Chapter-18: Tak Lagi Bersama

59 4 0
                                    

Seperkian detik mampu membuat mata berkedip, juga meloloskan aliran tak terduga dari pelupuk mata dengan siratan luka selepas bahagia

♡♡♡

Sekeras apa pun mencoba, sesuatu yang sudah jelas terjadi tidak dapat dienyahkan begitu saja. Bahkan setelah dipikirkan selama seharian pun, rasa sakit dan kecewa dari fakta apa yang jelas diketahui tak dapat dihilangkan sama sekali. Semua gambaran akan apa yang terjadi terlalu jelas sehingga sulit membuatnya tersamar oleh perasaan sendiri.

Hari minggu kemarin, Meila sempat berniat menghubungi Fabian dan mengajaknya bertemu untuk membicarakan kembali hal yang kemarin ini tiba-tiba disimpulkannya seorang diri. Namun, ekspresi Fabian di malam hari ketika memutuskan hubungan benar-benar tak dapat terhapuskan. Bagaimana cowok itu mengucapkannya, nada suaranya, mimik wajahnya, bahkan dari kedipan mata yang tidak terlihat terbebani sama sekali. Membuat Meila akhirnya menenangkan diri dan mencoba untuk menahan keinginan diri sendiri.

Hari Senin, salah satu hari di setiap minggu yang terbilang cukup melelahkan bagi murid sekolah. Berjemur di bawah teriknya sinar matahari pagi. Terlebih ketika mendapat giliran pembina upacara dengan penyampaian amanat berdurasi lama, menambah waktu untuk semua murid berjemur dengan waktu tambahan.

Usai pemberian pengumuman karena ujian akhir semester genap bagi kelas sepuluh dan sebelas tak lama lagi dilangsungkan, para pemimpin pasukan pun membubarkan pasukannya. Semua murid di lapang upacara pun bubar dengan arah berbeda-beda. Entah itu pergi ke kantin untuk melepas dahaga, ke kelas untuk menyiapkan pelajaran pertama, pergi ke loker untuk menyimpan topi bagi para pelupa, atau bersantai di taman untuk menyejukkan diri sampai teman sekelas memberi tahu bahwa guru sudah ada di kelas. Sedangkan Meila, dengan sialnya harus pergi ke ruang guru karena mendapat panggilan dari guru Matematika.

Di perjalanan pulang ketika berbelok hendak menuju kelasnya, Meila harus melewati satu kelas sebelas IPA lainnya. Langkahnya tiba-tiba melambat dengan kepala tertunduk dalam. Dengan jantung berdegup kencang, ia bahkan sampai berjalan sembari menutup mata ketika melewati pintu kelas yang terbuka.

"Mei," sapa seorang guru seraya menggandeng tangan Meila.

Meila terperanjat sampai melototkan matanya. Ketika tahu siapa yang berada di sampingnya, ia tersenyum lebar dan menyapa balik. "Pagi, Bu Riri."

"Sedang apa kamu jalan sambil merem-merem begitu?" tanya Ibu Riri.

Meila semakin melebarkan senyumnya. "Tadi lagi nguap, Bu."

Ibu Riri mengangguk dengan tersenyum. "Oh, kirain lagi baca mantra."

"Ibu sendiri mau ke mana?" Meila menggeleng, ia benar-benar tidak fokus. "Maksud aku, lagi ada jadwal ngajar di mana?"

"Kamu tumben nggak tahu jadwal ngajar Ibu."

Karena Ibu Riri sudah menjadi pengurus ekskul musik sejak Meila kelas sepuluh, tentu mereka saling dekat sampai tahu jadwal mengajar tiap pekannya. Terlebih lagi, passion kedua sama-sama di alat musik piano.

Meila mengingat sejenak. "Senin ... oh, sebelas IPA ... dua ya, Bu?"

"Iya, ini kelasnya di depan kita."

Meila mengangguk tanpa ekspresi. "Iya."

"Mei, mau bantu Ibu nggak? Nanti Ibu kasih izin dua kali satu pekan deh, buat pake ruang musiknya."

"Bantu apa?"

Ibu Riri mengeratkan rangkulannya pada tangan Meila."Masuk kelas sebentar, ada yang mau Ibu sampaikan."

Do Men Cry? (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang