32 - POV Orlando Masser

761 28 3
                                    

Aku tidak ingat bagiamana aku bisa sampai ke tempat ini. Ingatan terakhirku sebelum bangun di atas sebuah atap di kota ini adalah saat aku masih berada di antara para elf, berjalan menuju ke markas mereka. 

Setidaknya aku tahu ini Panvar. 

Ya, aku tahu ini adalah tempat yang aku sebut 'rumah.' Tapi, saat ini, 'rumah' ini sedang dalam masalah serius.  

Dari atas sini, aku bisa melihat ratusan prajurit berseragam zirah kelabu dan bersenjatakan senapan serbu, juga lima atau enam robot raksasa -apa namanya? Gollum? Golem?- membumi hanguskan kota. 

Aku pernah dengar tentang kota Saris, jauh di timur laut Erast, dibumi hanguskan oleh klan Serigala. Aku tidak tahu bagaimana klan Serigala bisa masuk begitu dalam ke daerah kekuasaan klan Beruang, tapi itu tidak penting. 

Yang paling penting adalah bagaimana caranya aku menghindari pembantaian. Aku tidak tahu apa kata yang tepat, tapi mungkin pembantaian massal sudah cukup. Yang jelas bagaimanapun caraku keluar dari sini hidup-hidup, akan menentukan jalanku selanjutnya. 

Sambil berlarian menghindari prajurit-prajurit yang tidak tahu apa yang benar-benar terjadi di sekitar mereka, aku berusaha memutari bangunan untuk membunuh beberapa. Jika aku bisa mendapatkan salah satu alat komunikasi yang dipasang di helm mereka, mungkin aku bisa menyelamatkan diri dengan kesempatan yang sedikit lebih baik. Dan jika aku bisa mendapatkan senapan mereka, yang kalau tidak salah punya tiga tembakan railgun disamping beberapa ratus peluru biasa, kesempatanku untuk kabur bisa jadi semakin tinggi. 

Tapi yang aku temukan adalah sekelompok kecil anak muda yang mungkin beberapa tahun lebih tua dari pada aku, tertawa-tawa, menghancurkan dan membunuh apapun di depan mereka dengan senjata maupun kekuatan supranatural. Ya, aku pernah dengat tentang mereka. Sekelompok orang yang menurutku sangat merepotkan untuk ditangani. Esper dan ahli senjata. Aku dengar kakakku adalah salah satu dari mereka. Mungkin aku harus membunuhnya jika kami bertemu suatu saat nanti. 

Aku melihat enam orang berzirah ringan berjalan dengan santai dan berbincang-bincang seolah sedang piknik. Ya, ini memang piknik di kota yang terbakar. Pengalaman yang tidak biasa bagi sebagian besar orang. 

Sialnya, satu diantara mereka, salah satu laki-laki ahli senjata yang menggunakan tombak, melihatku dan pandangan kami bertemu. Detik selanjutnya dia sudah berteriak dan melesat dengan cepat meninggalkan anggota timnya yang belum sempat berbalik untuk menyerang. Ini sangat, sangat merepotkan. 

Aku cukup takjub saat menyadari kalau tangan dan kakiku masih memiliki kekuatan monster. Dengan sapuan tangan kiriku untuk menangkis tusukan tombak, aku maju dan mencoba menendang kepala si ahli senjata dengan cukup keras untuk membuatnya jatuh. Tapi dia bisa menghindarinya dan mundur dengan cepat. Ini lebih merepotkan lagi. 

Sambil memperbaiki kuda-kudaku dan bersiap mengeluarkan pisau tersembunyiku, aku memperhatikan keenam orang di depanku. Dua esper laki-laki berseragam merah, satu perempuan berseragam putih, satu perempuan ahli senjata bersenjatakan pedang dan belati,dan dua laki-laki bersenjatakan tombak. 

Tunggu. Aku kenal salah satunya. 

Tidak salah lagi, itu kakakku. Edward Masser. 

"Tunggu, Arno. Aku rasa aku pernah melihat orang itu," kata Edward saat melihatku, menghentikan laki-laki pengguna tombak beberapa langkah didepannya untuk jangan menyerang terlebih dulu. Aku tersenyum kecut dan menarik selempang yang jarang aku gunakan untuk menutup bagian bawah wajahku, termasuk mulut dan hidung. Saat ini hanya mataku yang tertutup bayangan yang tidak tertutup oleh pakaian. Aku ragu Edward bisa melihat ekspresi gusarku. 

Ya, aku gusar. Aku belum pernah mengalahkan Edward sekalipun. Apalagi dengan lima orang disampingnya. Itu jauh lebih merepotkan. 

"Kau yakin kita tidak sebaiknya menyerang lebih dulu?" tanya orang yang disebut Arno. "Dia bisa menghindari seranganku. Dia mungkin berbahaya." 

Pembawa KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang