2

47 9 10
                                    

Aku tidak tahu harus kusebut apa orang ini. Hantu? Setan? Penyihir? Sejak dulu, dia selalu datang tiba-tiba, tepat di saat aku butuh teman. Setelah belasan tahun, kupikir pola pertemuan ini akan berubah. Nyatanya, dia masih tetap seperti makhluk halus yang entah datang dari mana, tahu-tahu sudah berada di dekatku.

Kim Tae-Hyun.

Aku nyaris tak bisa menahan senyum saat wajahnya secara utuh mengisi pandanganku. Dia tidak banyak berubah. Rahangnya tampak lebih kokoh dari yang bisa kuingat tentang wajahnya semasa remaja. Tubuhnya pun lebih tinggi—aku hanya sampai selehernya. Padahal dulu aku hampir setinggi dirinya. Kulit gelapnya pun sepertinya lebih gelap.

"Aku sudah memperhatikanmu sejak kau dan... Jang A-Reum memasuki aula," katanya, terdengar ragu saat menyebut nama A-Reum. Mungkin dia tidak menyangka gadis yang dulu tidak punya teman, kini bergaul dengan orang seperti A-Reum. "Rambut pendek sebahu, memakai baju warna biru, dan memiliki kulit yang sedikit lebih gelap dibanding semua gadis-gadis yang ada di ruangan ini. Kau tidak banyak berubah, Park Ae-Rin."

Pipiku pasti merah. Merah sekali. Mungkin lebih merah dibanding blush-on yang dipoleskan A-Ra. Aku sungguh tidak bisa menahan reaksi malu-malu kucing saat menyadari lelaki di depanku masih mengingat beberapa hal tentang diriku—dia bahkan masih ingat aku menyukai warna biru.

"Aku tidak menyangka sekarang kau menjadi perempuan yang jago dandan." Lagi-lagi aku melihat senyum kotaknya. Tuhan, betapa aku sangat merindukan senyum itu.

"Ah, tidak, Tae-Hyun~ssi. Biasa saja."

Biasa apanya? Jantungmu berdetak kencang, Ae-Rin~ah.

"Ya! Tidak perlu memakai 'ssi' saat memanggilku. Kita seperti baru berkenalan saja."

Aku menyengir. Kami memang sudah lama saling mengenal. Namun, sudah lama juga aku dan dia tidak bertegur sapa. Memanggilnya dengan gaya sok akrab membuatku merasa tidak sopan.

"Oh ya, sekarang kau tinggal di mana? Aku tidak pernah melihatmu lagi sejak lulus dari sini." Tae-Hyun menatapku lamat-lamat, menunggu jawaban.

"Aku pindah ke Seoul."

"Kenapa?" Sekali lagi nadanya terdengar hati-hati. Tatapannya pun perlahan-lahan berubah sendu. Rupanya mengingat lebih banyak dari yang kuduga.

"Ceritanya panjang." Aku berusaha menjawab sesantai mungkin. Aku tidak ingin dia melihatku masih terpuruk oleh kejadian belasan tahun lalu.

"Jadi ini pertama kalinya kau kembali ke Daejeon sejak pindah?"

Aku mengangguk pelan. Jika kuhitung-hitung, sudah lima belas tahun aku tidak kembali ke sini. Tamat dari Daejeon Middle School, aku langsung pindah ke Seoul. Dan selama itu, aku tidak pernah kembali ke Daejeon. "Kalau bukan karena A-Ra dan A-Reum yang memaksaku menghadiri acara ini, aku tidak akan datang."

"A-Reum? Jadi yang tadi benaran Jang A-Reum yang dulu pernah jadi presiden siswa?"

Aku mengangguk dan menambahkan, "Dengan Cho A-Ra juga."

"A-Ra yang cantik itu? Yang selalu bersama Jung-Goo?" Aku mengangguk sembari menahan tawa mendapati reaksinya. Ya, sebuah keajaiban memang. Aku yang dulu biasa-biasa saja bisa berteman dengan dua perempuan yang luar biasa. "Wah! Sekarang kau pandai berteman, ya?"

Aku hanya tersenyum tipis.

"Jadi," ujar Tae-Hyun lagi, "kau terpaksa datang ke acara ini?" Lelaki itu serta-merta menjadikan dirinya pengontrol dari pembicaraan kami. Semudah itu dia mengembalikan topik pembicaraan yang sejujurnya tidak perlu dibahas lebih dalam. Akan tetapi, dia malah berpikir sebaliknya.

KISAH KASIH AE-RINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang