31 - POV Eldamar Tharuk

833 28 3
                                    

Siang hari, dua hari setelah aku kembali dari kastil Spiros. 

Aku berpisah dengan Lelarea, Ilsvel, Amra dan Zulkar di penginapan yang kami tempati. Mereka bilang kalau mereka akan segera pulang. Aku dan Tavarain tinggal untuk sementara di Glopros untuk beberapa hal. 

Salah satunya adalah merencanakan hal-hal yang akan kami lakukan untuk mencari informasi tentang jalan pulang ke Panvar. Aku ragu kami bisa pergi hanya dengan terbang tidak tentu arah selama bertahun-tahun. 

*** 

"Kita akan menjadi pemburu hadiah sungguhan? Ini pasti menarik!" kata Tavarain dengan mata berbinar-binar. Senyum lebarnya mengingatkanku pada gadis yang secara tidak sengaja menabrakku berminggu-minggu lalu di asrama akademi. Bukan gadis dingin bertampang seram yang menyerangku dengan kekuatan lebih menyeramkan lagi. 

"Menjadi pemburu hadiah tidak sepenuhnya benar. Yang akan kita lakukan hanya mengumpulkan uang, mengumpulkan informasi, lalu pulang." 

"Ayolah, bukankah kata teman-temanmu kemarin pekerjaan ini sangat mengasyikkan? Apalagi jika ada banyak teman... eh, kita hanya berdua?" 

Aku menatap Tavarain yang menelengkan wajahnya sambil berkaca di depan cermin, melihat penampilannya dalam balutan zirah kulit berwarna cokelat. Jubahnya digantikan oleh kaus lengan panjang berwarna putih dan celana panjang berwarna kelabu, lengkap dengan sepatu bot warna hitam. Di pinggangnya ada sebuah pistol yang aku pinjami, lengkap dengan sekantung kecil mesiu dan kantung berisi sepuluh butir bola peluru. Tidak buruk. 

"Kau ingin menambah anggota? Mereka hanya akan menjadi penghalang, tahu? Aku yakin dengan kekuatan yang pernah kau tunjukkan padaku, menghancurkan kota ini adalah masalah mudah bagimu. Apa yang akan terjadi jika ada orang lain yang tahu kekuatanmu? Itu merepotkan." 

Dia menghela nafas, lalu duduk di ranjangnya, diseberang ranjangku. Kamar di penginapan ini tidak besar, tapi cukup untuk menampung empat orang. Lengkap dengan cermin setinggi badan, satu set meja dan kursi, dengan teko air dan cangkir-cangkirnya. Jika bukan karena Tavarain yang mengancam, aku tidak akan pindah ke penginapan mahal seperti ini. Bahkan dia menolak kamar untuk dua orang yang sedikit lebih murah setelah menerima lirikan dan senyuman aneh dari resepsionis di lobi. 

"Tapi bukankah lebih aman jika bepergian bersama orang banyak?" tanyanya lagi. Kekecewaan jelas tampak di wajah polos itu. Aku merindukan wajah dinginnya yang sama sekali tidak cerewet dan sedikit lebih pintar. 

"Kau ingin dirampok?" tanyaku balik. "Biarpun aku bisa bangun begitu merasakan bahaya, bukan berarti aku bisa merespon seketika itu juga. Kita bisa saja dibunuh saat sedang tidur tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi." 

"Bukankah kau bisa tidak tidur selama berhari-hari?" 

"Setelah itu aku butuh tidur yang cukup lama. Kau mau menggendongku selama aku tidur?" 

Mendengar perkataanku, Tavarain hanya mendengus sebal sambil memainkan belati yang aku pinjami. Awalnya aku tidak yakin dia bisa menggunakan senjata tajam, apalagi belati, tapi ternyata itu tidak perlu. Aku harus mengakui kalau dalam menggunakan belati, Tavarain jauh lebih handal dari pada aku. Tapi tidak dengan pedang. Biarpun dia kuat mengangkatnya, dia belum bisa menyeimbangkan tubuh dengan ayunan pedangnya. Jadi sekarang aku punya dua pedang, tapi tanpa belati. 

"Bagaimana menurutmu, Eldamar?" tanya Tavarain sambil membuat sayatan abstrak di lengan kanannya. Darahnya segera membanjiri lengan itu, tapi segera ditampung dengan sihirnya. Bentuknya sama dengan tato yang ada di tangan kananku. Saat darah di lengan itu bersih, hanya tersisa bekas putih tipis yang nyaris tidak terlihat. Aku tidak tahu dia bisa mengingat pola itu hanya dengan melihat sekali saja ke lenganku. 

Pembawa KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang