3

123 71 79
                                    

Randi duduk disalah satu sisi ranjangnya, kepalanya menunduk menatap lantai dengan pandangan kosong. Sinar matahari menembus masuk melewati korden yang berkibar pelan terkena angin. Cuaca hari ini sangat cerah, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa kosong.

Kemudian bibirnya tersenyum kecil, mengingat bahwa ia sekarang memiliki Ree membuatnya merasa lega. Ia tidak sendirian di sini, ia punya seseorang yang membutuhkan kehadirannya, ia punya alasan untuk bertahan sejauh ini. Tangannya meraih ponsel yang berada di atas nakas, jari jempolnya menekan nomor telepon yang diberi dengan nama 'Renjana'.

"Kamu dimana? Aku ke rumahmu, ya?" tanyanya pada Ree yang berada di seberang telepon.

"Aku lagi nemenin tetanggaku keliling komplek, kamu kesini aja," jawab Ree.

Ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian ia keluar dengan handuk yang melingkar di pinggangnya. Ia berdiri di depan cermin, menatap tubuhnya sendiri dengan pandangan sendu. Mereka hanya menilai, mereka mengatakan dirinya sempurna secara fisik, tapi tidak dengan hatinya yang rapuh. Ia hanya berpura-pura tegar.

Kaos oblong warna putih, dilapisi jaket biru laut berbahan jins, dengan celana jins hitam melekat sempurna di tubuhnya. Ia berjalan menuruni tangga menuju dapur, matanya menatap sekitar dan hanya menemukan Bi Siti yang sedang memasak memasak.

"Mari sarapan dulu, Mas Randi," ajak Bi Siti yang dibalas anggukan oleh Randi.

Ia duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan dan menunggu Bi Siti menyiapkan sarapan untuknya. Ia makan dengan hening, ia sudah terbiasa makan sendiri seperti ini, tapi tetap saja ada rasa kesepian yang kadang ia rasakan.

"Randi keluar dulu ya, Bi," pamit Randi ketika sudah selesai makan.

"Iya hati-hati, Mas Randi."

Ia berjalan keluar rumah menuju garasi, ada satu mobil dan satu motor sport terparkir disana. Ia memutuskan untuk mengendarai motornya, dan ketika ia baru keluar dari garasi seorang anak perempuan berusia lima tahun menghalangi jalannya dengan merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Abang, mau kemana?" tanyanya dengan bibir melengkung ke bawah.

"Mau jalan-jalan, Cika mau ikut?"

Mata anak kecil bernama Cika itu berbinar bahagia, bibirnya langsung terangkat membentuk senyum senang, memperlihatkan giginya yang hilang satu di bagian depan.

Cika adalah anak dari Tante Nina dan Om Sigit, tetangga depan rumahnya. Cika menjadi akrab dengannya karena Randi sering main ke rumah Om Sigit untuk sekedar mengobrol atau mengajak bocah cilik itu bermain ketika dirinya bosan di rumah.

"Cika mau beli donat."

Randi mengacak rambut gadis kecil itu. "Yaudah ayuk," ajaknya sambil mengangkat Cika untuk naik ke atas motornya.

"Abang kok nggak naik mobil?"

"Cika mau naik mobil?"

"Enggak." Seketika Randi diam seribu bahasa, tak tau lagi harus berkata apa.

Randi menghentikan motornya tepat di depan toko roti, kemudian mengangkat Cika untuk turun dari motornya.

"Cika mau donat yang mana?" Randi menunjuk jejeran donat yang dipajang di etalase.

"Cika mau donat yang coklat."

"Yang coklat, Mbak. Satu kotak," ucap randi pada karyawan toko.

"Ditunggu, Mas." Tak lama kemudian, karyawan toko memberikan satu kotak yang berisi donat coklat.

Kemudian Randi mengajak Cika untuk segera pulang, karena bila Cika mempunyai inisiatif lagi, bisa dijamin ia akan diajak main odong-odong seharian.

"Makasih, Abang. Lain kali kalo Cika mau jajan, Cika ngajak Abang aja," ucap Cika tak tau diri.

"Iya sama-sama." Randi tersenyum manis. "Abang pulang dulu, ya," pamit Randi yang dibalas anggukan kecil bocah cilik itu.

Randi melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh siang. Kemudian ia mengendarai motornya menuju rumah Ree untuk menghabiskan waktunya dengan pacar.

*****

Ree dan Leo berjalan bersisian sambil mengamati komplek yang cukup ramai oleh anak-anak kecil yang bermain di depan rumah.

"Ternyata kalau hari minggu rame juga, ya." Leo membuka pembicaraan setelah lama hening.

"Iya, kadang gue juga ikutan main bareng anak-anak kecil disini."

"Ck, dasar bocah," cibir Leo, yang kemudian mendapat lirikan tajam dari Ree.

Tiba-tiba muncullah sebuah ide menyenangkan yang menghinggapi kepala Leo.

Ree berjalan santai, tak merasa curiga sama sekali oleh Leo yang memasang tampang lempeng.

Bruk!

Ree terjatuh.

"Ahahhaahhah!" Sorakan serta tawa anak-anak kecil itu membuatnya cepat-cepat bangkit berdiri dengan bibir yang meringis menahan nyeri di kakinya. Sakitnya sih nggak seberapa, malunya itu loh, ditertawakan anak kecil.

Dengan kaki pincang sebelah, ia mengejar Leo yang berhasil melarikan diri darinya. Tapi kemudian ia menyerah, karena semakin dipaksa, kakinya semakin terasa nyeri.

Ree berjalan ke arah Leo yang duduk di teras rumahnya sambil nyengir tak berdosa. "Udah sampe?" tanya Leo basa-basi.

Ree mencoba memasang senyum semanis mungkin sambil menjawab,"iya, baru sampe. Ambilin minum dong."

Leo bangkit berdiri dari duduknya, berniat mengambilkan Ree segelas air minum. Tapi kemudian ia berhenti ketika merasakan sakit luar biasa di kepalanya.

Ree menjambak rambut Leo dengan kuat. "Lo sengaja, kan. Bikin gue jatuh!" teriak Ree tepat ditelinga Leo.

Seperti orang kesetanan, Ree tak peduli dengan permintaan ampun dari mulut Leo. Menurutnya, ini kurang setimpal dari rasa malu yang ia dapatkan tadi.

"Ampun, Ree. Ampun!"

"Sialan! Lo nggak pernah diketawain bocah ya?!"

Sampai kemudian Randi datang dengan motor sport-nya memasuki pelataran rumah Ree. Gadis itu seketika mengehentikan aktivitasnya—yang langsung dipergunakan Leo untuk melepaskan diri—dan menatap Randi dengan senyum mengembang di bibir gadis itu.

"Siapa?" tanya Randi sambil mengedikkan kepalanya ke arah Leo.

"Kenalin, ini tetangga baruku. Leo," ucap Ree memperkenalkan Leo pada Randi.

Randi mengulurkan tangannya ke arah Leo yang langsung diterima dengan baik oleh Leo.

"Leo," ucap Leo memperkenalkan diri.

Randi mengangguk sebelum berkata, "Randi, pacarnya Ree."

Setelah itu, Leo pamit untuk pulang dengan alasan ada urusan mendadak.

"Kamu jangan deket-deket deh sama Leo," ucap Randi tiba-tiba.

"Kenapa?"

"Enggak, takutnya kamu malah nyantol ke dia."

"Dih, takut kehilangan nih ceritanya," goda Ree sambil tertawa mengejek.

Hai Guys!
Sorry kalo nggak jelas 😖
Jangan lupa kritik dan sarannya ya...
Kalau suka jangan lupa vote juga...

Love you :*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Amor VulnereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang