Agar Yang Rapuh Menangguhkan #2

57 4 0
                                    

***
"Anak-anak! Ilmu itu ibarat binatang buruan, jika tidak diikat, ia akan hilang. Maka, sudah seharusnya ketika kita mempunyai ilmu, kita mengikatnya dengan mengamalkannya. Bukankah yang sudah diamalkan, akan terus dikenang. Seperti ditinggalkan oleh orang terkasih, maka kita tidak akan pernah melupakannya...." Jelas Ustadz Ihsan.

"Seperti ditinggalkan pacar, ya, Ustadz? Karena itu juga sulit untuk dilupakan." Celetuk Rizki.

"huuuuu! Dasar playboy." Sorak para santri.

Kata "playboy" bagi kami bukan berarti sering dan banyak pacaran. karena kami tahu pacaran haram dan mendekati zina. "playboy" bagi kami adalah sebutan untuk orang-orang/anak santri yang sering ngomongin tentang pacaran. Aneh memang. Tapi itulah kami. Meskipun tidak pacaran, hasrat ingin memiliki pendamping masih ada. Namanya juga manusia, ya-kan :).

Ustadz Ihsan hanya tersenyum melihat tingkah laku anak santrinya.

"Karena ilmu merupakan keberkahan dan anugerah dari Allah. Maka tidak boleh disia-siakan. Bahkan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Mujadilah: 11.

***
"MasyaAllah! Ingatan tentang ilmu dari Ustadz Ihsan masih ingat sampai sekarang." Kataku dalam hati.

Itulah salah satu alasan yang membuat tekadku untuk menjadi seorang ulama semakin kuat. Selain itu, melihat pemahaman masyarakat Indonesia yang kacau, juga tidak berdasarkan Qur'an dan Sunnah. Semua hadits dimakan, tanpa disaring dulu. Akhirnya banyak pemahaman-pemahaman yang keluar dari jalur Quran Sunnah.

***
"Salim. Tolong kasihin buku ini ke Ustadz Ihsan! Umi sudah beres membacanya." Perintah Umi dari tengah rumah.

"Iya, sebentar."

Langsung saja segera kulaksanakan perintah Umi.

"Sudah berapa hari, ya, tidak bertemu Ustadz Ihsan?" Gumamku dalam hati sembari berjalan meninggalkan rumah.

***
"Woy! Tumben ente keluar kandang."

Begini, nih, kalo ketemu Ridwan, pasti ngomongnya ngaler-ngidul.

"Emang ana kukuteun?! Jawabku ketus.

"Afwan. Bercanda. He-he"

Udah salah, masih bisa cengengesan pula.

"Mau kemana nih? Tumben keluar rumah. Biasanya ente keluar hanya untuk ke masjid aja." Tanya Ridwan.

"Ana mau ke rumah Ustadz Ihsan. Ada titipan dari Umi."

"Ana ikut, ya! Sudah lama tidak bertemu Ustadz Ihsan." Pinta Ridwan.

"Iya sudah. Ayo!."

***
Sesampainya dirumah Ustadz Ihsan. Terlihat Ustadz sedang membaca majalah diteras luar rumahnya.

"Assalamualaikum, Ustadz!." Sapa kami.

"Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuh. Eh kalian. Silahkan masuk!" Jawab Ustadz Ihsan.

Ustadz Ihsan mempersilahkan kami untuk duduk bersamanya.

"Ustadz bagaimana kabarnya?" Tanyaku.

"Alhamdulillah baik. Kalian bagaimana? Sudah lama, ya, tidak bertemu. Seingat Ustadz sebulan yang lalu kalian telah lulus di pesantren."

"Alhamdulillah kami baik Ustadz."

"He-he iya Ustadz. Sudah lama, ya. Ana lagi sibuk mencari pekerjaan. Alhamdulillah ada paman dari kota menawarkan pekerjaan." Kata Ridwan.

"MasyaAllah! Barakallah Ridwan. Bekerja memang sunnatullah yang pasti dijalankan. Tanpa pekerjaan, kita tidak bisa hidup."

"Pekerjaan juga bukan hanya tentang kehidupan yang layak, tapi esensi nya adalah melaksanan salah satu tugas dari seorang suami khususnya, dan tugas manusia umumnya. Rizki memang tidak akan tertukar, tapi rizki harus diusahakan."

"Bekerja juga bukan tentang uang. Belajar juga merupakan suatu pekerjaan. Hanya saja belajar terfokus pada pendalaman ilmu. Dan pekerjaan pun sama. Pekerjaan merupakan sebuah metode pembelajaran untuk mendewasakan diri. Bagaimana cara hidup mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang tua." Tambah Ustadz Ihsan.

Inilah yang kami rindukan dari Ustadz Ihsan. Petuahnya selalu tercerna dengan baik dalam hati. Enak didengar, dan mudah diingat. MasyaAllah!

"Kalo antum, Salim? Ustadz dengar antum mendaftar kuliah di Madinah, ya?"

"Na'am, Ustadz. In sya Allah hari ini pengumumannya."

"MasyaAllah! Barakallahu Fik. Apapun hasilnya, itulah takdir yang telah Allah gariskan untukmu."

"Na'am, Ustadz. Ana sudah siap segalanya."

Mendengar petuah dari Ustadz Ihsan membuat kami terlupa dengan tujuan kami berkunjung kerumah beliau.

"Oh iya, ini ada titipan dari Umi." Kataku sambil menyerahkan titipan itu.

"Alhamdulillah. Syukron katsiran, ya, Salim."

"Afwan, Ustadz. Kami mohon izin untuk pulang."

"Tafadhol!

"Assalamualaikum."

"Waalaikum Salam Warahmatullahi Wabarakatuhu."

Kami beranjak pulang. Tapi tidak untuk Ridwan. Bagi dia rumah keduanya adalah rumahku. Dia seperti sudah menjadi sebuah bayangan. Kemanapun aku pergi, pasti dia mengikuti.

***
"Lim, ente yakin mau meninggalkan kampung kita tercinta ini?" Tanyanya.

"Untuk urusan kebaikan kita semua, kenapa tidak?" Jawabku mantap.

"Tapi, bagaimana dengan Aisyah, calonmu? Bukankah dengan ente kuliah disana membutuhkan waktu yang.....?"

Belum selasai berbicara, mulutnya sudah aku bungkam dengan rapat.

"Oh iya, ya. Bagaimana?" Resahku dalam hati.

***
Translate (Terjemahan kata)

Ngaler-ngidul: Topik pembicaraan kemana saja.
Kukuteun: Hewan Peliharaan
Afwan: Maaf. Jika dibarengi dengan ucapan terima kasih, maknanya menjadi "maaf, saya tidak pantas mendapatkan hal itu" (tawadhu).
Barakallahu Fik: Allah memberkahimu
Antum: Kamu (dengan bahasa yang sopan)
Na'am: Iya.
Sunnatullah: Kebiasaan, watak, jalan. Kebiasaan atau cara Allah dalam mengatur alam dunia
Esensi: Hakikat
Syukron katsiran: Terima kasih banyak
Tafadhol: Silahkan

Bagaimana lanjutannya?
Silahkan tinggalkan saran dan kritik kalian di kolom komentar. Jangan lupa di vote, dan share ke temen-temen yang lain, ya. Supaya kami lebih semangat lagi untuk meneruskan dan menamatkan cerita ini.

#stayathome
#sosialdistance

Cinta Yang DinantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang