twenty

1.2K 239 66
                                    

Sore itu, setelah gue menjemput Wendy dari kosannya dia, kami berdua sekarang ada di kafetaria rumah sakit karena Wendy ternyata belum makan dari tadi. Gue memandang lekat perempuan yang masih dengan tatapan kosongnya kini menyantap nasi goreng yang gue pesenin. Gue menghela napas, jelas banget kalo berita sakitnya Ayah Wendy bener-bener memukul cewek itu telak.

Cewek itu tiba-tiba menggelengkan kepalanya dan menghela napas. Gue mengangkat alis. "Kenapa, Ndy? Ada sesuatu yang ganjel?"

Wendy memasang wajah biasanya, wajah yang sayangnya udah gue hafal sebagai wajah yang pura-pura baik-baik aja. "Jae, pesen juga, gih. Jangan cuma ngeliatin gue, gak bakal kenyang."

"Udah makan tadi, dimasakin Mbak Arni. Enak banget." Bales gue, mencomot kerupuk yang ada di piring Wendy.

Wendy melotot, gue baru aja mencuri harta karun dia yang berharga. "Gue jadi kangen masakannya Mbak Arni. Sehat kan, beliau?"

Gue menyodorkan jus jeruk ke arah Wendy. "Heeh, sehat banget. Nanti deh, mau main ke rumah gue? Eh, lo mau tidur sini atau di mana?"

Wendy menggeleng cepat. "Gak ah, gue kan juga ada rumah di sini. Gue kayanya pulang aja, tadi Ayah juga nyuruh gue pulang."

"Gue anterin, ya."

Wendy berhenti makan, mendongakkan kepalanya, dan menatap gue lekat. "Jae, kalo lo sampe ada di kota ini, berarti papa lo yang nyuruh lo pulang. Iya, kan?"

Gue mengangguk pada pertanyaannya yang tiba-tiba. "Yep. As usual. Kenapa, deh?"

Wendy mendecak, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus lo kenapa di sini, Jaelani? Buru pulang sana, kan tugas lo jemput gue udah kelar dari tadi."

"Ya, kan gue masih pengen nemenin lo, Ndy." Bales gue, mengulurkan tangan buat benerin rambutnya yang maju, ngehalangin pandangannya. Dia diam, gak menolak. Tapi, wajahnya terlihat gak nyaman.

Wendy menghela napas. "Jae... lo tahu kan, kita udah nggak sama lagi?"

Tangan gue yang terulur seketika berhenti bergerak, mengepal, dan perlahan gue tarik ke tempatnya semula. "Kenapa emang, Ndy?"

Dia tersenyum miris. "Don't do this, Jae. I'm weak, I can't handle this, I can't handle my feelings."

Gue mengerjapkan mata. "Ndy, gue—"

Wendy ketawa. "Udah ah, buru balik, sana. Gue mau ke kamar Ayah dulu, ya."

Setelahnya, gue hanya memandangi cewek itu melempar senyumnya dan berbalik pergi. Gue mendesah, punggung gue bersandar ke kursi plastik yang gue duduki. Gue bingung, bingung banget. Gue kelewatan lagi, ya? Tapi, sebelumnya dia oke, kok, dengan skinship yang bahkan gue sendiri gak sadar pas ngelakuin itu. Lagi-lagi gue menghela napas, bingung.

Actually, I can't handle my feelings too, Ndy.

Gue menatap jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Mata gue terarah pada kunci mobil ayah Wendy yang masih gue bawa. Gue mengambil kunci itu dan menimang-nimang, apakah pantes kalo gue bawa balik mobil ini tanpa pamit ke yang punya? Tapi, kalo gue pamit dan pergi ke kamar ayah Wendy, gue bakal ketemu Wendy yang kayaknya lagi gak pingin berurusan sama gue.

"Kenapa ribet banget sih, gue jadi cowok..." gumam gue, sebelum kemudian melangkahkan kaki menuju kamar 501, tempat ayah Wendy dirawat.

Selama berjalan dari kafetaria menuju kamar inap, pikiran gue melayang pada cewek yang selama perjalanan dari kosannya ke sini hanya diam dan sesekali menghembuskan napasnya. Dia pasti kalut, dia pasti takut, gue tahu itu. Sebenci apapun Wendy pada ayahnya, dia tetaplah seorang putri yang juga sering merindukan sosok laki-laki yang membawanya ke dunia ini.

The Last Time We Broke UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang