BAGIAN 2

362 18 0
                                    

Disertai teriakan begitu keras menggelegar bagai guntur, Rahkapa menghentakkan tangan kanannya ke depan, setelah tongkat kayunya dipindahkan ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kanannya meluncur kilatan bola api yang begitu cepat. Akibatnya Panglima Widura jadi terkesiap sesaat. Untung tubuhnya cepat melenting ke atas. Sehingga, kilatan api dari telapak tangan laki-laki berjuluk Datuk Muka Hitam itu lewat di bawah telapak kakinya.
"Yeaaah..!"
Baru saja Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah, Rahkapa sudah berteriak keras sambil menghentakkan tangan kanannya lagi ke depan. Maka kilatan api kembali meluncur cepat sekali ke arah panglima ini. Dan untuk kedua kalinya, Panglima Widura harus melenting ke udara. menghindari serangan yang sangat dahsyat ini. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian indah sekali kakinya menjejak tanah. Sementara, di belakangnya sudah berkobar api dari pepohonan yang menjadi sasaran dan serangan si Datuk Muka Hitam ini.
"Ternyata kau tangguh juga, Widura," desis Rahkapa dingin.
"Hm," Panglima Widura hanya sedikit menggumam.
"Sekarang kita mengadu nyawa, Widura. Hiyaaat...!"
"Hap!"
Cepat sekali Rahkapa melompat sambil mengayunkan tongkat kayunya ke arah kepala. Tapi dengan gerakan manis, Panglima Widura berhasil menghindarinya. Lalu, dia cepat melompat ke belakang dua langkah. Namun pada saat itu, tanpa diduga sama sekali Rahkapa menghentakkan tangan kirinya ke depan. Dan seketika, kilatan cahaya merah melesat ke arah panglima ini.
"Heh?! Hup...!"
Panglima Widura jadi terkesiap juga mendapat serangan yang begitu cepat dan tidak diduga sama sekali. Maka tubuhnya cepat melenting ke atas sambil berputar ke belakang. Dengan demikian serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan dengan gerakan yang begitu indah, Panglima Widura kembali menjejakkan kakinya di tanah. Pada saat itu juga...
"Seraaang...!"
"Hey! Jangan...!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba Punggawa Garula berteriak keras memberi perintah untuk menyerang Datuk Muka Hitam. Panglima itu cepat-cepat berteriak mencegah, tapi para prajurit sudah lebih dulu berlompatan menyerang orang bertubuh hitam legam ini.
"Keparat! Monyet-monyet cari mampus rupanya kalian, hah...! Yeaaah...!"
Rahkapa jadi geram mendapat serangan dari para prajurit yang sejak tadi memang sudah tidak sabar lagi melihat panglimanya diserang begitu rupa. Sambil menggeram keras, Rahkapa cepat memutar tubuhnya sambil cepat sekali mengebutkan tongkat kayunya yang kelihatannya seperti tak berarti. Begitu cepatnya, sehingga membuat tiga orang prajurit tidak lagi dapat menghindarinya. Dan mereka jadi menjerit, begitu ujung kayu Datuk Muka Hitam merobek tubuhnya. Ketiga prajurit itu seketika ambruk bergelimang darah.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Rahkapa yang menjuluki diri sebagai Datuk Muka Hitam itu terus bergerak cepat, mengamuk dengan sabetan tongkatnya yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga prajurit-prajurit dan Kerajaan Pakuan ini tidak dapat lagi menahan. Maka jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh berlumuran darah sudah mulai bergelimpangan di sekitar pertarungan ini.
Sementara, Panglima Widura yang melihat dalam beberapa gebrakan saja prajuritnya sudah banyak yang tewas, jelas tidak mau tinggal diam begitu saja. Terlebih lagi, Rahkapa memang bukan tandingan para prajurit yang kepandaiannya sangat rendah ini.
"Mundur kalian semua ..!" seru Panglima Widura lantang menggelegar, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Teriakan Panglima Widura yang menggelegar ini membuat para prajurit yang sedang mengeroyok Rahkapa jadi berlompatan mundur. Sementara, Rahkapa sudah berdiri tegak dengan tongkat kayunya tersilang di depan dada. Tampak ujung tongkatnya sudah basah oleh lumuran darah. Dan pandangannya langsung diarahkan dengan tajam pada Panglima Widura.
"Punggawa Garula, cepat bawa kembali prajurit ke istana!" perintah Panglima Widura.
"Tapi, Gusti...," selak Punggawa Garula terputus.
"Kembali kataku! Ini perintah, Garula!" bentak Panglima Widura lantang.
Punggawa Garula tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Dengan perasaan kecewa, prajurit-prajuritnya yang tersisa lantas diperintahkan untuk menjauhi tempat pertarungan di tepi jurang ini. Sementara Panglima Widura tetap berdiri tegak berhadapan dengan Rahkapa.
"Delapan belas tahun rupanya sudah membuatmu berubah, Widura. Kau kini sudah menjadi pemimpin yang baik," desis Rahkapa dingin, bernada mengejek.
"Ini persoalan antara aku denganmu, Rahkapa. Mereka tidak perlu ikut campur mengorbankan nyawa," dengus Panglima Widura tidak kalah dingin.
"Bagus! Memang hanya kau yang kuinginkan, Widura. Nah! Sekarang, bersiaplah menyambut kematianmu! Hiyaaat. !"
Sambil berteriak keras menggelegar, Datuk Muka Hitam melesat cepat bagai kilat. Langsung diserangnya Panglima Kerajaan Pakuan ini. Tongkat kayunya dikebutkan cepat sekali disertai pengerahan tenaga dalam ke arah kepala.
"Haiiit...!"
Tapi hanya sedikit saja Panglima Widura mengegoskan kepala, serangan Datuk Muka Hitam tidak sampai mengenai sasaran. Dan pada saat tongkat kayu itu lewat di atas kepalanya, dengan kecepatan yang sangat tinggi dan sukar diikuti pandangan mata biasa, Panglima Widura menghentakkan tangan kirinya. Langsung diberikannya satu sodokan keras ke arah perut lawannya ini.
"Hih!"
"Hap!"
Bet!
Cepat Rahkapa mengebutkan tongkatnya berputar ke bawah, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus menarik kembali tangannya. Dan saat itu juga, Rahkapa menghentakkan kaki kirinya ke depan.
"Hap!"
Panglima Widura tak punya lagi kesempatan untuk menghindari tendangan Datuk Muka Hitam. Maka tangan kanannya cepat dihentakkan untuk menangkis tendangan kaki kiri yang begitu cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini. Akibatnya....
Plak!
"Ikh...?!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget begitu tangkisannya mengenai kaki Rahkapa. Seluruh persendian tulang tangannya kontan jadi nyeri bagai retak. Rasanya, tangannya tadi seperti membentur sebongkah batu karang yang begitu keras. Cepat-cepat Panglima Widura melompat ke belakang menjaga jarak. Sedangkan Rahkapa sudah berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum lebar yang mirip sebuah seringai. Kedua bola matanya memerah liar menatap lawannya ini.
"He he he...! Kau tidak mampu untuk mengalahkan aku sekarang, Widura. Sekarang, berlututlah sebelum batang lehermu kupenggal."
"Hhh!"
Panglima Widura hanya menghembuskan napas sedikit saja dengan berat. Kakinya bergeser perlahan ke kanan sambil mengurut tangannya yang masih terasa nyeri akibat berbenturan dengan kaki Datuk Muka Hitam ini. Sementara itu, agak jauh dan tepian jurang Punggawa Garula dan para prajuritnya ternyata masih terus menyaksikan dengan dada berdebar. Mereka berharap panglimanya bisa menghancurkan manusia buruk bertubuh hitam itu.
"Cabut senjatamu, Panglima!" bentak Rahkapa menantang. "Kau tidak akan bisa bertahan lama tanpa senjata!"
"Jangan terlalu besar kepala, Rahkapa! Kau pikir aku sudah kalah, heh...?!" desis Panglima Widura, dingin sekali.
"He he he...! Sebentar lagi ajalmu datang, Widura."
"Phuih!"
Panglima Widura menyemburkan ludahnya dengan sengit. Semula, dia memang merasa bersalah terhadap manusia bermuka hitam ini, sehubungan peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu. Tapi melihat kecongkakan Datuk Muka Hitam, rasa bersalahnya mendadak saja lenyap. Bahkan jadi muak melihat tingkah yang congkak merendahkan ini. Panglima Widura seperti lupa akan peristiwa delapan belas tahun lalu. Yang ada dalam kepalanya sekarang adalah mencari cara untuk bisa mengalahkan manusia bermuka hitam yang sangat tangguh ini.
"Hih! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat menerjang Datuk Muka Hitam ini. Seketika satu pukulan yang teramat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi pun dilepaskan ke arah kepala.
"Haiiit..!"
Tapi dengan egosan kepala yang manis sekali. Rahkapa berhasil menghindarinya. Bahkan tanpa diduga sama sekali tangan kirinya dihentakkan, memberi satu sodokan ke arah perut.
"Hap!"
Panglima Widura cepat-cepat meliukkan tubuhnya ke udara, lalu melenting ke belakang menghindari sabetan tongkat kayu yang menyusul begitu cepat ke arah dada. Sehingga ujung tongkat yang cukup runcing itu lewat sedikit saja di depan dadanya. Kemudian, manis sekali Panglima Widura menjejakkan kakinya di tanah.
"Hih!"
Namun belum juga bisa menegakkan tubuhnya dengan sempurna, Rahkapa sudah melancarkan serangan lagi. Tongkatnya berkelebatan begitu cepat, hingga membuat Panglima Widura terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Beberapa kali ujung tongkatnya hampir merobek tubuh panglima ini. Namun, dengan gerakan manis sekali Panglima Widura bisa menghindarinya. Bahkan beberapa kali pula serangan balasannya sempat membuat Datuk Muka Hitam jadi kelabakan.
Pertarungan pun berlangsung semakin sengit saja. Masing-masing berusaha menjatuhkan lawan secepatnya. Serangan-serangan dahsyat berhawa maut datang silih berganti. Rahkapa yang semula menganggap enteng Panglima Widura, kini kedua bola matanya seakan baru terbuka. Ternyata tidak mudah untuk menjatuhkan panglima ini. Walaupun kekuatan tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain cukup seimbang, tapi gerakan-gerakan Panglima Widura memang lebih gesit. Dan memang, Panglima Widura lebih berpengalaman dalam pertarungan.
Hingga dalam satu kesempatan, Panglima Widura melenting ke atas kepala lawannya. Dan dengan kecepatan yang sukar diikuti mata biasa, Panglima Widura memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah, tepat di belakang lawannya ini. Saat itu juga, satu pukulan yang sangat keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan tepat mengarah ke punggung. Begitu cepat serangannya, sehingga Rahkapa tidak dapat lagi menghindarinya.
Buk!
"Akh...!"
Rahkapa jadi terpekik keras agak tertahan, begitu punggungnya terkena pukulan yang sangat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya, tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh bergulingan di tanah, hampir saja kejadian delapan belas tahun yang lalu terulang. Dan kalau saja tidak segera menancapkan tongkatnya ke tanah, dan menjadikannya penghalang tubuhnya, pasti tubuhnya bisa terjerumus masuk ke dalam jurang yang penuh batu sebesar kerbau. Untung saja, dia terhindar dari kematian di dasar jurang.
"Hup!"
Cepat-cepat Rahkapa melompat bangkit berdiri. Tapi punggungnya yang berpunuk seperti unta itu jadi nyeri akibat pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang diterimanya tadi. Mulutnya meringis sedikit. Lalu tongkatnya yang sudah tercabut dari tanah di depan dada cepat diputarnya.
"Phuih!"
Wut! Wut! Wut...!
Putaran tongkat kayu itu semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya bentuknya lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat hanya lingkaran yang berputar begitu cepat, menimbulkan suara angin menderu bagai badai.
Sementara, Panglima Widura menggeser kakinya perlahan ke kanan. Tangan kanannya menggenggam pedang yang sejak tadi masih tersimpan dalam warangkanya di pinggang. Sedangkan Rahkapa terus memutar cepat tongkatnya. Dan tiba-tiba saja....
"Hiyaaa...!"
Begitu terdengar teriakan yang sangat keras menggelegar, mendadak saja Rahkapa melepaskan tongkatnya yang berputar cepat sekali. Maka tongkat itu meluruk deras bagai kilat dengan gerakan berputar cepat menerjang Panglima Widura.
"Hap!"
Cring!
Bet!
Panglima Widura cepat sekali mencabut pedangnya, dan langsung dikebutkan ke arah tongkat yang berputar meluruk deras menyerangnya.
Tring!
"Heh...?!"
Untuk kedua kalinya Panglima Widura jadi terperanjat setengah mati. Seolah-olah pedangnya terasa membabat senjata dari baja yang begitu kuat. Dan ini membuatnya terpaksa harus melangkah ke belakang dua tindak. Sementara, tongkat kayu Datuk Muka Hitam berputar balik ke pemiliknya. Kemudian manis sekali Rahkapa menangkap tongkatnya yang berputar melayang hampir melewati kepalanya.
"Hap! Yeaaah...!"
Rahkapa langsung menghantamkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga, terdengar ledakan keras menggelegar bagai gunung berapi memuntahkan laharnya. Tanah yang dipijak pun jadi bergetar seperti diguncang gempa. Dan tiba-tiba saja, tanah di depan Rahkapa bergerak membelah, membuat sebuah jurang yang sangat dalam.
Panglima Widura jadi terbeliak melihat tanah yang terbelah itu cepat sekali bergerak menuju kearahnya. Bergegas tubuhnya melenting ke belakang sambil berputaran cepat. Sementara, tanah yang terbelah itu terus bergerak mengikuti ke mana saja Panglima Widura bergerak menghindar.
"Edan...! Ilmu apa yang digunakannya ini...?" desis Panglima Widura dalam hati.
Memang sangat aneh ilmu yang dimiliki Rahkapa. Tanah yang terbelah itu langsung merapat setiap kali kakinya melangkah ke depan. Dan tanah itu terus bergerak membelah, mengikuti setiap gerakan Panglima Widura dalam menghindar.
"Hup! Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Panglima Widura tiba-tiba saja melesat cepat sekali ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, seketika itu juga sebatang pohon di dekatnya dihantam dengan tangan kanannya.
Brak!
Maka pohon berukuran sangat besar itu seketika tumbang hanya dengan sekali pukul saja. Sebentar saja pohon itu ambruk ke atas tanah yang berlubang dan bergerak mengarah ke panglima ini. Dan saat itu juga...
"Ikh...?!"
Rahkapa tampak terpekik kaget melihat pohon itu ambruk menjatuhi tanah berlubang yang dibuatnya ini. Begitu terkejutnya, sampai terlompat ke belakang. Dan seketika itu juga, tanah yang tadi terbelah langsung cepat menutup kembali, menjepit pohon yang ditumbangkan Panglima Widura tadi. Tepat pada saat Datuk Muka Hitam masih terkejut, Panglima Widura sudah melesat cepat bagai kilat menyerangnya.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Cepat sekali Panglima Widura membabatkan pedangnya ke arah leher lawannya yang bermuka hitam ini. Tapi Rahkapa seolah cepat pula mengibaskan tongkatnya, menangkis serangan ini.
Trang!
Kembali dua senjata itu beradu keras, sampai memercikkan bunga api yang menyebar ke segala arah. Dan pada saat itu juga, Panglima Widura cepat menghentakkan kaki kirinya ke depan, sambil meliuk hingga miring ke kanan. Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Panglima Widura, sehingga Rahkapa tidak sempat lagi menghindarinya. Dan...
Diegkh!
"Akh...!"
Rahkapa kontan menjerit keras, begitu dadanya telak terhantam tendangan kaki Panglima Widura. Begitu kerasnya tendangan ini, sampai membuatnya terpental cukup jauh ke belakang. Saat itu juga Panglima Widura melesat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh mengejar lawannya.
"Yeaaah...!"
Bet!
Kembali Panglima Widura membabatkan pedangnya dengan kecepatan bagai kilat. Sedangkan Rahkapa yang sama sekali belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, sudah barang tentu tidak mungkin bisa menghindari. Namun di saat ujung pedang Panglima Widura hampir membelah dada lawannya ini, mendadak saja...
Slap!
"Heh...?!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terlihat sebuah bayangan hitam berkelebat cepat bagai kilat. Dan belum juga hilang keterkejutannya, bayangan hitam itu sudah lenyap tidak berbekas sama sekali.
"Hah...?!"
Kembali Panglima Widura terbeliak. Lenyapnya bayangan hitam itu, ternyata bersamaan dengan hilangnya Datuk Muka Hitam yang sedang melayang akibat terkena tendangan Panglima Widura yang bertenaga dalam tinggi di dadanya tadi. Hilangnya Datuk Muka Hitam bukan saja mengejutkan Panglima Widura. Bahkan Punggawa Garula dan semua prajurit yang belum meninggalkan tempat itu juga jadi ternganga, seperti tidak percaya.
Panglima Widura berdiri tegak dengan pedang tersilang di depan dada. Begitu tersadar, pandangannya langsung beredar ke sekeliling. Dan kakinya perlahan bergerak melangkah ke depan. Ayunan kakinya segera terhenti, tepat di tempat Datuk Muka Hitam tadi berada sebelum menghilang bersamaan dengan sebuah kelebatan bayangan hitam yang begitu cepat bagai kilat tadi.
"Hm...," Panglima Widura menggumam kecil. Sorot matanya tertuju pada prajurit-prajuritnya yang masih tetap berada cukup jauh dari tempatnya berdiri ini. Sedikit Panglima Widura menarik napas panjang. Dan pandangannya kemudian beralih ke arah mulut jurang yang menganga tidak jauh di sebelah kanannya. Jurang itu tampak menghitam pekat, tanpa sedikit pun mendapat cahaya. Karena memang, malam ini sama sekali tidak terlihat bulan muncul memancarkan cahaya. Langit tampak menghitam kelam terselimut awan yang begitu tebal. Dan angin pun baru terasa begitu keras berhembus, menyebarkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.
Panglima Widura bergegas melangkah kembali ke tendanya begitu merasakan titik-titik air mulai turun menyentuh kulit tubuhnya. Sempat diperintahkannya para prajuritnya untuk masuk ke dalam tendanya masing-masing. Dan begitu tidak lagi terlihat seorang pun berada di luar, hujan seketika turun deras bagai ditumpahkan dari langit.

***

116. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Muka HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang