sixteen

1.1K 243 30
                                    

Bian dan Wisnu yang ada di rumah melihat gue keheranan ketika gue membagikan starbucks traktiran gue ke mereka. Sampe gue nyimpen minuman bagian Sebastian dan Ditra di kulkas, dan balik lagi duduk bareng mereka, Bian dan Wisnu masih mandang gue keheranan.

Gue mendecak. "Apa sih, kayak gak pernah gue traktir aja kalian."

Wisnu terkekeh, mengacungkan gelas starbucks di tangannya. "Sering sih, tapi baru kali ini lo traktir kita minuman mahal. Seringnya kan, cilok sama siomay. Btw, makasih banyak loh, bang."

"Masih mending gue traktirin jajanan SD daripada si Bian yang gak pernah jajanin sama sekali." Bales gue julidin Bian.

Bian langsung sewot. "Pernah, ya! Lo aja pas itu lagi kencan sama Wendy, makanya gak kebagian donat jeko."

Gantian gue yang melotot karena Bian nyebut nama mantan gue dengan amat sangat tenang. Wisnu ngakak, bales godain gue. "Kencan sama siapa, bang Bi? Kok gue gak denger." Wisnu mendekatkan tangannya ke telinga, membentuk corong.

"Wendy, Nu. Kurang keras nih, gue ngomongnya? Wendy... temen lo anak farmasi itu lho..."

Gue mencak-mencak, ngamuk. "Biadab emang kalian semua. Sini, balikin minumannya! Gak lagi-lagi dah gue jajanin kalian!"

Bian dan Wisnu ngakak sepuas-pasnya, kabur dari gue yang mencoba ngeraih gelas starbucks mereka. Gue nyerah, udah ngos-ngosan duluan. Mereka masih asik nyorakin gue yang pundung dan akhirnya goleran di sofa.

"Padahal gue mau cerita alo akhirnya proposal gue di-acc... tapi kalian malah ngeledekin gue... pundung kan gue jadinya."

Bian dan Wisnu kontan berseru, buru-buru ngedeket ke gue yang cengar-cengir bahagia. "HAH?! Bang? SELAMAT ABANGKU SAYANG!"

Gue yang masih senyum-senyum cengengesan cuma bisa pasrah dipelukin dan ditarik-tarik bajunya sama dua krucil ini. Bian dan Wisnu bergantian mengucapkan selamat dan mengelus-elus kepala gue sayang.

Gue terkekeh. "Hehehe, makasih ya."

Mereka berdua akhirnya ngelepasin gue setelah lima menit berpelukan. "Gue sebagai partner begadang lo ikut seneng, bang. Kapan sempro?"

"Mingdep kayaknya, di kaldik sih gitu."

Bian menepuk-nepuk pundak gue jumawa. "Pantes traktiran lo mahal ya, bang. Beritanya juga mahal soalnya."

Gue noyor kepala Bian. "Sembarangan. Yang sopan sama abang lo, Bian." Bian mencibir, mulai males sama gue yang ngeluarin kalimat andalan gue.

"Udah ngomong bonyok, bang?" tanya Wisnu.

Gue menghela napas. "Belum, nanti aja. Paling juga disuruh cepet-cepet lanjutin progresnya." Bales gue, bikin Wisnu dan Bian manggut-manggut, sudah hafal dengan karakter orang tua gue yang terlalu menuntut.

"Kalo...Wendy?" tanya Wisnu lagi.

Bian menjentikkan tangannya. "Iya, kan lo nyari judul juga dibantu Wendy, bang."

Ah iya, bener juga.

Gue jadi inget, gimana pusingnya gue dulu buat nyari judul yang sesuai, di tengah tuntutan kedua orang tua gue dan kesibukan nge-band yang lagi full. Hampir aja gue gila kalo aja anak EnamHari, Chandra, Benji, juga Wendy, gak ngebantu gue.

Terutama Wendy.

Kalo gak berbenturan sama jadwal kuliahnya, Wendy bakal dengan senang hati nemenin gue ke perpus buat cari bahan dan literatur. Dia juga rajin banget baca-baca berita dan ngirimin gue informasi tentang workshop yang sekiranya bermanfaat.

The Last Time We Broke UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang