Bab 2

36 10 16
                                    

Helena menatap pemandangan di depannya jenuh, sudah satu jam lamanya ia duduk termenung—di kursi berjenis arm chair yang memiliki warna hitam dengan beberapa corak putih yang membuatnya terkesan kasual.

Pikirannya melayang ke mana-mana, di satu sisi ia ingin menghubungi orangtuanya (seperti rencana awal saat ia berada di warung) untuk mengetahui hal-hal apa saja yang berhubungan dengan rumah warisannya, tapi di sisi lain rasa ragu mulai bercokol di hatinya. Ia tidak mau mamanya khawatir dan berakhir menyusulnya, karena ia butuh refreshing dan ingin lebih mandiri namun, ia juga tidak akan sanggup menempati rumah mengerikan yang sialnya memiliki predikat rumah warisannya, terlebih dalam jangka waktu yang lumayan.

Aku nggak akan sanggup, bisa mati kayang aku kalau tinggal di rumah itu terus-menerus, batin Helena yang kini memutar-mutar ponselnya.

Seperti ponselnya, matanya kini ikut berotasi. Terdengar helaan napas yang sesekali keluar melalui sela-sela mulutnya, terasa berat sekali. Sepertinya sejak Helena pindah ke rumah warisannya ia lebih sering menghela napas berat, seolah tengah menanggung beban berat, lebih tepatnya sejak kemarin.

Suhu udara yang lumayan panas membuat badan Helena memerah. Sepertinya alergi cuaca Helena kambuh. Tangan Helena yang semula memutar-mutar ponsel kini dengan cepat dan teratur menggaruk tangan, kaki, dan beberapa tubuh Helena. Tampak bintik-bintik merah bekas garukan yang kian lama kian bertambah, rasa panas dan gatal kian menyatu dan membuat Helena kelimpungan sendiri.

Lebih panas rasanya dibanding melihat mantan sama yang baru, batin Helena yang kini mulai menunduk—hampir jongkok—untuk menggaruk (lebih seperti mencakar) kulit lututnya.

Helena Zoe Amoera, atau yang sering dipanggil Helena adalah siswi kelas 10 (setelah liburan ia akan menjadi siswa kelas 11). Ia tinggal di Jakarta Selatan bersama orang tuanya sejak berumur tiga setengah tahun. Sebelumnya ia tinggal di Desa Kembang, Jawa Tengah. Desa yang kini Helena singgahi kembali, namun dengan kondisi dan situasi berbeda.

Dulu, Helena sangat senang berada di desa ini, bahkan saat sang papa mengajaknya ke Jakarta ia bersekiras untuk tetap di desa, tapi karena kedua orangtuanya tidak mempunya siapa pun di sini Helena mau tidak mau terpaksa ikut ke Jakarta, menyedihkannya lagi ia harus terpisah dengan Andre—sahabatnya yang beberapa waktu lalu ia jumpai lagi.

Walaupun masih sangat belia Helena dan Andre sama-sama sudah memiliki rasa yang kuat, rasa di sini bukan tentang cinta, namun persahabatan yang entah sejak kapan merambat dan mengakar kuat di hati Helena. Perpisahan itu membuat Helena menjadi pribadi yang introvert dalam kurun waktu tiga tahun, sampai ia menemukan dua sahabat perempuan yang sampai sekarang menjadi sahabatnya ... dan satu sahabat laki-laki yang sifatnya hampir sama dengan Andre.

Sebelum bertemu dengan Andre, saat melihat Arsen—sahabat laki-laki Helena yang sifatnya hampir sama dengan Andre—Helena selalu merasa sedih, ia kembali teringat Andre, dan itu membuatnya merasa sakit. Seiring berjalannya waktu Helena mulai bisa mengobati rasa sakit itu. Ia menjadikan rasa sakitnya sebagai pecutan semangat supaya bisa kembali bertemu Andre, dan atas ijin-Nya setelah bertahun-tahun berpisah, Helena akhirnya kembali bertemu Andre. Mungkin hanya itu yang membuatnya tetap bertahan di rumah warisan menyeramkannya, ya, hanya itu sepertinya.

"Akusukabodigoyangmamamudapapamuda geleng-gelengkeringetanakumahapaatuh," latah Helena saat pundaknya ditepuk keras dari samping.

Mata Helena memicing tajam saat mendapati Andre tengah tertawa keras—sambil berlagak menyeka sudut matanya. Rasa panas akibat alergi kini bertambah dan Helena sangat tahu cara untuk menyalurkan rasa kesalnya. Ya, pada Andre lah ia akan menyalurkan rasa kesal, panas, gatal, dan sakitnya, biar ia tahu rasa dan kapok menjahili Helena.

Rumah WarisanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang