BAGIAN 3

367 17 0
                                    

Matahari bersinar begitu terik siang ini. Tanah yang basah terguyur hujan lebat semalam begitu cepat kering, bagai tidak pernah tersiram air sama sekali. Dan di bawah siraman cahaya matahari yang teramat terik ini, Panglima Widura tampak memacu cepat kudanya menuju arah selatan dari Kotaraja Pakuan. Kuda yang dipacu cepat itu mengakibatkan debu mengepul membubung tinggi ke angkasa.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Panglima Widura semakin cepat memacu kudanya setelah melewati bangunan batu yang menjadi pembatas Kotaraja Pakuan. Kudanya terus dipacu cepat, menuju arah selatan. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin cepat pula kudanya dipacu.
"Hooop...!"
Panglima Widura baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di sebuah hutan yang kelihatan tidak begitu lebat. Sebentar dia duduk diam di atas pelana kudanya, memandang lurus ke arah hutan di depannya. Kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali, Panglima Widura melompat turun dari punggung kudanya.
"Kau tunggu di sini. Aku tidak lama," kata Panglima Widura pada kudanya, sambil menepuk lembut leher binatang tunggangannya.
Seperti mengerti saja, kuda itu menganggukkan kepalanya sambil mendengus pendek. Sementara, Panglima Widura sudah melangkah memasuki hutan ini dengan ayunan kaki cepat dan lebar-lebar. Hutan yang tidak begitu lebat ini memang memudahkan baginya untuk bergerak cepat. Sebentar saja Panglima Widura sudah jauh masuk ke dalam hutan, karena memang mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sebentar, saja Panglima Widura sudah tiba di tengah-tengah hutan yang tidak begitu lebat ini. Tampak di depannya berdiri sebuah pondok kecil yang dinding-dindingnya terbuat dari belahan kayu yang sudah banyak lubangnya. Bahkan atapnya pun kelihatan seperti hendak roboh.
"Kenapa kau berdiri saja di situ, Widura. Ayo masuk...!"
Tiba tiba saja terdengar suara yang sangat nyaring dari dalam pondok. Panglima Widura yang tengah berdiri mematung, jadi tersentak kaget. Cepat kakinya melangkah menghampiri pondok kecil itu. Begitu sampai di depan pondok, tangannya segera mendorong pintu yang sudah lapuk perlahan-lahan. Bau yang tidak sedap langsung menyeruak menusuk hidung dari dalam pondok ini. Tapi, Panglima Widura seperti tidak peduli dan terus melangkah masuk.
Pondok kecil ini ternyata hanya terdiri sebuah ruangan saja. Dan di tengah-tengahnya, tampak duduk seorang perempuan berusia lanjut. Rambutnya yang sudah memutih semua, dibiarkan meriap tidak teratur. Pakaiannya yang berwarna putih, sudah kelihatan usang dan mulai menguning. Sebatang tongkat berbentuk kepala ular yang menjulurkan lidah, tergeletak di sebelah kanan. Panglima Widura menghampin perempuan tua itu. Dan tanpa diminta lagi, dia duduk beralaskan sebuah tikar usang yang sudah banyak tambalannya, tepat di depan wanita tua ini.
"Terimalah sembah hormatku, Nyai Wisanggeni," ucap Panglima Widura seraya memberi penghormatan dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Sudah! Tidak perlu bersikap begitu di depanku, Widura. Ingat, ini bukan di istana."
"Maaf, Nyai."
"Kau datang ke sini tentu membawa persoalan. Apa yang membuat pikiranmu kalut di Istana Pakuan, Widura?" tanya wanita tua yang ternyata Nyai Wisanggeni, guru tunggal panglima perang dari Kerajaan Pakuan ini.
"Benar, Nyai," sahut Panglima Widura singkat.
"Persoalan apa yang kau bawa dari istana?" tanya Nyai Wisanggeni lagi.
"Bukan dari istana, Nyai."
"Lalu...?"
Panglima Widura tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan begitu berat untuk mengatakan persoalan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Sementara, Nyai Wisanggeni hanya memandangi dengan sorot mata begitu tajam, langsung menembus kedua bola mata muridnya ini.
"Katakan, Widura. Persoalan apa yang sedang kau hadapi sekarang?" desak Nyai Wisanggeni.
"Maaf, Nyai. Ini persoalan lama. Persoalan yang terjadi delapan belas tahun yang lalu," ujar Panglima Widura pelan.
"Hm.... Jangan bermain tebak-tebakan denganku, Widura. Katakan saja dengan jelas."
"Nyai.... Apakah Nyai ingat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di pinggir jurang sebelah timur Kerajaan Pakuan? Dalam peristiwa itulah untuk pertama kalinya aku harus melenyapkan nyawa orang...," ujar Panglima Widura, pelan dan terputus.
"Kenapa kejadian lama mesti diungkit lagi, Widura?"
"Anak itu, Nyai...," kembali suara Panglima Widura terputus.
"Apa maksudmu dengan anak itu, Widura?"
"Anak itu masih hidup, Nyai. Dan dia ingin membalas dendam padaku."
"Hik hik hik...!"
Entah kenapa, tiba-tiba saja Nyai Wisanggeni jadi tertawa terkikik mendengar penuturan murid tunggalnya. Sedangkan Panglima Widura hanya diam saja tertunduk.
"Kenapa jadi ketakutan begitu, Widura? Kau sekarang seorang panglima. Dan aku sudah mempersiapkan dirimu agar bisa memegang tampuk kekuasaan di Pakuan kelak. Jangan membuatku malu Widura...! Hanya persoalan bocah gembel saja, membuatmu jadi seperti tikus!" agak mendengus nada suara Nyai Wisanggeni.
"Tapi, Nyai.... Anak itu sekarang sudah lain. Kepandaiannya sudah sangat tinggi. Dan aku sempat bertarung dengannya," selak Panglima Widura mencoba menjelaskan.
"Keparat...! Kau memuji orang lain di depanku, Widura...!" sentak Nyai Wisanggeni dengan mata mendelik lebar.
"Maaf, Nyai. Bukan maksudku begitu. Tapi...."
"Kau kalah...?" potong Nyai Wisanggeni cepat.
"Tidak, Nyai. Aku bahkan hampir menewaskannya. Tapi...."
“Tapi kenapa, Widura?"
"Tiba-tiba saja datang orang menolongnya."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Aku tidak sempat melihat jelas. Orang itu muncul tiba-tiba dengan gerakan cepat. Dan anak itu langsung dibawanya pergi sebelum aku sempat menyadari Tapi, aku menduga kalau dia gurunya. Nyai."
"Hm, bodoh! Percuma saja aku mengajarimu kepandaian kalau hanya masalah itu saja tidak bisa mengatasi," dengus Nyai Wisanggeni, tidak senang.
"Maaf, Nyai. Aku hanya merasa kalau ini bukan persoalan biasa lagi. Anak itu pasti akan muncul kembali dengan kekuatan baru. Bahkan dia bersumpah tidak akan berhenti sebelum membunuhku dan juga kau, Nyai,”
"Hhh! Dia boleh coba..." dengus Nyai Wisanggeni.
"Maaf, Nyai. Kedatanganku hanya untuk menyampaikan itu saja. Aku ingin agar kau hati-hati," ujar Panglima Widura.
"Jangan menasihatiku, Widura. Pikirkan saja dirimu! Yang penting sekarang, jangan pikirkan bocah gelandangan itu. Kau harus memusatkan perhatian pada rencanamu. Rencana kita berdua. Pakuan harus bisa kau rebut, ingat itu...."
"Aku tidak akan melupakannya, Nyai."
"Bagus...! Sekarang, pergilah."
"Baik, Nyai."
Setelah memberi hormat, Panglima Widura kemudian bangkit berdiri. Kakinya terus melangkah keluar meninggalkan gurunya ini. Panglima Widura terus melangkah cepat tanpa berpaling lagi ke belakang, keluar dari dalam hutan ini.

116. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Muka HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang