twenty one - end

2K 265 54
                                    

Gue menyesap jus apel, sembari memandangi orang di depan gue yang sibuk memotret pemandangan senja di hadapannya. Senyumnya merekah, matanya berbinar, mulutnya tak henti memuji indahnya lembayung langit yang membentang di hadapannya. Gue pun mengambil hape, membuka aplikasi kamera, dan mengarahkannya ke arah Wendy yang tak sadar kalo gue barusan ngambil gambarnya.

"Cantik." Kata gue.

Wendy mengalihkan pandangannya. "Iya, kan?! Emang cantik banget langitnya. Kangen banget gue sama kafe ini. Salah satu tempat yang gue kangenin dari kampung halaman."

Gue mengangkat alis. "Huh? Gue ngomongin elo, kok. Bukan pemandangannya. Nih." Gue menunjukkan foto Wendy yang gue tangkap dengan kamera hape gue.

Wendy mengambil hape gue. "Duh, gue cantik banget di foto itu. Kirimin, dong. Mau gue pake foto profil WA." Kata Wendy, mengulurkan kembali benda persegi panjang itu.

Gue menunjuk hape gue dengan dagu. "Kirimin aja sendiri, udah lo pegang juga hapenya."

"Oh, oke. Gue buka WA, ya."

Gue memperhatikan ekspresi Wendy yang berubah-ubah selama beberapa saat itu. Ekspresi datarnya berganti menjadi ragu, ekspresi ragunya berganti menjadi bingung, ekspresi bingungnya berganti menjadi datar lagi. Ia mendongakkan wajahnya, menatap gue.

"Kenapa masih disematin, sih? Kenapa nama kontaknya belum diganti?" tanyanya.

Gue mengendikkan bahu, ketawa. "Emang harus ganti, ya? Udah biasa gitu, aneh rasanya kalo diganti. Emang punya lo, lo ganti?"

Wendy gak tertawa, wajahnya serius. "Iya, gue ganti." Dia mendecak. "Jae, stop mainin perasaan gue, I beg you."

Gue menegakkan badan yang tadinya bersandar. Mata gue mengerjap. "Mainin gimana, Ndy?"

Wendy menatap gue gak percaya. "Serius? Lo nanya gitu? Jae. Lo tuh udah mutusin gue, tapi kenapa lo masih bertingkah selayaknya lo masih jadi pacar gue? Lo kira, lo kira gue oke dengan itu semua?"

Gue menggigit bibir. "Are you not?"

Wendy mendesah berat. "I'm not! My heart is not okay with it."

"Me either, Ndy." Wendy melirik ke arah gue, sebelum mengalihkan pandangannya lagi. "I know, I am a jerk. And I am sorry for it."

Wendy menghela napas, kemudian tersenyum. "Kita barusan tuh, dangdut banget gak sih, Jae?"

Gue mengerjapkan mata. "Ih, Ndy. Gue udah serius padahal. Lo juga sih, yang ngawalin jadi kek gini." Bahu gue yang menegang langsung lemas melihatnya.

Dia ketawa. "Tapi bener sih, gue capek tapi juga udah biasa sama tingkah lo yang semena-mena. Dari dulu sampe sekarang."

Gue diem, mengangguk-angguk. Membiarkan Wendy melanjutkan ceritanya, yang mungkin sudah dipendamnya sejak dulu.

"Kalo ada satu hal yang bisa gue keluhin selama kita pacaran sih, gue bakal dengan mantap jawab kalo masalahnya ada di temperamen kita, Jae. Batu, short-tempered, nggak mau ngalah. Terutama nih, terutama—" Wendy tertawa kecil, "—lo yang sering banget ngambil keputusan sendiri, even keputusan itu sebenernya gue yang harus ambil. But, gue juga oke-oke aja, karena gue tahu kalo keputusan yang lo ambil itu juga baik buat gue.

"Terus kemudian, lo minta putus. Putus dan langsung ninggalin gue gitu aja di depan apotek. Astaga... hari itu bener-bener bikin gue badmood gak karuan padahal gue harus ngelaprak malem itu. Bayangin, deh! Udah gue badmood gara-gara lo, harus ngerjain laprak gue yang seabrek, eh, malemnya ketemu sama lo. Kalo aja gue bisa, gue udah pites lo di malem kita ketemu di supermarket. Tapi, lo justru ingetin gue buat beli jus jeruk. Edan ya, padahal barang itu penting banget buat gue, tapi gue masih aja lupa buat beli."

The Last Time We Broke UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang