1

74 15 8
                                    

"OMO! Cho A-Ra, apa yang kau lakukan padaku?"

Tanganku langsung bergerak brutal mencabut beberapa lembar tisu yang ada di meja rias A-Ra, sahabatku. Aku hendak menghapus blush-on yang baru saja dia poleskan ke wajahku secara berlebihan. Baru kali ini aku melihat wajahku semerah pantat monyet!

"Jangan dihapus, Ae-Rin~ah! Bagus tahu! Dandanan seperti ini sedang tren." A-Ra merebut tisu-tisu itu dari tanganku sebelum aku sempat merusak karyanya.

Sejujurnya, aku bukan tipe perempuan yang suka dandan. Sehari-hari, aku hanya mengenakan bedak tipis-tipis dan liptint. Itupun setelah A-Ra mengajariku bagaimana cara menggunakannya. Rambutku pun sengaja kupotong pendek sebahu agar tidak repot merawatnya. Namun, karena ini adalah malam spesial, A-Ra dan A-Reum, sahabatku yang satu lagi, memaksaku untuk tampil lebih maksimal. Makanya, A-Ra yang diam-diam punya bakat menjadi make-up artist pun mendandaniku habis-habisan. Eyeliner, blush on, contour, dan apalah-namanya-yang-mengkilat-di-tulang-pipiku itu sudah terpasang sempurna. Katanya, biar aku tampak lebih memukau dibanding belasan tahun lalu.

"Tapi ini terlalu heboh, A-Ra~ya. Aku kan sudah bilang, dandanan yang biasa saja." Kucondongkan wajahku ke cermin. Warna merah dari blush-on semakin membuat tanganku bergerak ingin menghapusnya.

"Tidak heboh sama sekali!" Pemilik kamar yang didominasi warna merah muda ini menepis. "Riasanmu sangat pas untuk acara malam ini. Tapi, kalau kau memang tidak begitu suka blush-on-nya, akan kuperbaiki."

Kupalingkan wajahku ke arah perempuan bermata bulat yang sejak tadi berdiri di sebelahku. "Kalau begitu, lakukan sesuatu."

Aku kembali duduk tegak memandang cermin, kemudian A-Ra mulai membenahi pekerjaannya.

Melalui cermin, aku melirik pantulan diri A-Reum di belakang. Dia sedang sibuk mencatok rambut ikalnya. Sepertinya perempuan itu terlalu menghayati kegiatannya sampai-sampai tidak memedulikan perdebatanku dengan A-Ra.

"Sekarang bagaimana?" tanya A-Ra.

Kualihkan atensiku kembali pada pantulan wajahku di cermin. Blush-on di pipiku tidak semerah sebelumnya setelah ia menambah satu lapis bedak lagi. Namun, tetap saja, "Masih merah, A-Ra~ya."

"Sudah bagus." A-Ra tidak mengacuhkan ucapanku dan malah merapikan peralatan riasnya—yang berarti dia tidak terima protes lagi. "Sudahlah. Kita harus cepat."

Baiklah, waktunya mengenakan blus biru muda dan kulot hitam yang sudah kusediakan untuk acara yang akan kami hadiri.

***

Sebuah bangunan besar menjulang di hadapanku setelah keluar dari mobil A-Ra. Dalam sekejap, kenangan-kenangan buruk yang sempat kualami di balik megahnya Daejeon Middle School menguar dari memoriku. Aku tidak pernah membayangkan akan kembali ke tempat ini setelah belasan tahun lalu aku jauh-jauh meninggalkannya ke Seoul.

"Kau baik-baik saja, Ae-Rin~ah?"

Aku menoleh ke arah A-Reum. Perempuan dalam balutan dress selutut berwarna ungu muda itu memandangku lekat-lekat. Dari raut wajahnya yang mampu kulihat berkat bantuan lampu-lampu hias yang terpasang sepanjang jalan masuk menuju bangunan gedung, kutahu dia mencemaskanku.

"Ya."

Aku memang baik-baik saja meski bayang-bayang masa lalu kembali menghantui. Dan, aku yakin aku akan baik-baik saja jika nanti bertemu dengan mereka yang membuatku enggan kembali ke sekolah ini.

"Kalau begitu, ayo masuk." A-Ra meraih tanganku dan menuntunku menuju lokasi acara—aula sekolah.

