Untilte Story 1 - 7

39 1 0
                                    

part 7

Yusuf mengajakku ke sebuah garden cafe yang tidak terlalu ramai.

Setelah pelayan mengantarkan pesanan kami, Yusuf memulai pembicaraan kami.

"Seperti yang kau tahu, aku adalah anak angkat abah dan ummi. Aku sudah tahu dari awal karena usiaku sudah 10 tahun saat mereka mengadopsiku. Sementara Rahma baru tahu kalau aku bukan kakak kandungnya saat umurnya 18 tahun. Sejak itu entah kenapa sikapnya berubah. Bukan karena dia tidak mau lagi mengakui aku sebagai saudaranya, tapi lebih ke arah.... pandangannya terhadapku. Dia mulai.... memandangku sebagai laki-laki, bukan sebagai kakak laki-laki. Kau mengerti, kan?" Yusuf sedikit kesulitan mengungkapkan perubahan perasaan Rahma terhadapnya.

"Dengan kata lain dia jatuh cinta padamu, seperti perempuan jatuh cinta kepada laki-laki." Aku memperjelas to the point.

"Begitulah." Yusuf mengangguk lesu.

"Lalu kau sendiri, bagaimana perasaanmu padanya?" tanyaku was-was.

"Aku tetap menganggapnya sebagai adikku, tidak berubah!" tegasnya, yang membuat hatiku lega.

"Kudengar pak haji pernah berharap kau bisa menikah dengan Rahma. Apa itu benar?" tanyaku hati-hati.

Yusuf tersenyum kecut, "Sepertinya sehari di sini sudah membuatmu menyerap banyak informasi," sindirnya.

"Aku punya pendengaran yang sangat peka. Dan sepertinya angin di sini senang memberikan informasi-informasi, bahkan yang tidak enak didengar sekalipun," balasku.

"Apa kau merasa cemburu mendengar informasi yang tidak enak didengar itu?" godanya.

Aku tidak ingin dia mengetahui isi hatiku. Belum saatnya. Akupun berdalih.

"Aku hanya penasaran," jawabku enteng.

Yusuf tersenyum. "Apapun alasanmu, aku tetap senang karena kau begitu ingin tahu tentang aku," katanya penuh tawa, membuatku tak bisa membalas.

Melihatku tetap diam, dia akhirnya berbicara.

"Abah memang pernah mengungkapkan kalau beliau berharap aku bisa menikah dengan Rahma, karena kami memang tidak ada ikatan darah, dan juga supaya pesantren keluarga ini bisa ada penerusnya. Tapi seperti yang kau tahu, Rahma tidak bisa melihat jalan raya di bawah laut itu seperti kita. Dan beliau tidak ingin melanggar wasiat keluarga ini dengan memaksakan keinginannya.

"Awalnya hal itu tidak menjadi masalah, tapi setelah mengetahui perubahan sikap dan perasaan Rahma padaku, abah dan ummi jadi khawatir. Mereka lalu mengirim Rahma untuk belajar di jogja. Berharap dengan begitu perasaan cinta Rahma padaku bisa terkikis karena jarak dan waktu.

"Abah pun memintaku untuk mencari calon istri yang tentunya sesuai persyaratan, yaitu bisa melihat jalan raya di bawah laut itu. Para santriwati dan perempuan di sekitar pesantren ini pun secara diam-diam pernah di test apakah mereka bisa melihatnya. Namun tidak ada satu pun yang bisa melihatnya. Dan jujur aku pun tidak pernah merasakan ketertarikan terhadap perempuan di pesantren ini maupun di sekitarnya. Belum ada gadis yang menarik perhatianku. Sampai aku melihatmu."

"Ada apa denganku?" tanyaku.

"Kau ingat pertemuan pertama kita?" tanyanya. Aku mencoba mengingat-ingat.

"Waktu itu kau sedang menunggu angkot di pinggir jalan," lanjutnya sebelum aku menjawab. "Wajahmu kelihatan lelah sekali. Kau terus bergerak-gerak resah karena angkot tidak kunjung datang. Kau terlihat lucu dan...." Yusuf menggigit bibir bawahnya seperti menahan tawa. "...menggemaskan. Entah kenapa aku merasa ingin mendekatimu."

"Memangnya kau melihatku dari mana?" tanyaku ingin tahu.

"Aku kebetulan sedang beli minum di warung pinggir jalan di belakangmu. Tapi sepertinya kau tidak memperhatikan."

"Aku mana mungkin memperhatikan tukang ojek!" tukasku.

Tawa Yusuf meledak. "Kau masih mengira aku tukang ojek?"

"Bukankah kau menawarkan tumpangan? Lagian di situ juga tempat pangkalan ojek, kan?" sahutku.

"Tapi mana ada tukang ojek setampan ini!" lontarnya.

Aku memutar bola mataku, dan membuatnya tertawa lagi.

"Kau tahu, kau sudah mulai menarik perhatianku sejak saat itu," aku Yusuf setelah tawanya reda. "Setiap hari aku selalu menunggumu di tempat dan jam yang sama. Sampai-sampai aku dikira tukang ojek, seperti yang kau bilang. Tapi walaupun banyak yang mau naik 'ojek'ku - karena aku memang tampan - aku selalu menolaknya. Karena aku hanya menunggu satu penumpang, yaitu kau."

Mendengar itu aku mau tak mau merasa tersanjung dan tertawa kecil.

"Ketika aku menceritakan tentangmu pada abah, beliau langsung memintaku memperkenalkanmu padanya. Karenanya hari itu aku membawamu ke rumah kami. Untuk membuktikan bahwa kau memiliki perasaan yang sama, aku mencoba memegang tanganmu, dan ternyata kau tidak menolak. Karena itu aku makin yakin padamu."

"Tapi kau langsung melepaskan tanganku begitu melihat Rahma," sindirku. Yusuf tertawa kecil.

"Kau salah. Aku melepaskan tanganmu bukan karena melihat Rahma. Tetapi karena abah. Beliau melihat kita bergandengan tangan dan terkejut. Kau tahu kan, haram hukumnya menyentuh wanita bukan muhrim. Saat itu abah melotot marah padaku, karena itu aku langsung melepaskan tanganmu," akunya malu. "Kau tahu, setelah kau pulang beliau mengomeliku, dan memperingatkanku untuk tidak menyentuhmu lagi sebelum kita menikah!"

"Lalu kenapa sekarang beliau membiarkan kita berdua saja?"

"Beliau percaya aku bisa menahan diri," Yusuf mengedipkan mata seraya tersenyum geli, membuat jantungku seketika melompat melihatnya.

"Tapi apa benar jalan raya di bawah laut itu benar-benar ada?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan, berusaha menormalkan debar jantungku.

"Aku juga tidak tahu karena belum melihatnya secara langsung. Ummi bilang kita baru bisa melihatnya langsung setelah menikah," sahutnya.

"Hmm... aku jadi tidak sabar melihatnya," gumamku antusias.

"Kalau begitu cepatlah menikah denganku," bisik Yusuf.

Aku menatapnya. "Apa kau sedang melamarku?" godaku.

Dia tersenyum, sorot matanya melembut, "Ya! Tadi ayahku sudah melamarmu untukku, sekarang aku melamarmu secara langsung," ucapnya.

Pipiku menghangat mendengarnya. Sementara hatiku bahagia bukan kepalang. Ingin rasanya menghambur memeluknya dan menjawab saat itu juga. Tapi aku harus tetap menahan diri. Dia belum halal bagiku.

"Kalau begitu datanglah pada orangtuaku. Saat itu aku akan memberikan jawaban untukmu," ucapku menatap manik matanya.

"Baiklah. Satu minggu lagi aku dan orangtuaku akan datang ke rumahmu, Insyaallah," balasnya.

"Aku akan menunggumu, Insyaallah."

--- End ---

*** salam nunaalia ***

Hai semua!

ceritanya diedit sedikit ya, walau ga merubah isinya kok.
untuk judul aku belum nemu yg tepat niy.

mungkin ada yg punya ide??

untitle storyWhere stories live. Discover now