Di Kala Sahur

381 35 9
                                    

[Matthew's POV]

Hari ini adalah hari pertama puasa. Aku merasa sangat bersemangat untuk mencari pahala karena bulan ini adalah bulan suci yang penuh berkah. Para setan akan dipenjara-itu yang Ayah katakan padaku-dan setiap amalan akan dilipat gandakan. Ya, bulan ini adalah bulan terbaik untuk meningkatkan takwa kepada Allah SWT.

Pagi sekali, aku sudah bangun. Untunglah aku memasang alarm pukul setengah tiga pagi. Aku juga dapat mendengar alarm dari kamar sebelah-kamar Alfred-tapi sepertinya dia belum bangun. Sedangkan di kamar Amelia begitu senyap. Sepertinya dia tak pasang alarm, atau sudah dimatikan? Entahlah.

Aku berjalan ke arah dapur. Di sana, ku lihat Mama sedang sibuk membuat hidangan untuk sahur. Bagus, ini adalah misi pertamaku! Aku segera mendekati beliau dan menawarkan bantuan.

"Ma, biar Matthew bantu," tawarku.

Mama tersenyum melihatku. "Tolong siapkan alat-alat makan, ya. Lalu bangunkan yang lainnya."

"Oke, Mama." Aku segera melaksanakan perintah Mama.

Setelah selesai menaruh piring dan gelas di atas meja makan, aku bergegas menuju kamar orang tuaku.

"Yah! Bangun, Yah! Sahur!" teriakku-dengan suara pelan-sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Ayah.

"Ya...!" sahut beliau dengan suara yang masih mengantuk. Tapi aku dapat mendengar suara Ayah yang sudah bangkit dari tempat tidurnya.

Lalu aku bergegas ke kamar Amelia.

"Mel! Sahur, Mel!"

Belum sempat aku mengetuk, pintu kamar sudah lebih dulu terbuka. Amelia menyapaku dengan wajah segar.

"Wah, tumben udah bangun?" tanyaku bingung melihat wajahnya yang sama sekali tak terlihat mengantuk.

"Heh! Gue 'kan sengaja tidur cepet kemarin, biar nggak telat sahur," kata Amelia bangga. Aku hanya ber-oh.

"Si Kampret belum bangun?" tanyanya sambil menutup pintu kamar lalu berjalan di sampingku menuju kamar Alfred. Aku menjawab dengan gelengan kepala.

Setelah sampai di depan kamar Alfred, aku kembali berteriak-dengan suara pelan, tentunya, "Al! Bangun sahur, Al!"

Amelia memutar knop pintu dan membukanya. "Enggak dikunci. Bangunin di dalem aja, yuk." Aku mengangguk.

Kami pun memasuki kamar Alfred. Aku menyalakan saklar lampu supaya dapat melihat dengan lebih jelas. Saat kulihat, hampir seluruh penjuru kamarnya dipenuhi oleh sampah makanan ringan dan buku komik yang berserakan. Aku juga mencium bau yang aneh.... Tunggu-apa ini kola?!

Amelia memasang tampang jijik. "Ih, jorok banget, sih," komentarnya. Aku mengangguk setuju.

Kami pun mendekati tempat tidur Alfred. Di sana, Alfred tergeletak tak berdaya sambil mengorok keras. Handphone dalam genggaman. Sepertinya dia ketiduran sehabis main game semalam.

Aku mencoba membangunkannya dengan mengoyang-goyangkan tubuhnya, tapi tidak berhasil. Lalu tanpa aba-aba, Amelia meloncat ke atas badan Alfred, membuat Alfred melonjak kaget.

Amelia cekikikan. "Makanya, bangun!"

"Argggh! Turun woy, babi! Lu berat!" jerit Alfred kesakitan.

"Kampret lu! Ga sopan banget sama cewek!" protes Amelia.

Mereka pun mulai beradu mulut dan membuat kebisingan.

"Hey, kalian...! Sudah, hentikan...!" Aku mencoba melerai, tapi mereka tak mengindahkanku seperti biasa. Huh, selalu saja begini....

Sampai akhirnya, suara Mama terdengar dari arah dapur. "Anak-anak! Ayo sahur! Sudah hampir imsak, nih!"

Aku tersenyum dan bersyukur dalam hati. Alfred dan Amelia berhenti bertengkar dan bergegas menuju ruang makan. Aku mengikuti mereka dari belakang.

Semua hidangan telah tersusun rapi di atas meja makan berbentuk bundar. Ayah duduk di samping kanan Mama sambil meminum secangkir teh. Lalu Alfred duduk di samping kiri Mama dan Amelia di samping kanan Ayah, sedangkan aku duduk di antara mereka berdua.

Ayah memimpin do'a. Setelah itu, kami segera menyantap sahur. Aku mengambil nasi dan lauk hanya secukupnya. Tak perlu banyak-banyak, yang penting perut tidak terlalu kosong. Ayah selalu bilang, "tidak makan seharian bukan berarti harus sahur secara berlebihan".

Kulihat kakak keduaku-Amelia- mengambil porsi makan yang berbeda dari biasanya. Jika di hari biasa ia makan dua piring, kali ini ia makan empat piring. Tunggu-empat?!

Alis tebal milik Ayah bertaut melihatnya.

"Sweety, jangan berlebihan! Makan secukupnya saja," ucap Ayah padanya.

"*nyam* Ini byar *nyam* kwat *nyam* syampe *nyam* magrib, Yah *nyam*" ucap Amelia di sela-sela kunyahannya.

Ayah menghela napas. "'Kan sudah Ayah bilang, tidak makan seharian bukan berarti-"

Amelia segera menyela, "-iya, *nyam* Ayah. *nyam* kyali ini *nyam* doang, kok. *nyam*"

"Mel, kunyah dulu baru bicara," kataku, tapi dia tidak mendengarkan. Yah, aku sudah biasa tak didengarkan, sih ....

Aku mengalihkan pandanganku ke samping kiri, tempat di mana kakak pertamaku-Alfred-duduk. Kepalanya menunduk, ia terpejam dan terlihat lingkaran hitam besar di sekitar matanya. Tangannya yang memegang sendok tak bergerak, sementara mulutnya mengeluarkan suara "Zzzzzzz".

Aku menghela napas.

Dia pasti begadang main pabji semalam.

"Alfred, sayang! Bangun, Nak!" Mama mengoyang-goyangkan badan Alfred, membuatnya kembali terjaga.

"Mama 'kan sudah bilang, jangan begadang kalau mau puasa! Nanti setelah shalat subuh kamu langsung istirahat, ya," ucap Mama khawatir.

"I-iya, Ma...," ujar Alfred sangat pelan, bahkan jauh lebih pelan daripada suaraku.

Alfred menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, masih dalam mode mengantuk. Kunyahannya begitu lambat seperti tak memiliki selera. Setelah selesai menelan makanan, ia menguap dan kembali memejamkan mata. Lalu, tertidur di meja makan.

Aku menghela napas lagi, setelah itu kembali fokus pada santapan sahurku.

Semoga hari ini puasanya lancar dan kakak-kakakku tak buat masalah....




-to be continue-

Our Ramadhan Story - Fanfiksi Hetalia Edisi RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang