Dua bulan lagi kuliah di kampus impian akan segera terwujud. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Setiap hari pulang pergi ke kota hanya untuk membawa sebuah surat yang akan membawaku kesana. Nampak ribet. Tapi semua dilakukan ikhlas karena Allah. Aku tidak mau perjuangan itu sia-sia hanya karena pengurusan administrasi yang lama.
***
“Lim, berkas apa yang belum ada?” Kata Abi.
“Tinggal visa aja kayanya, Bi.”
“Ya udah nanti besok Abi pergi ke kota untuk buatin visa.”
“Iya, Abi, makasih udah bantu Salim sampai sejauh ini.”
Mataku berbinar mengucapkan itu. Anak mana yang tidak akan terharu terhadap perjuangan orang tuanya. Mereka mendidik kita dari kecil tanpa pamrih. Tidak pernah orang tua meminta balasan atas apa yang telah dilakukan untuk membesarkan anaknya.
Abi memandangku dengan penuh perhatian. “Inikah rasa sayang seorang ayah kepada anaknya?” Gumamku dalam hati. Bagi seorang laki-laki ada rasa gengsi tersendiri ketika berhadapan dengan seorang ayah. Sangat sulit untuk berterima kasih. Padahal tanpa disadari seorang ayah sudah berjuang keras untuk kebahagiaan keluarganya.
“Sudah sewajarnya kan seorang ayah berbuat yang terbaik bagi anaknya?” Kata Abi.
Deg. Baru kali ini rasa sayang dari seorang ayah aku rasakan. Kalimat tersebut sangat lembut masuk ke dalam gendang telinga, diproses oleh otak, kemudian turun dan dirasakan oleh hati. Air mata tak terbendung lagi. Mengalir deras membasahi pipi. Kupeluk Abi dengan penuh kehangatan.
“Maafkan Salim, Salim belum bisa menjadi anak yang Abi dan Umi harapkan.”
Tangisku benar-benar pecah. Tidak pernah aku se-cengeng ini sebelumnya. Sungguh mengharukan.
“Abi dan Umi tidak pernah menuntut apapun kepada Salim. Apapun yang Salim cita-citakan akan selalu kami dukung.”
***
Pagi hari, ayam jantan Abi berkokok sangat kencang. Menandakan sang mentari ingin memancarkan sinarnya kepada dunia. Menuntut yang melihatnya untuk segera terbangun dari buaian sinar purnama.
“Salim, gera hudang maneh teh!” Teriak Abi di luar kamar. (Salim, cepat bangun kamu!)
“Budak teh meni hese dihudangkeun. Rek jadi naon geus gede, hah?” Ucap Abi sambil marah. (Nih anak susah banget dibangunin. Mau jadi apa nanti sudah dewasa, hah?)
Aku yang terlalu malas untuk bangun malah menggulung diri dengan selimut. Rasanya badan terlalu berat walau hanya untuk duduk saja. Namun itu hanya sementara, karena Abi tidak tinggal diam. Dia buka pintu sambil membawa air saktinya.
“Byuuurrrr.”
Seketika rasa dingin mengejutkanku dari tidur. Segera aku terbangun dan termenung sendiri. Terlihat samar-samar pria tua dengan gayung ditangannya, dan sarung ciri khasnya diwaktu pagi.
“Astagfirulloh, geus subuh Salim. Kaelehkeun ku hayam maneh mah. Rizkina hayang kapiheulaan ku hayam?” (Astagfirullah, sudah subuh Salim. Masa kamu kalah sama ayam. Rezekinya mau dipatok sama ayam?)
Memang sudah menjadi pepatah orang tua dahulu. Jika pagi masih malas untuk bergerak, maka kesempatan baik bisa jadi milik orang lain. Layaknya ayam, sebelum mentari membangunkan semua orang, dia terlebih dahulu berkokok agar semuanya bersiap sebelum pagi datang.
Kala itu, pergi ke sekolah seperti biasa dengan perasaan gembira karena bertemu dengan teman sekelas. Dengan seragam putih biru, kulangkah kan kaki ini segera menuju sekolah.
***
“Bro, lu tau gak si Salim anaknya Pak Haji Idris.”
“Anjir dia anak Kyai ternyata. Pantas aja dia gak pernah keliatan nakal kayak kita.”
“Tapi, bro, bukannya si Salim pernah ketahuan berduaan sama cewek, ya?”
“Gua juga pernah denger gosip itu. Tapi hoax. Si Andi yang fitnah.”
“Keterlaluan si Andi, masa laki sebaik Salim di fitnah kayak begitu.”
“Aneh gak sih kenapa bokap si Salim kagak sekolahin dia ke pesantren aja?”
“Gua juga mikir begitu. Nanti kita tanyain langsung sama anaknya.”
***
Dipersimpangan jalan, ada toko buku tua peninggalan kakek. Toko tersebut masih berdiri tegak dengan hiasan dan ornamen kayu mahoni yang diukir sendiri oleh kakek. Ketika melihatnya, aku teringat dengan masa lalu ketika kakek masih ada. Kakek adalah seorang guru, penulis, dan petualang sejati. Kisah-kisah heroiknya selalu menginspirasi. Julukannya sebagai jagoan kampung memang layak disandangkan kepadanya. Kampung ini merupakan daerah yang sebelumnya hutan belantara. Namun dengan keberanian kakek, dia merubah hutan tersebut menjadi sebuah kampung yang layak ditinggali sampai saat ini.
***
Dengan nafas sedikit terengah, akhirnya aku sampai di sekolah.
Pak Kamal, satpam sekolah menyapa dengan lembut.
“Baru sampai Nak Salim?
“Iya pak, agak kesiangan tadi.”
“waduh, tak dimarahin pak kyai?”
Aku sedikit tersipu malu. Dan tersenyum kecil.
Pak Kamal yang sepertinya tahu, langsung menyuruhku untuk masuk ke kelas karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
***
Sampai didapan kelas. Aku ucapkan salam seperti biasa.
“Assalamualaikum.”
Tanpa dijawab, ridwan salah satu temanku langsung memotong.
“Nah ini dia orang yang lagi kita tunggu.”
Dengan sekuat tenaga, Ridwan menraik tubuhku hingga terduduk dikursi.
“Eh ada apa nih?” Tegurku dengan panik.
![](https://img.wattpad.com/cover/194869453-288-k712902.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Dinanti
Ficção Adolescente"Aisyah, Tunggu! Aku mau melamarmu." Tidak ku sangka kata itu keluar dari mulutku. Sebuah kata yang mempunyai arti sejuta makna. Kata itulah yang membuat semua gadis diseluruh negeri ini akan terdiam kaku. Termasuk Aisyah. Seorang gadis sholehah ya...