◇Menyimpulkan suatu hal dengan sudut pandang sendiri hanya akan membawa kesalahpahaman berujung tak berarti◇
♡♡♡
Setelah tidak bertemu sejak jam istirahat pertama, Meila akhirnya mendapatkan pesan dari Fabian untuk memintanya bertemu di kafe waktu itu. Ia sebenarnya sangat ingin untuk meminta agar mereka pergi bersama, tapi sopir yang sudah menunggu di luar gerbang membuat ia tak punya pilihan.
Sesaat setelah memasuki kafe di kompleks perumahannya, Meila langsung berniat untuk membalikkan badan dan hendak pergi. Namun, ia putuskan duduk di meja lain dan berbagi punggung untuk menutupi pemandangan tidak mengenakkan di matanya. Meila pun memesan coffee latte dan mencoba rileks dengan posisinya.
Meila mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Ia tempatkan benda itu di ujung meja dan melihat bagaimana seorang cowok tengah menatap lurus ke pintu masuk. Bayu, cowok itu duduk seorang diri dengan satu gelas kopi hitam di mejanya.
"Kok kalian duduknya pisah meja gitu, sih?"
Suara Fabian membuat pandangan kedua insan di meja berbeda itu mengalihkan fokusnya. Keduanya tidak ada yang memberi pergerakan. Hanya terdiam seolah tak ada yang harus mereka lakukan.
Fabian memutuskan untuk menarik Bayu. "Bay, ayo!"
Bayu menggeleng meski tetap berdiri dari kursinya. "Nggak mau!"
Fabian menarik kursi yang berseberangan dengan Meila dan menyuruh Bayu untuk duduk di sana. Karena dua lawan bicara duduk berhadapan menjadi etika berkomunikasi untuk memecahkan masalah bersama.
"Maaf banget agak lama, tadi soalnya abis anterin adek dulu ke tempat nenek," ujar Fabian ketika mendaratkan bokongnya di kursi antara Bayu dan Meila.
"Kamu sengaja undang Bayu juga?" tanya Meila dengan kepala yang tertoleh ke sisi kanan sementara Fabian berada di sisi kirinya. Ia sengaja mengalihkan pandangan dari sesuatu yang berada di seberangnya.
"Aku emang niatnya mau ketemu sama kalian berdua," jawab Fabian sembari mengangkat tangannya, memanggil seorang pelayan untuk mencatat pesanannya.
"Kalau begitu, aku pulang."
"Mei ...." Fabian menggapai tangan Meila dan membuatnya kembali terduduk. "Kalian pasti bisa selesaikan semuanya dengan bicara baik-baik."
"Baik-baik?" Meila kini meluruskan pandangannya. Memperhatikan bagaimana ia akan mengurus cowok yang kini duduk dengan topi hitam di kepalanya. "Aku nggak yakin. Mau aku bicara sejelas apa pun, dia nggak akan bisa ngerti, Bi."
"Coba dulu. Kalau kalian saling diem, salah pahamnya makin besar nanti. Persahabatan kalian juga yang bakal kena ruginya," ucap Fabian dengan tenang, bahkan dengan tangan yang masih menggenggam tangan Meila dengan halus.
"Sahabat? Apa aku masih sahabat buat dia?" Meila mengalihkan pandangannya pada Fabian dan sukses membuat mulutnya terbuka lebar. Sudut bibir cowok itu membuat Meila menatapnya dengan khawatir.
"Terus lo pikir apa?" Bayu menyahut dan membuat pandangan Meila tergerak. Ia lihat bagaimana pipi Bayu yang lebam dan mulai membuat kesimpulan tentang apa yang sudah terjadi di antara mereka berdua. "Apa kalau bukan sahabat?"
Meila menggeleng. "Aku udah nggak yakin."
Bayu menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap Meila dengan malas. "Meski gue berusaha terus selalu ada buat lo?"
"Apa hal itu penting sekarang?"
"Maksud lo?" Bayu menggebrak meja bahkan saat seorang pelayan tengah berdiri di sampingnya. Buru-buru Fabian memberi isyarat agar pelayan itu pergi dan tidak jadi memesan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Do Men Cry? (Completed)
Teen FictionTeenfiction by kazza_05 ©2020 What does a man do when his lover leaves? ●Do Men Cry?● Menjalin cinta di usia remaja memang banyak hal-hal sederhana seperti perlakuan spesial yang tidak diketahui untuk kekasihnya. Meila yang sudah berani menyatakan p...