08 - POV Eldamar Tharuk

1.1K 37 0
                                    

22 Juni 594, masa ke-enam kalender manusia.

Tidak ada hal aneh lain yang terjadi. Benda aneh yang melayang-layang di asrama juga hilang. Aku benar-benar satu kelas dengan Sugita dan Tavarain. Guru-guru memandang kami dengan tatapan aneh. Tapi itu sudah sering terjadi, bahkan di Saris. Jadi tidak masalah.

“Baik, simpan catatan dan pena kalian. Hari ini kita akan menuju gelanggang untuk mempraktikkan penggunaan sihir dasar, yaitu sebagai perisai. Minggu lalu kalian sudah mendapat teorinya, jadi kali ini hanya penerapannya. Silahkan!” kata PakTamril, guru dari klas kesatria. Penyihir jubah merah.

Hampir semua murid mengeluh tentang praktik yang tidak semudah teori. Bagiku sebaliknya, teori tidak semudah praktiknya. Tapi semua tetap antusias saat diajak ke gelanggang, karena gelanggang hanya boleh digunakan penyihir jika mendapat izin dari seorang guru pembimbing secara langsung, atau selama pembelajaran.

Berbeda dengan sekolah sebagai pembunuh di Nara yang dalam sehari ada banyak pelajaran dan latihan fisik sekaligus yang dijadwalkan, di sini hanya ada empat mata pelaajaran yang diajarkan dalam satu hari. Sialnya, setiap pelajaran berlangsung selama dua jam. Dimulai pada pukul tujuh tiga puluh pagi, selesai pukul lima sore.

Pelajaran paling dasar bagi penyihir adalah pengendalian sihirnya. Setelah itu, mereka diajarkan untuk menggunakannya pada benda-benda di sekitar mereka, seperti telekinesis. setelah mahir, barulah diajarkan membuat perisai.

Di akademi ini, pelajaran membuat perisai adalah yang paling awal diajarkan, karena penyihir tidak selalu diterima oleh masyarakat yang mayoritas non-penyihir. Bahkan jika kebetulan ada penyihir dalam masyarakat yang tidak dilatih di akademi Tukaru, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu bakat sihirnya, penyihir lemah yang kekuatannya disegel atas permintaan pribadi, atau penyihir-penyihir yang nyaris tidak bisa menggunakan sihir karena kurangnya latihan dan pengetahuan atas kekuatan mereka.

Atau, setidaknya, begitulah yang diajarkan pada murid di akademi ini. Toh, di kota ini penyihir dihormati. Tapi aku tidak tahu di kota lain seperti apa.

Tanpa terasa kami sudah sampai di tengah gelanggang. Pak Tamril memerintahkan kami untuk berbaris dalam empat barisan, tiap dua baris saling berhadapan, dengan jarak dari satu orang ke orang lain sekitar tiga meter. Aku berada di tengah-tengah. Katanya, kami boleh berputar-putar asalkan tetap di posisi.

Mungkin, kami akan disuruh menyerang satu sama lain sambil melindungi diri. Tapi kemungkinan itu kecil, mengingat belum semua dilatih untuk menyerang. Jika kami disuruh adu kekuatan dengan menempelkan perisai masing-masing, akan sangat menarik. Toh belum pernah ada yang pernah melakukannya.

“Bangun perisai kalian!” teriak Pak Tamril sambil melangkah mondar mandir, memperhatikan. Beberapa anak, termasuk aku, langsung membuat perisai dengan diameter dua meter dalam waktu kurang dari dua detik. Bahkan aku yakin gerakan angin di sekitar Haldir berhenti sebelum satu detik, menandakan perisai yang sudah dibuat. Sangat cepat. Dia pasti penyihir berbakat. Tapi, kenapa penyihir berbakat masuk di kelas J?

“Tahan selama mungkin!” teriaknya lagi. Aku sadar apa yang dia lakukan; menyerang muridnya satu per satu, dimulai dengan serangan lemah. Menurut teori, membuat perisai sihir membutuhkan jauh lebih banyak tenaga dan kalkulasi daripada menyerang dengan sihir.

Saat menyerang, seorang penyihir hanya perlu menghitung jarak, sudut datang dan tujuan, kekuatan, dan jumlah serangan yang dikirimkan ke satu titik, sedangkan saat bertahan, mereka harus melakukan antisipasi terhadap serangan dari semua sudut, kecuali jika tahu persis dari arah mana serangan itu berasal. Persoalan akan berbeda jika melawan manipulator tanah dan batu, tentunya.

Yang paling ujung adalah Sugita. Biarpun dia penyihir lemah, dia masih sekitar dua kali lebih kuat dari pada aku. Sialnya, perisai sihirnya ditembus pada serangan ke empat belas. Disampingnya berdiri gadis kecil, setahun lebih muda daripada aku. Kalau tidak salah namanya Diana Zarka. Dia berhasil menahan sampai tiga belsa serangan. Begitu seterusnya. Bahkan ada yang bisa menahan sampai dua puluh serangan. Kecuali Tavarain, yang hanya mendapat sepuluh serangan.

Pembawa KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang