1

380 25 0
                                    

Bernama Vitasha Asma karena kehadirannya di dunia sangat diharapkan dan ditunggu-tunggu. Namun saat ia beranjak besar dengan usia semakin bertambah, seseorang yang selalu bersyukur atas kehadirannya telah lenyap dari dunia. Tuhan telah mengambil Ibu dan Ayahnya dengan jarak waktu yang sangat berdekatan.

Membuatnya harus menjadi yatim piatu di usia lima tahun dan tinggal bersama Adik dari Ibunya yang tentunya memiliki seorang anak. Disana ia merasakan semua kesakitan dari yang terkecil hingga terbesar. Selalu dikucilkan oleh saudaranya. Selalu disalahkan walau ia tak salah. Bahkan keadaan itu masih berlanjut hingga ia kini beranjak menjadi wanita dewasa.

Asha-biasa orang-orang memanggilnya, ia harus menerima kesakitan ini seorang diri. Hidup menumpang di rumah Tante selama bertahun tahun lamanya, membuatnya harus menjadi wanita tegar dan pantang menyerah.

Seperti sekarang ini, di Minggu pagi yang cerah ia tengah menyapu halaman depan rumah. Bukan rumahnya. Tentu saja. Ini rumah Tante Anis-adik dari almarhumah Mamanya. Usai menyapu, Asha beralih meraih selang keran dan mulai menyirami tanaman. Inilah yang ia lakukan setiap hari libur tiba. Sejak lulus dari SMA, Tante Anis memecat asisten rumah tangga. Alhasil Asha-lah yang harus mengerjakan tugas rumah dan seisinya.

Setelah urusan tanaman sudah selesai, Asha kembali masuk ke dalam rumah. Tugasnya belum selesai. Selain membuat sarapan, menyapu ruang tengah sampai belakang, menyapu halaman depan hingga menyirami tanaman, ia masih harus membereskan kamar dua anak Tante Anis.

Saat tangannya hendak meraih kenop pintu kamar Kinan-Anak sulung Tante Anis, seseorang dari dalam sana lebih dulu membuka pintu membuatnya urung dan lebih memilih diam menunduk.

"Ngapain kamu?" Tanya Kinan dengan nada judes.

Asha menipiskan bibirnya. Setiap kali Kinan memanggilnya tanpa sebutan 'Kak' membuatnya sedikit sakit hati. Padahal umur keduanya sangat terpaut jauh. Bahkan saat Kinan kecil, ialah yang menjaga dan mengganti popok Kinan saat anak itu pipis.

"Aku mau beresin kamar kamu." cicitnya masih setia menundukkan kepala.

Bukannya mengangguk dan menggeser tubuhnya untuk mempersilakan Asha masuk, Kinan justru mendengus tak suka sambil memutar bola mata secara terang-terangan. "Awas ya kalau nggak bersih!" Kecamnya lantas pergi dari hadapan Asha.

Perilaku tersebut sudah Asha terima sejak dulu, ia sudah terlalu sabar untuk menghadapinya. Jadi, lebih baik ia mengabaikan ucapan sinis Kinan dan mulai membereskan kamar adiknya itu. Ya, tentu saja Kinan ia anggap seperti adik sendiri. Tak peduli seberapa banyak Kinan bersikap tak baik padanya.

Kini Asha memulai aksi beres-beresnya dengan mengganti bed cover tempat tidur Kinan, tak lupa mengganti pula sarung bantalnya.

"ASHAAAA..."

Teriakan itu sontak membuat Asha menghentikan aktivitas bekerjanya. Itu suara Tante Anis. Buru-buru ia keluar untuk menemuinya segera, jika tidak ingin mendapat omelan panjang lebar dari wanita setengah baya itu.

"Ada apa Tante?"

Seperti biasa, jika sudah menghadap pada wajah Asha, Tante Anis selalu menunjukkan wajah judes dan sinisnya. "Buatkan minum untuk tunangan Kinan. Yang enak! Awas kalau nggak enak." Bukannya diawali dengan kata 'tolong' dan diakhiri dengan 'terimakasih', Tante Anis justru mengakhiri permintaan tolongnya dengan kalimat peringatan.

"Baik, Tante." Balas Asha dan langsung mendarat ke dapur untuk melaksanakan tugas.

Dua cangkir teh manis buatannya sudah siap diatas nampan, tak lupa sajian kue ia potong dan diletakkan di piring. Setelah mengeringkan tangan, Asha bersiap mengantarkan sajiannya.

Disana, di ruang tamu, nampak seorang pria tengah duduk berdampingan dengan Kinan. Seperti kata Tante Anis, dia adalah tunangan Kinan. Sebenarnya bukan tunangan, hanya calon tunangan. Setahu Asha, pria itu bernama Bastian. Dia sering keluar masuk rumah ini dan tak jarang ikut makan malam. Keluarga Bastian juga beberapa kali berkunjung kemari.

Dan yang Asha tahu lagi tentang hubungan Kinan dan Bastian, mereka dijodohkan oleh kedua orangtua masing-masing. Selebihnya, Asha tak tahu lagi. Karena setiap kali keluarga Bastian berkunjung, maka ia hanya menyiapkan makanan lalu Tante Anis akan menyuruhnya masuk ke kamar dan tak boleh keluar jika keluarga Bastian belum pulang.

"Silakan diminum." Ujar Asha seraya meletakkan dua cangkir diatas meja, tak lupa ia mengatakannya dengan posisi menunduk serendah-rendahnya.

Saat wajahnya terangkat, mata Asha bersitatap dengan Bastian. Pria itu memandanginya tanpa berkedip. Entah apa maksudnya, yang jelas Asha segera menunduk kembali dan bergegas pergi.

"Tunggu," Langkah Asha terhenti. Tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun, Asha kini berbalik badan.

"Ada luka memar di dahi kamu." Begitulah isi kalimat Bastian pada Asha.

Barulah Asha mengangkat kepala. Membalas tatapan Bastian. Dan dengan bodohnya tangannya kini terangkat untuk menyentuh memar di dahi. Aaah.. sungguh, ini adalah hasil karyanya atas kecerobohannya sendiri. Ceritanya subuh tadi, ia hendak membuat nasi goreng. Tapi sialannya bawang bombai yang hendak ia cincang untuk nasi goreng justru terjatuh dan menggelinding ke bawah meja makan. Saat hendak menunduk mengambil bawang bombai, tak sengaja dahinya justru terbentur ujung meja makan. Jadilah sebuah luka memar yang sangat nyeri ini.

"Luka memar seperti itu jangan di biarkan saja. Apalagi posisinya ada di dahi. Bahaya."

Suara Bastian kembali terdengar. Asha tersadar pada lamunannya dan kembali fokus. "Lukanya nggak terlalu sakit kok." Balasnya lalu segera menunduk.

Terdengar suara dengusan tak suka dari Kinan. "Makanya kalau kerja tuh yang benar!" Tukasnya malah menyalahkan Asha.

"Baik, Dek."

Bola mata Kinan mendelik tajam. Sialan Asha! Bisa-bisanya wanita itu memanggilnya 'Dek' disaat Bastian ada disisinya. Sudah berkali-kali Kinan memperingati Asha untuk tidak memanggilnya dengan sebutan 'Dek' tapi wanita yang menumpang hidup di rumahnya ini selalu menentang. Kalau saja Bastian tidak ada disebelahnya saat ini, sudah dipastikan rambut Asha habis ia jambaki.

"Udah sana cepetan beresin kamar gue, jangan lupa beresin kamar Kania." Suruh Kinan, menyebut nama adiknya.

"Baik, Dek." Balas Asha dan segera pergi.

Sekali lagi Kinan menghela napas panjang agar emosinya tak meledak saat ini juga. Kepalanya kini tolehkan pada calon tunangannya. "Mas Bas, gimana kalau kita berangkat sekarang?"

Posisi Bastian yang masih memandangi Asha hingga wanita itu mengecil karena mulai menjauh, membuatnya sedikit tak fokus mendengar suara Kinan. "Ya? Tadi kamu bilang apa?" Tanyanya, beralih fokus pada Kinan.

"Berangkat sekarang." Ulang Kinan lalu memanyunkan bibirnya berusaha mendapat perhatian dari Bastian.

Kepala Bastian mengangguk. "Tentu. Ayo berangkat." Ajaknya. Sebelum benar-benar pergi, tak lupa ia menyeruput beberapa kali minuman buatan Asha. Rasanya sangat nagih. Membuatnya menjadi betah jika berkunjung ke rumah ini.

"Kayaknya Mas Bas suka banget ya sama minumannya?" Tanya Kinan.

"Iyaa, rasanya beda dengan teh yang dirumah."

Kinan terkekeh. "Nanti aku tanya ke Mama deh, dia pakai teh apa."

"Okay. You are very good."

"Of course, Honey."

Giliran Bastian yang terkekeh. Keduanya lantas meninggalkan ruang tamu dan melesat pergi menuju tempat Kinan merawat rambutnya.

Bukan Menantu SpesialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang