thirteen

1.1K 235 34
                                    

Gue bangun ketika alarm gue berbunyi nyaring dan berhasil bikin telinga gue budeg. Setelah menguletkan badan dan menguap lebar, gue dengan susah payah melawan gravitasi kasur yang ngegoda gue buat balik tidur lagi. Mulut gue ngecap-ngecap, merasakan ludah gue yang pahit khas orang bangun tidur.

Gue mengerang, memaksa diri buat bangun dan nengok jam di dinding kamar. Jam 8 pagi dan kayaknya semuanya udah berangkat ke kampus, meninggalkan seorang mahasiswa tingkat akhir yang hampir tewas karena proposalnya yang terus ditolak dosbing alias Rajevano alias gue sendiri.

Kemarin, sepulangnya gue dari jemput Wendy dari tempat dia penmas, gue gak bisa tidur. Entah kenapa, kata-kata until now yang keluar dari mulut dia bener-bener bikin gue kepikiran. Kenapa? Tiba-tiba banget? Dan karena gue gak bisa tidur, gue mencoba ngerjain proposal. Hasilnya? Buntu, lah. Kepala lagi keruh diajak nyusun proposal.

Gue keluar kamar setelah menyisir rambut gue, meskipun itu adalah hal yang sia-sia karena rambut gue tanpa pake gel rambut gak bakalan bisa rapi.

Begitu pintu kamar kebuka, suara orang lagi goreng sesuatu langsung masuk ke telinga gue. Ternyata Bian masih belum berangkat dan lagi goreng nasi di dapur.

"Bi, gak kuliah lo?" tanya gue, berjalan ke dapur buat ambil air minum.

Bian menoleh. "Lah, gue kira lo gak ada di rumah, bang. Kata bang Seb lo kemarin keluar?"

Gue mengangguk. "Iya gue keluar, tapi balik lagi pas kalian udah pada tidur. Yang lain ngampus?"

"Iya, gue doang yang libur. Kelas batal, untung belum berangkat." Bian berjalan menuju rak piring, dan mengambil wadah bekal miliknya.

"Enak Bi, baunya." Gue melongokkan kepala, melihat isi wajan yang ada di depan Bian.

"Sori bang, gue bikin nasi gorengnya seporsi doang. Ini juga buat Gisel, bukan buat gue." Kata Bian meringis, tangannya sibuk memindahkan nasi gorengnya.

"Hmm, cowok gentle juga lo, Bi. Jejak lo sebagai fakboi fakultas kayaknya udah lenyap deh sama Gisel."

Bian ngakak. "Gisel pake pelet apa ya ke gue? Padahal gue yang dulu boro-boro mau bikinin makanan, diajak dinner aja bingung ngasih alesan buat nolak, gara-gara lagi asik sama yang satunya lagi." gue dan Bian ketawa ngakak mengingat kebejatan seorang Fabian yang terkenal akan pamornya sebagai player kelas kakap.

"Emang biadab sih kelakuan lo dulu, Bi. Kasian banget si Sebastian setiap hari nyeramahin kita berdua sampe mulutnya berbusa karena gak diwaro." Kelakar gue, dibalas dengan anggukan semangat dari Bian.

"Iya, lo juga sih, bang! Sampe capek gue di dm sama cewek yang lo templokin tanpa ada kejelasan dari lo!" gelak Bian menuding gue.

"Ya kan emang dari sananya gue baik ke semua orang, Bi. Cewek-cewek itu aja yang kepedean, dikira gue ada rasa sama mereka." jelas gue mencoba mengelak.

Bian mencibir. "Iya deh, serah yang ngomong."

Gue tersenyum lebar. "Untung lo nemu Gisel ya, Bi. Kalo enggak? Mungkin Sebastian masih capek setiap hari nasehatin lo tentang bahayanya mainin perasaan cewek."

Bian mengangguk, setuju. "Lo juga bang, untung ketemu sama Wendy. Jadinya—" Bian mengulum bibirnya, berhenti berbicara. "Sori, bang."

Gue mengibaskan tangan. "Santai elah. Kaku amat."

Berhubung lagi nyinggung Wendy, gue sekalian cerita ke Bian tentang percakapan gue semalem dengan cewek itu.

"Gue kemarin keluar jemput Wendy." Kata gue, membuka suara.

The Last Time We Broke UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang