nineteen

1.1K 237 32
                                    

Malemnya, gue dan Sebastian masih betah duduk di depan TV sambil nyemilin jajan hadiah gue sempro tadi. Gue ngerasa ada sesuatu yang mau diobrolin sama Sebastian berdua aja sama gue, sampe dia bela-belain belum tidur padahal gue tahu dia besok ada kuis dan dia belum belajar. Sampe Ditra akhirnya izin masuk kamar duluan, baru Sebastian akhirnya memulai sesi pencerahannya.

"Bang, lo maunya apa sih sebenernya?"

Gue naruh kacang sukro yang gue pangku. "Apanya, Seb?"

Sebastian menepuk pundak gue. "Lo kalo masih care sama Wendy, kenapa putus sama dia sih? Sumpah gue gak ngerti. Apa, ya? Gue juga bingung."

Gue ketawa. "Lah, lo aja bingung terus gue kudu gimana?"

Sebastian mendecak. "Lo tuh udah putus sama Wendy, tapi lo masih se-care itu sama dia. Lo tuh udah mantanan sama Wendy, tapi lo masih rela banget ngelakuin sesuatu buat dia. Lo tuh udah gak ada hubungan apa-apa sama Wendy, tapi lo masih berlagak kayak pacarnya dia. Terus fungsinya lo berdua putus tuh apa?!"

Gue bener-bener ngakak ngelihat wajah frustasi Sebastian, bahkan cowok berperangai tenang itu sampe berseru ke gue. "Tenang, Seb, tenang."

Gue manggut-manggut, menyusun jawaban dari pertanyaan Sebastian. "Jadi, kayak yang udah berkali-kali gue omongin ke semua orang, gue putus sama Wendy karena kalo dilanjut tuh, this relationship would hurt us only, Seb. There's something wrong about it, dan gue gak mau nerusin karena ujung-ujungnya bakal gak baik buat kita berdua."

"Oke, I get it. Terus, kenapa lo masih bertingkah kayak gitu ke Wendy?"

Gue mengendikkan bahu. "Emangnya gak boleh ya, berhubungan baik sama mantan?"

"Tapi tingkah lo tuh beda, anjir. Bukan berhubungan baik lagi itu mah, lebih!"

Kepala gue tiba-tiba dipenuhi dengan ingatan gue tentang sifat-sifat Wendy yang kayaknya hanya gue sendiri yang paham. Gimana dia sulit buat membaur dengan kebanyakan orang, gimana dia selalu memaksakan dirinya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, gimana dia selalu menyembunyikan kesulitannya dari semuanya, gimana dia selalu mengesampingkan rasa lelah dan kesalnya.

"Maybe that's because...gue terlalu ngerti dia, Seb. Gue kayak...apa, ya, kayak bisa nangkep makna tersembunyi dari omongan dia yang kadang berkebalikan sama maksud dia yang sesungguhnya."

Sebastian melongo. "Berat banget bahasa lo, bang."

"Ya intinya gitu lah, gue sendiri juga bingung." Gue menghela napas. "Mungkin, yang jelas gue masih terbiasa sama dia. Tiga tahun itu bukan waktu yang singkat loh, Seb. Tiga tahun tuh cuma lama gue dan Wendy pacaran, belum lagi sebelum gue pacaran sama dia. Kayaknya, nama Wendy di memori hidup gue tuh banyak banget, sampe gue masih terbiasa sama itu semua sampe sekarang."

Gue meringis melihat Sebastian yang mandang gue aneh. "Dangdut banget, ya?"

Sebastian mengangguk cepat. "Banget." Cowok itu meraup segenggam kacang sukro dan memakannya. "All the best for you two, lah."

"Thanks, Seb."

"Lo akhir pekan ini jadi pulang?"

Pertanyaan Sebastian bikin gue mendesah berat. "Jadi. Bisa berabe kalo gue nolak perintah yang mulia."

Sebastian menepuk pundak gue. "Gak papa, bang, ambil berkahnya aja. Lo jadi bisa makan masakan rumahan yang lo kangenin, kan."

Gue tersenyum kecut. "Masakan rumahan di rumah gue pun yang masak pembantu, Seb."

Lihat wajah Sebasian yang berubah, gue memaksakan diri buat ketawa. "Elah, suram banget muka lo. Udah biasa kali."

Sebastian terkekeh, segera mengganti ekspresi wajahnya. "Oh iya, rumah lo berarti satu daerah dong sama Wendy? Kan kalian satu SMA."

The Last Time We Broke UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang