Chapter- 5: Cokelat Masa Period

58 9 1
                                    

◇Manis yang datang dalam hidup kadang membutakan hingga lupa entah dengan cara bagaimana semuanya akan berakhir dan saling melupakan

♡♡♡

Sarapan pagi ini tidak Meila sentuh sedikit pun. Suasana hatinya telanjur hancur sejak kemarin sore. Ia bahkan sampai tidak bisa tidur nyenyak apalagi fokus ke jadwal seleksi untuk pemain pianis solo di tempat lesnya sore nanti.

"Kenapa, Sayang? Nggak nafsu makan?" Suara Marko mengawali pembicaraan sejak Meila datang ke ruang makan dan berkali-kali mengembuskan napasnya dengan lelah.

"Iya, Pah. Mei lagi nggak nafsu makan," jawab Meila sembari menggeserkan piring berisi sandwich di atasnya.

"Setidaknya minum susu ya, Sayang?"

Meila mengangguk dan meneguk setengah gelas susu putih yang dibawakan mamahnya. Selain membawakan gelas susu, Nada pun membawakan tas kecil dengan tepak berisi buah yang kemarin telah disiapkan. Ia masukkan langsung ke tas Meila yang tersampir di kursi.

"Ini buah-buahannya udah Mamah siapin buat nanti makan siang. Ingat jangan jajan yang sembarangan, oke? Nanti ke tempat lesnya juga Mamah pesenin taksi tepat waktu, nggak boleh naik motor dulu."

Posisi duduk Meila menyamping saat Nada berdiri di samping kursinya. "Mei kayaknya enggak akan lolos, Mah."

"Kok pesimis gitu, sih? Ini beneran Meila anaknya Mamah?" Nada mengelus-elus rambut panjang Meila dan tersenyum hangat. Perlakuan seorang mamah yang selalu Meila suka.

"Mei nggak bisa fokus, Mah. Ada hal yang terus ganggu pikiran Mei."

"Kenapa lagi? Berantem lagi sama Bayu?"

Meila buru-buru mengalihkan pandangan pada Marko. "Kenapa Papa tanya gitu?"

"Loh? Emangnya ada alasan lain yang bikin kamu jadi hilang mood kayak gini?"

"Bener juga." Meila menunduk pasrah. "Cowok sinting itu nyebelin banget emang."

"Kalian udah temenan lama masa iya masih ngambekan kayak gini? Kalian kan udah bukan anak kecil," tutur Nada.

"Ngambeknya anak kecil sama anak dewasa masih jauh lebih mending anak kecil, Mah. Udah dewasa kayak gini mah, ribet."

"Itu tandanya kamu belum dewasa."

Lagi-lagi ucapan Marko membuat Meila mengalihkan fokusnya. "Tapi aku kan udah gede, Pa."

"Kamu masih remaja. Jauh dari kata dewasa," timpal Marko dengan tawa mengiringi kalimat yang diucapkannya.

"Ih, Papa ...."

Nada ikut tertawa renyah melihat anaknya merajuk. "Udah, kamu mending baikan sana sama Bayu. Paling marahannya juga karena hal sepele, 'kan?"

"Sepele apaan." Meila menyahut. "Kalau emang sepele, nggak akan ada yang kabur begini."

"Kabur gimana?" Marko kembali menimpali. Siap merespons apa saja yang akan anaknya bicarakan.

"Enggak papa. Mei berangkat dulu, deh. Taksinya udah di depan," putus Meila ketika ia melihat status mobil yang dipesannya lewat aplikasi itu sudah tiba di tempat tujuan dan menyuruhnya cepat datang.

"Hati-hati di jalan, Sayang. Kalau sore nanti udah di tempat les jangan lupa kabarin."

"Iya, Mah," ujar Meila dengan sedikit berteriak ketika melangkah pergi meninggalkan ruang makan.

Meila membuka pintu rumah dan kembali menutupnya. Mobil taksi berwarna silver sudah terparkir di depan. Langsung ia berlari ke arah gerbang dan membukanya.

Do Men Cry? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang