part 5
"Pesantren dan masjid ini milik almarhum mertuaku, ayah istriku." Haji Rohman membuka ceritanya.
Kami berempat—Haji Rohman, istrinya, aku dan Yusuf - sekarang aku sudah tahu namanya! - duduk di beranda belakang rumah besar yang asri itu. Suasana pesantren nampak sepi karena para santri masih belajar di kelas masing-masing.
"Tempat ini merupakan harta turun temurun. Namun tidak semua keturunan kami bisa menerimanya. Tempat ini hanya diserahkan kepada orang yang bisa melihat jalan raya di bawah laut itu. Mereka percaya sepasang laki-laki dan perempuan yang bisa melihat jalan raya di bawah laut itu, berjodoh.
"Dari keturunan mertuaku, hanya putrinya yaitu istriku yang bisa melihatnya. Saat aku belajar di sini, aku juga bisa melihat jalan raya di bawah laut itu, karena itulah kami kemudian dijodohkan dan menikah."
"Tradisi dan kisah yang aneh..." bisikku dalam hati. Setengah percaya dan tidak mendengar cerita Haji Rohman.
"Nak Liana mungkin tidak percaya dengan cerita ini, namun ini memang kenyataan." Haji Rohman seakan bisa membaca pikiranku.
Ups! Aku jadi tidak enak hati.
"Lalu mengapa saya juga bisa melihatnya, pak haji? Sementara saya bukan keturunan keluarga ini," ujarku.
"Itu tandanya Nak Liana berjodoh dengan keluarga ini." Haji Rohman tersenyum, seraya melirik Yusuf yang duduk di sampingku.
"Maksud pak haji, saya berjodoh dengan anak pak haji?" tanyaku. Haji Rohman mengangguk. "Tapi anak kandung pak haji kan cuma satu, dan perempuan! Mana mungkin saya---"
"Oh tentu tidak!" Haji Rohman buru-buru memotong ucapanku yang terdengar panik. "Tentu saja Nak Liana tidak akan menikah dengan Rahma. Itu haram! Lagi pula putriku tidak bisa melihat jalan raya di bawah laut itu."
Aku mengelus dada lega mendengar penjelasan Haji Rohman. Sementara tiga orang di sekitarku tersenyum kecil melihatku yang sempat panik.
Yusuf mengambil gelas air putih dan memberikannya padaku, menyuruhku minum supaya tenang.
Aku menerimanya, "Terima kasih."
"Untunglah kami masih punya satu putra. Dan dia bisa melihat jalan raya di bawah laut itu," kata Haji Rohman.
"Maksud pak haji, Yusuf??" tanyaku menunjuk pria di sampingku.
"Iya, putra kami ini sama seperti kita bisa melihatnya."
"Tapi bukankah Yusuf, maaf, anak angkat kalian?"
"Itu benar," kali ini istri Haji Rohman ikut bicara. "Setelah lima tahun menikah, ummi tidak juga mengandung. Saat itu ada anak yatim piatu yang dibawa oleh pamannya kemari untuk belajar. Saat melihatnya ummi langsung jatuh cinta. Ummi meminta pak haji untuk mengangkatnya menjadi anak kami. Dan pak haji pun setuju. Sejak saat itu kami pun memiliki seorang putra. Alhamdulillah beberapa tahun kemudian kami dikaruniai anak kandung yaitu Rahma," tuturnya.
"Walau Yusuf hanya anak angkat, namun kami sudah menganggapnya sebagai anak kandung kami sendiri. Dia sudah menjadi putra sulung kami. Mungkin karena itulah dia juga bisa melihat jalan raya di bawah laut itu," sahut Haji Rohman.
Aku menatap Yusuf, "Kau juga bisa melihatnya?"
"Iya," Yusuf mengangguk.
"Kenapa tidak pernah cerita padaku?"
"Kau kan tidak bertanya."
"Iya sih... tapi Pak Haji memang melarangku bicara soal jembatan itu pada siapapun."
"Aku memang melarang siapapun membicarakannya. Aku tidak mau cerita ini diketahui banyak orang, khawatir ada orang-orang yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakannya," jelas Haji Rohman. Kami semua mengangguk-angguk.
"Nah! Sekarang sudah jelas, kan, kalau kalian berdua bisa melihat jalan raya di bawah laut itu. Dan itu artinya kalian berjodoh," kata istri haji Rohman tersenyum yang diangguki suaminya. Membuatku tersipu.
"Bagaimana Yusuf, apa kau mau menikah dengan Nak Liana?" tanya Haji Rohman tiba-tiba.
Aku merasakan pipiku menghangat. Dadaku berdebar penuh harap. Aku tak berani mengangkat kepala.
Yusuf membetulkan duduknya. "Semuanya kembali pada Liana, abah, apakah dia mau menerima saya sebagai suaminya," katanya lirih.
"Nak Liana," Haji Rohman memanggilku. Aku mau tak mau mengangkat kepala memandang beliau. "Sekarang abah melamar Nak Liana untuk menjadi istri Yusuf, putraku. Apakah ananda bersedia?"
Aku tak tahu harus menjawab apa. Ini begitu tiba-tiba!
"Abah, Yusuf, beri Nak Liana waktu untuk memikirkannya. Masalah ini kan harus dibicarakan juga dengan orangtua dan keluarganya," ujar istri pak haji.
"Ya ya, itu benar. Baiklah, lebih baik kalian juga istikharah dulu untuk memantapkan hati," sahut haji Rohman setuju.
"Tapi bagaimana dengan Rahma?" tanyaku. "Saya sempat mendengar kalau Rahma dan Yusuf...." Aku menggantung ucapanku.
"Untuk hal itu biar Yusuf yang menjelaskannya sendiri padamu. Kami akan meninggalkan kalian berdua supaya bisa leluasa. Ayo Ummi, kita masuk ke dalam."
Haji Rohman dan istrinya bangkit dan berjalan memasuki rumah besar meninggalkan aku dan Yusuf di tempat itu.
***

YOU ARE READING
untitle story
FantasyKisah ini terinspirasi dari mimpi-mimpi di antara bunga tidur tentang jalan memperoleh keajaiban.... tentang jalan menemukan belahan jiwa.....