02 - POV Eldamar Tharuk

2.1K 55 1
                                    

Malam semakin larut. Aku masih berjalan di hutan yang berada dipinggir jalan. Aku tidak mau ambil resiko dikenali, biarpun dengan kerudung yang membayangi wajah akan mempersulit orang untuk mengenaliku.

Kira kira tengah malam, aku memanjat sebuah pohon tinggi berdaun lebat, dan tidur disitu. Aku terlalu lelah untuk mengikat tali pengaman agar tidak jatuh.

Aku bangun ketika matahari terbit. Cahayanya menembus dedaunan, dan jatuh tepat diwajah. Untung aku tidak jatuh. Dengan melawan kantuk, aku turun dan cuci muka di sungai dekat situ, dan sekalian mengisi tempat air yang kosong.

Aku makan sedikit, mengingat perjalananku masih agak jauh. Kemudian berjalan lagi hingga tengah hari, lalu beristirahat di bawah pohon rindang. Tampak sebuah desa di kejauhan. Terlihat beberapa orang bekerja diladang, tidak menyadari sedang diperhatikan.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari belakang. Untung aku sudah dilatih menajamkan pendengaran, jadi mungkin orang dibelakangku masih lima meter jauhnya. Pohon dibelakangku besar, dan aku dapat memanjatnya dengan mudah.

Orang itu kini tinggal dua meter lagi dariku. Tapi waktu aku melihat dari balik pohon, yang tampak adalah seorang pemuda membawa sekeranjang kayu di punggung. Mungkin akan digunakan sebagai kayu bakar. Dia berjalan dengan terseok-seok. Mungkin juga usianya delapan belas atau sembilan belas tahun.

Aku memanjat pohon tanpa bersuara, bersembunyi di antara dahan yang besar. Dia lewat di bawah pohon ini dengan santai, tidak tahu ada orang diatasnya. Sepuluh langkah dari pohon, dia berhenti dan menurunkan keranjangnya. Yang membuatku kaget, dia langsung berbalik dan memandang tepat ke mataku.

Dai menyeringai, menunjukkan giginya yang –entah bagaimana– runcing. Aku pernah dengar kisah orang-orang kanibal yang mengasah giginya setajam pisau, tapi selalu menganggapnya dongeng untuk menakut-nakuti anak kecil. Setidaknya sampai saat ini.

Dia memasang kuda kuda, dan aku baru sadar kukunya seperti cakar binatang.  Matanya merah darah. Taringnya sedikit lebih panjang daripada gigi lainnya. Dia melompat, dan dengan kecepatan luar biasa memanjat dahan pohon tempatku bersembunyi. Pada detik berikutnya, dia sudah ada di depanku.

Dia menarik dan melemparkanku dengan mudah. Aku tidak tahu makhluk apa dia, yang jelas dia sangat kuat dan cepat. Dengan tergesa-gesa aku mengeluarkan sebuah pistol dan menghunus pedang. Dia sudah beberapa langkah didepanku. Tidak ada waktu untuk menembakkan pistol, aku mengayunkan pedang.

Sial, dia memang sangat cepat. Sambil menangkis seranganku, dia menggunakan tangan kanannya dan menghantam dadaku. Udara keluar dari pari-paru. Senjataku lepas dari genggaman. Dia mendekat dengan seringai menakutkan. Aku mengambil sebuah pistol lagi, dan menembak.

Tembakan pertama berhasil dihindarinya dengan mudah, namun dia pasti tidak menyangka ada tembakan kedua, yang mengenai lehernya. Dia muntah darah. Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Beberapa detik setelah itu dia terkapar, di tengah genangan darahnya sendiri. Setelah yakin dia sudah mati, aku berdiri, mengambil pedang dan pistol yang tadi terjatuh, lalu pergi.

Aku mengisi ulang pistol yang tadi kugunakan. Ada bercak darah di seragamku. Tidak banyak, tapi tampak mencolok dengan latar belakang kelabu. Dengan berlari aku meneruskan perjalanan, takut kalau ada yang mengejar.

***

Aku sudah berlari satu jam dan berjalan sekitar tiga jam. Dan belum makan. Hanya minum air sedikit, dan sekarang aku kelaparan. Duduk di pinggir sungai, aku membuka bekal, yang untungnya tidak banyak yang rusak. Masih ada tiga potong roti. Kira kira aku akan sampai kota terdekat nanti malam.

Setelah duduk sepuluh menit, aku berjalan lagi. Aku mulai menyesal tidak menunggang kuda. Akan lebih cepat dan aku tidak akan selelah ini. Dan mungkin juga bisa makan di punggung kuda, tidak perlu duduk dan selalu waspada.

Pembawa KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang