3

147 20 0
                                    

Kembali bekerja seperti hari-hari sebelumnya. Inilah kegiatan Asha. Ia bekerja di sebuah pabrik tekstil dekat rumah Tante Anis. Ya, ia adalah seorang buruh yang setiap hari harus bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke pabrik.

Asha hanya lulusan SMA. Tante Anis dan keluarga hanya memberinya pendidikan sampai SMA. Padahal jika dilihat, ekonomi keuangan keluarga Tante Anis dan suami sangat cukup. Tentu jika mereka memasukkannya ke perkuliahan, tak akan membuat uang mereka habis sampai tak bisa makan, kan?

Saat Asha mencoba bilang pada Tante Anis, bahwa ia ingin kuliah. Tante Anis justru menjawab bahwa ia tak perlu kuliah. Wanita tidak memerlukan pendidikan tinggi, karena pasti ujung-ujungnya akan ikut suami. Tapi wanita setengah baya itu malah menguliahkan semua anaknya. Kinan, anak sulung mereka lulusan Universitas terkenal. Sedang si bungsu—Kania tengah menuntut ilmu di kampus terbaik, untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang desainer.

Usai membuat sarapan, Asha bergegas keluar dengan memapah sepeda pink-nya yang ia beli hasil jerih payahnya sendiri. Gaji menjadi karyawan tekstil tentu sangat cukup untuk membeli motor kredit, tapi Asha lebih memilih sepeda. Ia pikir, hitung-hitung untuk mengurangi polusi udara di kota Jakarta. Juga untuk sekalian olahraga.

Kini dengan santai ia mengayuh sepedanya. Tepat setengah meter sebelum keluar dari area komplek, Asha menghentikan sepedanya untuk membeli nasi bungkus.

"Bu, nasi bungkus dua, lauknya seperti biasa." Pintanya pada si penjual.

Ia sengaja membeli dua bungkus. Untuk sarapan pagi dan makan siang. Sebenarnya ada banyak yang menjual makanan di kantin pabrik, tapi harganya membuat Asha berpikir dua kali jika ingin makan makanan kantin. Jadi setiap hari, untuk mengurangi pengeluaran, ia lebih memilih membeli nasi bungkus diluar saja. Biasanya Asha akan menyantap sarapan paginya di kursi kantin, setelah melakukan finger print.

Selesai membeli nasi bungkus, Asha kembali mengayuh sepeda menuju pabrik. Ia harus cepat-cepat sampai, untuk segera menjahit agar hari ini mendapat banyak hasil jahitan. Sistem kerja disana target, jadi karyawan bisa tidak bisa harus memenuhi target.

Di pabrik, Asha dikenal sebagai karyawan yang pemalu dan pendiam. Bukan maksud menjauh, hanya saja di pabrik tempat Asha bekerja kebanyakan karyawan yang berusia muda dari 18 tahun sampai 25. Sedang dirinya berusia 29 tahun. Teman Asha di pabrik juga tak banyak, hanya satu atau dua orang saja yang mau berteman dengan Asha. Itupun tak terlalu kenal dekat. Hanya sekedar teman yang hanya ada saat butuh saja. Padahal disini yang masa kerjanya paling lama adalah Asha.

Sudah 6 tahun ia bekerja di pabrik tekstil ini. Dan hanya Asha yang mampu bertahan hingga selama itu. Tapi karena sikap Asha yang introver, perusahaan tidak menaikkan jabatan Asha untuk sekedar menjadi leader. Perusahaan justru selalu memasukkan karyawan-karyawan baru yang fresh graduate, jadi Asha harus menerima kenyataan bahwa ia tak bisa memiliki teman yang seumuran.

"Mbak Asha, tolong permakin jahitan saya dong. Permakan saya masih banyak. Harus selesai sebelum leader masuk."

Asha baru hendak duduk di kursi tempatnya menjahit, tapi Windi-karyawan yang duduk di belakangnya pagi-pagi sudah meminta tolong. Asha melirik beberapa jahitan Windi yang belum di permak, sangat banyak. Lantas ia melirik mesin jahitnya.

"Benang saya beda warna sama jahitan kamu."

"Apa salahnya sih di ganti dulu benangnya!" Windi justru membentak Asha.

Yang di bentak hanya mengedipkan mata lambat sambil melirik bergantian pada jahitan Windi dan mesin jahitnya. Mengganti benang tentu tidak masalah. Tapi masalahnya, sebentar lagi bel masuk akan berbunyi dan mengganti benang tentu membutuhkan waktu satu menit lebih.

Andai Asha bisa marah, pasti ia akan balik membentak Windi. Sayangnya ia tak bisa marah sedikit saja, sekalipun banyak orang-orang menghujat dan menjahatinya. Entah seperti apa sosok Ibunya dimasa lalu, yang jelas kini Asha tubuh besar menjadi wanita kuat yang selalu sabar dan tak terlalu gampang terpancing emosi.

"Iya, saya bantu permak." Putusnya akhirnya memilih mendapat amarah dari leader, daripada mendapat tatapan sinis dari Windi yang memang sejak dulu sinis padanya.

***

Jam istirahat telah tiba, seluruh karyawan Sandang Industri serentak mematikan mesin jahit masing-masing dan dengan kecepatan super semuanya berlarian menuju kantin. Ada juga yang memilih ke loker untuk mengambil bekal bawaannya, contohnya seperti Asha.

Kini ia membawa nasi bungkusnya ke kantin. Terlihat ada meja yang kosong, ia segera menempati posisi tersebut. Meletakkan bawaannya sejenak dan beranjak untuk membeli minuman, ia lupa tak membawa botol minum yang selalu dibawanya.

"Eh Mbak, mau beli minum ya?" Tanya seseorang yang tidak Asha kenal. Wanita itu duduk di meja panjang yang Asha tempati.

Kepala Asha mengangguk, "Iya."

"Saya titip ya, sekalian."

Teman di sebelahnya lagi ikut-ikutan. "Saya juga dong. Sekalian. Hehehe."

Asha menerima begitu saja uang yang di sodorkan oleh dua teman kerja yang entah siapa namanya. Sambil berjalan menuju penjual minuman, Asha berpikir keras bagaimana caranya ia membawa tiga minuman sekaligus. Pasalnya minuman disini bukan berbentuk botol, tapi gelas plastik tanpa tutup.

"Es teh tiga, Mbak." Ujarnya pada penjual.

Asha menyerahkan uang pada penjual setelah es teh pesanannya sudah dibuatkan. Dengan hati-hati ia membawa tiga gelas es teh sekaligus menggunakan dua tangannya. Langkahnya sangat pelan, tapi musibah datang begitu saja. Walau ia sudah pelan-pelan, ada saja kejadian yang berujung ia akan mendapat amarah. Baru saja Asha, oh tidak. Baru saja seseorang menabrak Asha dan tiga gelas es teh jatuh mengenai pakaian si penabrak.

"Yaaa ampun... Kalo jalan tuh pake mata, Mbak! Basah semua kan jadinya baju saja!!" Marah si penabrak.

"Ma-ma-maaf." Hanya itu yang bisa Asha katakan.

"Maaf-maaf, memangnya maaf bisa buat baju saya kering kembali?! Sekarang gimana, baju saya basah kuyup kayak gini. Saya nggak bisa masuk ke produksi."

"Maaf."

Si penabrak emosi mendengar kata maaf dari Asha. "Makanya kalo jalan tuh jangan nunduk, Mbak! Jelas-jelas disini rame, malah jalan sambil nunduk. Kalo malu, kerjanya sambil pake helm aja." Ledeknya.

Asha mengangkat wajahnya, menatap wanita yang pastinya lebih muda darinya. Ia hanya menatap saja, tanpa membalas ledekannya.

"Apa lihat-lihat? Mau lapor ke orang kantor? Silakan, jelas-jelas ini salah Mbak-nya."

Kepala Asha menggeleng. Melapor ke orang kantor? Bagaimana mungkin ia berani? Berhadapan dengan leader line saja ia takut. "Sekali lagi saya minta maaf. Pemirsa." Putus Asha dan melesat pergi.

Tiba di meja, Asha ditagih oleh dua rekan kerjanya yang menitip minuman.

"Mana minumannya?"

"Tadi saya nggak sengaja nabrak orang, terus minumannya jatuh semua. Maaf. Saya ganti uangnya." Jawab Asha menyerahkan dua lembar uang lima ribuan.

"Iiih gimana sih Mbak? Nggak amanah banget jadi orang. Dititipin minuman malah dijatuhin!"

"Saya nggak sengaja."

"Tetap aja, Mbak salah. Harusnya ganti rugi juga pake es teh dong! Saya kan haus!"

"Udah, sini biar aku aja yang beli."

Asha hanya menatap teman kerjanya yang pergi untuk membeli minum tanpa menawarinya. Disini ia serba salah. Oh tidak. Ia jelas selalu salah. Apapu yang ia lakukan akan terlihat salah di mata orang lain.

Bukan Menantu SpesialTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang