Bab 1

65 11 2
                                    

Maserati putih berjenis GranTurismo terlihat menerobos rintik hujan yang kian larut malam kian deras. Gelapnya malam di pedesaan tampak semakin membuat keadaan sunyi—membunyikan alarm untuk segera masuk ke dalam rumah, menutup pintu, dan bergelung dalam selimut tebal yang akan membuat mata cepat terkatup.

Sekeliling jalan—tepat di kanan-kiri Maserati yang sudah basah kuyup—banyak pohon cemara, pohon mahoni, dan pohon terbesi yang rimbun bahkan dahan-dahannya sudah menutup jalan (di atas tepatnya), mungkin beberapa saat lagi akan ditebas karena menganggu namun, akan sangat nyaman saat siang hari karena daun-daunnya akan menyejukkan dan menyegarkan.

Helena, lengkapnya Helena Zoe Amoera, gadis dengan gamis panjang dan kerudung pashmina (dengan warna senada, merah) tengah melihat keadaan luar di balik Maseratinya. Sudah lima jam ia duduk di dalam mobil—berhenti sekali saat menunaikan salat di masjid.

Wajah Helena terlihat kuyu dan bahkan sesekali matanya akan menutup, beberapa saat yang lalu karena terlalu mengantuk kepalanya harus terantuk kaca mobil. Untuk menghindarinya lagi dengan terpaksa ia menengok ke luar, pipinya yang dingin ia tempelkan ke kaca mobil—sesuatu yang Helena suka dan sering lakukan.

"Pak?" Dengan suara seraknya Helena memanggil Ahmad, sopir pribadinya, tanpa menghentikan aktivitasnya yang sudah seperti cicak—menempel di dinding.

Ahmad melirik Helena melalui spion yang mengembun lalu menjawab, "Ya, Non? Apa ada masalah?"

Helena menegakkan tubuhnya kembali sambil menatap Pak Ahmad, ia dengan cepat menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada, Pak, Helena cuma mau tanya, sampainya kapan, Pak? Helena capek, pengen tidur," ucap Helena yang membuat Pak Ahmad tertawa kecil. Pak Ahmad paham betul dengan sifat Helena; manja, cengeng, childish, dan mudah mengeluh. Ia kembali meniti wajah Helena yang memang pucat lalu menghela nafas.

"Kurang lebih lima menit lagi, Non, nanti kalau sudah sampai Non langsung tidur saja, biar saya yang ngurus barang-barang, Non," jawab Pak Ahmad yang membuat Helena berteriak girang dalam hati; senang bukan main karena tidak lama lagi ia akan segera sampai, dan yang paling ia tunggu-tunggu adalah tidur. Hanya tidur, karena sungguh badannya terasa pegal-pegal.

Tangan Helena mulai merapikan barang-barangnya yang ia keluarkan di bangku mobil saat ia gabut dan booring. Satu per satu barang-barang itu mulai berkurang dan masuk ke dalam tas kecil Helena yang berbentuk kepala beruang dan pastinya berwarna coklat, salah satu warna kesukaan Helena karena tampak lezat seperti es krim.

"Sip!" seru Helena saat sticky notes warna-warni sudah berhasil masuk.

Mata Helena berbinar tepat ketika Maserati putihnya memasuki pelataran rumah bergaya Eropa yang tampak mungil dan mewah. Kesan klasiknya semakin menambah kesan kehangatan rumah itu. Hati Helena kian membuncah, tidak sabar untuk berkeliling dan menjelajah seluruh ruangan yang terlihat menawan.

Setelah melihat mobilnya terpakir—dari dalam mobil—di garasi dengan tepat Helena mengambil tasnya secepat kilat. Tatapannya benar-benar terpaku pada rumah warisan yang akan ia tempati selama liburan kenaikan kelas berlangsung, ia akan menceritakan kepada sahabat-sahabatnya jikalau ia berlibur di rumah bergaya Eropa yang klasik, hangat terlebih warisannya. Pasti sahabat-sahabatnya akan langsung iri dan cemberut dan setelahnya yang terjadi adalah pemaksaan kepadanya untuk mengajak mereka ke rumah warisannya.

Helena menuruni mobil dengan tidak sabaran, sampai-sampai ujung gamisnya terinjak oleh flat shoes coklatnya. Sepersekian detik Helena memekik, takut terjatuh dan mendarat dengan tidak etis. Beruntung tubuhnya berhasil seimbang, alhasil ia hanya terhuyung. Dari belakang mobil Pak Ahmad hanya bisa berdecak kagum, tidak percaya jika anak majikannya sehiperaktif itu.

Rumah WarisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang