sakit. Fian bahkan rela dimarahi orang tuanya demi menemaniku hingga bolos sekolah. Dan terakhir, ia menolak tawaran kuliah di kota hanya demi tidak berpisah denganku.
Meski menyebalkan, kurasa aku bisa menerimanya. Kekurangannya seolah menjadi hiburan dalam hubungan kami yang kelewat romantis. Ia yang konyol, tak tahu diri dan selalu merasa tak bersalah seimbang dengan perhatian dan ketulusannya mencintaiku yang bukan apa-apa.
Malam harinya, ia datang ke rumah. Seperti biasa kami duduk di teras berdua. Namun, malam ini auranya agak berbeda. Ada sepantik emosi tergambar di wajah kami. Aku yang marah karena sikapnya tadi di toko, dan ia yang cemburu karena SMSku dengan Deni yang entah bagaimana bisa ia ketahui. Padahal aku hanya berbalas pesan biasa, memang aku sempat mengatakan kangen, tapi rasanya, kalau pun Fian membaca itu ia akan paham kangen seperti apa yang aku maksudkan.
"Kamu tuh salah paham, Yank. Aku tuh sama Deni nggak ada apa-apa. Aku bilang kangen ya karena aku emang kangen sama suasana kelas kita dulu. Aku kangen temen-temen semua, bukan cuma Deni!" ucapku pelan.
Sebisa mungkin kulupakan kekesalanku. Aku sadar, kami sudah beranjak dewasa, tak seharusnya masih kekanakan dan membesar-besarkan masalah. Namun sayang, Fian justru semakin marah, ia melontarkan berbagai tuduhan padaku sampai akhirnya tercetuslah kata itu ....
"Pokonya aku mau putus! Nggak sudi aku dikhianatin kaya gini." Fian menatapku garang, nada suaranya meninggi seiring wajah tampak memerah.
"Ya udah kalo emang kamu mau putus, kita putus! Kamu pikir aku nggak bisa apa cari laki-laki yang lebih baik dari kamu?" sungutku. Aku tak tahan lagi dengan sikap Fian yang sangat kekanakan. Cemburu pada sahabatnya sendiri? Aneh.
"Fine, cari aja lelaki yang lebih baik. Aku pulang!" Fian berlalu, dipacunya sepeda motor kesayangan dengan cepat, meninggalkan halaman rumahku.
Ada sesak yang tertinggal di dada. Perih dan kecewa bercampur dengan kesal yang bercokol di hati hingga tumpah dalam lelehan air mata. Malam itu, menjadi malam terakhirku sebagai kekasih Fian.
***
"Sayang, kok ngelamun?" Suara Rian mengagetkanku. Seketika bayangan masalaluku dan Fian menguap begitu saja.
"Eh, iya maaf, Mas."
"Liat tuh, Geo keluar pasti kamu nggak sadar."
"Hah? Mana Geo? Dia kan lagi belajar!" Aku celingukan mencari bocah kecil berambut tebal itu.
"Dia lagi main sama temennya. Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini aku liat sering banget ngelamun? Ada masalah?" Rian duduk di sebelahku. Seperti biasa, ia selalu perhatian dan merapikan anak rambutku yang berantakan di dahi. Senyumnya yang khas hampir tak pernah lepas dari bibirnya setiap kali berhadapan denganku. Ia memang seramah itu, mengumbar senyum setiap waktu hingga aku lupa ekspresinya saat diam dan merajuk.
"Aku cuma lagi banyak pikiran aja, Mas udah makan?"
"Hey! 'kan puasa? Kamu kenapa sih? Kok nggak fokus gitu? Jangan coba-coba ngalihin perhatian! Udah ayo cerita sama aku, ada apa?"
"Eh iya, yah. Maaf Mas." Kupaksakan senyum menyadari ucapanku tadi.
Sungguh aku tak tahu harus bagaimana menceritakan masalahku. Aku takut Rian salah paham, sejujurnya yang lebih aku takutkan adalah ia akan termakan dengan berita yang beredar seperti akun-akun di dunia maya yang menyudutkanku.
"Kok diem? Ada masalah apa? Cerita dong! Kasian kan dede bayi kalo mamahnya murung terus." Rian mengusap perutku yang masih datar. Di sana ada benih cinta kami yang baru berusia dua bulan, calon adik Geo.
"Mas ...." Ragu kutatap wajah tampan di depanku. Wajah yang selalu memberiku kenyamanan saat menatapnya.
Rian membalas tatapanku dengan matanya yang teduh, ia menungguku melanjutkan ucapan yang terpenggal sembari menyunggingkan senyum termanis.
"Kamu percaya 'kan sama aku?"
"Aku percaya sama kamu, selalu. Ada apa?"
"Maafin aku ...." Aku tak kuasa menahan tangis, hingga akhirnya tergugu dalam pelukan hangat Rian yang kemudian mengusap lembut punggungku seraya menciumi puncak kepalaku.
Menit-menit berlalu hingga puas sudah aku menumpahkan perihnya perasaan dalam tangisan. Kudongakan wajah menatap Rian yang masih setia menungguku bercerita. Wajah itu, sungguh aku takut berubah murka jika saja tahu kelakuanku selama ini.
Aku sadar aku salah, aku memang kerap menyerang Suli secara tidak langsung dengan status-statusku di media sosial. Selalu mencoba menunjukkan bahwa aku lebih baik darinya. Menyindirnya tanpa pernah mengucap nama. Pantas kalau Suli sadar dan marah dengan kelakuanku selama ini. Jujur, semua ini kulakukan bukan demi Fian. Hanya semata-mata wujud kebencianku pada Suli. Sampai detik ini, aku memang masih tidak terima, telah dikalahkan oleh perempuan sepertinya. Aku ingin menunjukkan pada semua orang bahwa aku jauh lebih baik dari Suli. Aku ingin Fian dan keluarganya menyesal.
Perlahan, kuambil ponsel yang tergeletak di meja. Membuka aplikasi facebook dan menunjukkan status Suli pada Rian.
Banyumas, 27 April 2020
Next?