Lagu Flower Road milik Big Bang terdengar saat kami bertiga memasuki aula yang telah ramai. Belum sempat menemukan tempat duduk, A-Ra langsung ditemukan oleh teman-teman kelasnya dulu. Mereka bahkan "menculik" A-Ra dariku dan A-Reum. Bukan sesuatu yang mengejutkan sebenarnya. Di antara kami bertiga, A-Ra memang yang paling populer. Well, A-Reum juga cukup terkenal. Aku juga terkenal, tapi dalam hal yang buruk.

Semasa sekolah di Daejeon Middle School, aku belum sedekat ini dengan A-Ra dan A-Reum. Mereka berdua sebatas dua gadis yang kukenal karena kepopuleran mereka. Cho A-Ra terkenal sebagai murid baru berparas cantik dan memiliki suara yang merdu. Dia primadona sekolah pada masa itu. Sementara, A-Reum terkenal karena prestasi akademik. Dia juga pernah menjabat sebagai presiden siswa. Mereka duduk di kelas yang sama—seingatku. Kelas yang berisi murid-murid dengan nilai akademik bagus.

Aku duduk di kelas yang berbeda. Kelas "buangan" istilahnya. Meski ada beberapa murid cerdas, tetapi sebagian besar dihuni oleh murid bernilai pas-pasan. Awal masuk kelas, kupikir aku akan baik-baik saja berteman dengan murid pemalas, murid yang jail, murid yang hanya datang-duduk-diam-pulang, dan murid yang hanya tahu pacaran. Nyatanya, mereka semua adalah mimpi buruk. Terlebih setelah mereka tahu mengenai kabar perceraian orangtuaku.

Tidak ada hari yang mereka lewatkan tanpa meledekku. Ditambah lagi, aku tidak tahu caranya melawan. Aku benar-benar sasaran empuk perundungan. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat tidak mampu lagi mendengar ucapan-ucapan teman-teman sekelasku yang menyakitkan adalah berlari ke toilet dan menangis. Namun, setiap kali aku keluar dari toilet setelah puas menangis, dia datang.

Ya, dia. Satu-satunya murid di kelas yang mau menemaniku.

Kim Tae-Hyun namanya.

Omong-omong, dia datang di acara ini atau tidak, ya? Setelah pindah ke Seoul, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya.

"Ae-Rin~ah, aku mau bertemu dengan teman-temanku di organisasi siswa dulu. Mereka ada di meja sebelah sana. Kau tidak apa-apa kan kalau aku tinggal sebentar?" tanya A-Reum.

"Tidak apa-apa, A-Reum~ah." Aku tersenyum tipis untuk mendukung ucapanku.

"Atau, bagaimana kalau kau ikut denganku?"

Ha? Bergabung dengan para pengurus organisasis siswa?

"Tidak usah. Aku menunggu di sini saja. Tidak apa-apa."

A-Reum menatapku sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Ya sudah. Aku ke sana sebentar. Kau di sini saja. Atau, kalau mau jalan-jalan juga tidak apa-apa. Nanti aku hubungi."

"A-Reum~ah, aku memang tidak punya teman di sini, tapi bukan berarti aku akan diam saja." Aku berusaha membuat perempuan berambut ikal—yang kini lurus—itu tenang. "Sana pergi."

Setelah A-Reum beranjak, aku duduk sambil melihat sekitar. Kulihat beberapa teman kelasku dulu membentuk grup kecil untuk mengobrol bersama. Sepertinya mereka sudah lupa padaku. Wajar! Aku memang tidak pantas untuk diingat.

"Ya! Kau Park Ae-Rin, kan?"

Oh, ada yang masih mengingatku rupanya.

Suara berat itu membuatku mengalihkan pandangan dari panggung. Sosok laki-laki yang mengenakan kemeja flanel abu-biru menjulang di depanku. Aku menyipitkan mata, berusaha mengamati sebentuk wajah oval berahang tegas yang dibingkai oleh rambut ikal seleher. Mata tajamnya beradu dengan mataku. Lantas, dia menampilkan sebentuk senyum yang unik—bibirnya membentuk persegi, menampilkan deretan gigi putihnya. Dalam sekejap, jantungku berdetak cepat. Selama hidup, aku hanya mengenal satu orang dengan senyum kotak seperti itu. Aku tidak menyangka, setelah belasan tahun, aku bisa bertemu dengannya lagi. Thank God, he's still breathing.[]

KISAH KASIH AE-RINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang