fourteen

1.1K 231 21
                                    

Bu Radhia, dosbing gue, lagi bolak-balik cetakan proposal yang gue serahin ke beliau. Perut gue mules, takut kalo proposal gue bakal ditolak oleh Bu Radhia. Tapi, melihat senyum puas yang terulas di wajah beliau, kayaknya gue bakal bernapas lebih lega malam ini.

Dosen yang masih tergolong muda di jurusan gue itu mengalihkan pandangannya ke gue. "Masih ada beberapa typo di proposal kamu, tapi overall is good. Kamu benahi kesalahan tulisnya, terus besok temui saya di jam yang sama. Proposal kamu saya acc."

Gue hampir aja melonjak kegirangan kalo gak inget sekarang lagi ada di ruang dosen. Gue buru-buru menjabat tangan Bu Radhia yang memajang senyum gelinya itu. "Terimakasih banyak bu Radhia, akan saya perbaiki proposalnya dan menemui Ibu di jam yang sama besok." Ucap gue mantap, kentara sekali nada gembira di suara gue.

Bu Radhia mengangguk. "Oh iya, band kamu kapan manggung lagi, Nak?"

Gue memutar mata, mencoba mengingat jadwal yang diberikan Sebastian di awal bulan. "Eh, sebentar bu, saya cek di hape dulu." gue merogoh hape di saku, dan membuka grup chat EnamHari. "Uhh, akhir pekan ini bu, di PIM. Bu Radhia mau nonton?"

"Hari Sabtu ya, berarti? Okedeh. Bukan saya, tapi putri saya. Dia baru tahu kalau saya adalah dosbing gitaris band lokal favorit dia. Begitu tahu tempo hari, dia langsung minta saya buat foto bareng kamu, dong. Gak papa?"

Gue tertawa. "Nggak papa dong, bu. Kalau putri Bu Radhia mau fotbar sama saya, juga boleh kok." kata gue, yang dibalas dengan tawa anggun beliau. Bu Radhia kemudian memanggil salah satu karyawan di sana, dan memintanya buat ngefoto kami berdua.

Keluar dari ruangan Bu Radhia, gue senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Gila sih, gue dapet banyak jackpot hari ini. Udah proposal di acc, bisa foto bareng Bu Radhia lagi. Gue cekikikan, ngebayangin betapa jealous-nya Chandra dan Benji kalo gue nunjukkin foto ini ke mereka.

"ANJIR LO NIKUNG KITA, JAE?"

Gue ngakak sepuas-puasnya melihat mata melotot Chandra dan Benji yang mantengin hape gue. Gue merebut hape gue balik, Chandra dan Benji gak terima.

"Lo kalo galau sama kak Dara ya udah itu aja sih, Chan. Jangan Bu Radhia mau diembat sekalian, orang udah nikah juga."

Chandra merengut. "Ya kalo modelannya kayak Bu Radhia sih, gue juga mau jadi suami kedua." Gue langsung ketawa ngakak, sementara Benji noyor kepala Chandra sampe cowok itu hampir ngejungkal dari kursinya.

"Ni anak kalo ngomong gak pernah disaring, ya." gerutu Benji.

"Mulut Chandra kan emang lemes, Ben."

Chandra sewot. "Lemes kayak lo sih, Jae sebenernya." sungutnya dengan tangan mengelus kepalanya. "Ini lagi si Benji, main ngeplak kepala orang aja. Kepala gue udah cukup bolot buat mikirin skripsi, Ben, gak perlu lo bikin tambah lemot."

Benji langsung meminta maaf pada Chandra begitu cowok jangkung itu mulai bahas skripsinya. Di antara kami bertiga, progres skripsi Chandra emang sedikit lebih lambat dari gue dan Benji. Benji sekarang lagi proses ngerjain bab 1 ketika gue baru di acc proposalnya, sedangkan Chandra masih mengalami penolakan proposal untuk kesekian kalinya.

Chandra menghela napas. "Untung bonyok gue gak nuntut banyak. Kalo iya, beuh, mungkin gue udah tewas di penolakan pertama kali ya, saking stress-nya." Ucap Chandra bersyukur. Gue manggut-manggut, udah pernah ketemu sama orang tua Chandra dan setuju banget kalo Chandra adalah anak yang beruntung.

Chandra adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Orang tua dan kakaknya adalah dokter, dia sendiri yang melenceng ke ilmu sosial. Chandra pernah cerita tentang keluarga besarnya yang menyayangkan keputusan Chandra buat masuk HI dan gak ngelanjutin karir keluarganya. Dia sempet minder juga pas awal kuliah, tapi motivasi dan dukungan dari keluarganya yang akhirnya bisa bikin dia dengan bangga ngomong 'gua anak HI' despite latar belakang keluarganya.

The Last Time We Broke UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang