Di Kala Pagi

212 26 3
                                    

[Matthew's POV]

Bulan Ramadhan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena sekarang sedang masa karantina COVID-19, kami tak diperbolehkan keluar rumah. Mudik pun dilarang dan kami tidak bisa ngabuburit karena harus menjauhi keramaian.

Setelah mendengar berita tersebut Alfred dan Amelia mulai ... menggila.

Pasalnya mereka berdua memiliki terlalu banyak energi. Saking banyaknya, mereka tidak kuat untuk duduk diam selama sepuluh detik. Mereka lebih suka bermain di luar entah ke mall, taman, pantai, gang tikus, ataupun gorong-gorong.

Karena sekarang diwajibkan untuk tinggal di rumah, mereka pun menghabiskan waktu dengan tidur, bermain game, membuat Ayah marah dan hal-hal lain yang tidak berguna. Hah, mubazir sekali kalau dipikir-pikir.

Namun, aku tak berpikir karantina seburuk itu. Justru semenjak adanya himbaun untuk belajar dan bekerja dari rumah, kami sekeluarga jadi lebih sering bersama. Sebelum karantina, Ayah selalu sibuk dan sering pulang lembur, lalu Alfred dan Amelia sering keluyuran setelah pulang sekolah. Hanya aku dan Mama saja yang biasanya ada di rumah. Tapi kali ini kami semua dapat memiliki quality time bersama.

Padahal hari ini Ayah ada pekerjaan, tapi beliau lebih memilih untuk membantu Mama bersih-bersih rumah. Bukankah ini bagus?

"Darling, biar aku saja yang mencuci baju. Kau istirahatlah hari ini," ucap Ayah sambil mengambil keranjang baju kotor dari tangan Mama.

"Honhonhon~ Kau pikir sudah berapa lama aku jadi ibu rumah tangga, ma chérie? Ini tak masalah bagiku." Mama tertawa dengan gaya khas Prancis-nya.

"Aku tahu itu. Aku juga tahu kau tidak tidur semalam karena takut terlambat menyiapkan sahur dan kau belun tidur lagi sama sekali. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika kau sampai sakit, love. Jadi, biarkan aku membantumu," paksa Ayah.

Mama tersenyum. "Oh, Artie. Kau selalu keras kepala seperti biasa. Tapi aku sungguh baik-baik saja. Lagipula kau masih punya pekerjaan, bukan?"

"T-tapi–"

"–aku akan bantu," ucapku menyela. "Mama istirahat saja ya hari ini."

Ayah tersenyum lega melihatku. "Kau dengar 'kan, Francine? Kami benar-benar ingin kau beristirahat sekarang. Soal pekerjaanku bisa diurus nanti."

Mama tertawa kecil. "Baiklah. Kuserahkan semua pada kalian berdua, ya. Arthur, Matthew~" Mama memeluk kami berdua lalu pergi ke kamar untuk beristirahat.

Ayah mengalihkan perhatiannya padaku. "Okay, Matthew. Tugas pertamamu adalah bangunkan kakak-kakakmu lalu suruh mereka bersih-bersih," titah beliau. Ayah pun mulai beranjak pergi, keranjang baju kotor di tangan.

Oh, tidak. Jangan suruh aku bangunkan mereka lagi ....

Hah, andai saja aku bisa menolak. Membangunkan Alfred dan Amelia jauh lebih sulit daripada ujian matematika dadakan di hari Senin. Tadi subuh aku beruntung karena Amelia sudah bangun dan dia berinisiatif membangunkan Alfred.

Aku lebih suka menguras kamar mandi daripada membangunkan mereka .... Tapi aku tidak boleh membangkang pada orang tua. Apalagi ini bulan Ramadhan!

Aku pun beranjak untuk membangunkan kedua kakak kembarku. Kamar Alfred yang kutuju pertama.

"Al? Bangunlah! Sudah siang!"

Aku membuka pintu kamarnya yang–lagi-lagi–tak dikunci. Pemandangan di kamarnya sama seperti saat subuh, tak berubah sedikit pun.

Kudekati Alfred yang sedang mengorok di kasurnya. Aku bisa saja membangunkannya dengan cara Amelia—meloncat ke atas tubuhnya, tapi aku tidak mau cari ribut. Aku memikirkan cara agar dia dapat langsung bangun tanpa menimbulkan pertengkaran.

"Al, sudah waktunya buka puasa!" aku berteriak (pelan) di dekat telinganya. Alfred yang tertidur pulas langsung terbangun.

"Hah?! Seriously, dude?!"

Alfred meloncat dari kasur dan langsung melesat keluar.

"Finally!!! Makaaaaaaan!!!"

Aku langsung panik. Gawat! Bagaimana kalau dia benar-benar mengira sekarang sudah waktunya berbuka?!

Aku hendak mengikutinya, tapi aku urungkan niatku setelah mendengar Ayah berteriak dari dapur, "ALFRED! MENJAUH DARI KULKAS!"

Satu telah selesai, kurasa. Sekarang tinggal bangunkan Amelia.

Aku membuka pintu kamar Amelia yang tak dikunci. Ruangan itu ... sungguh tak berbeda jauh dengan kamar Alfred alias berantakan. Sampah makanan di mana-mana, baju-baju disimpan di sembarang tempat, dan kulihat ada bra yang tergantung di knop pintu—astagfirullah, mataku baru saja ternodai!

Alfred dan Amelia begitu mirip .... Maksudku, mereka memang kembar. Hanya saja, wajar bagi Alfred punya kamar yang berantakan karena dia itu laki-laki. Tapi, Amelia itu perempuan—dan ironisnya, dia bilang Alfred jorok padahal dirinya pun tak berbeda.

Aku mendekati Amelia yang sedang tidur pulas sambil memeluk guling. Bantal yang dipakainya basah karena air liur yang mengucur deras dari mulutnya. Tak terlihat anggun sama sekali.

Aku akan mencoba membangunkannya dengan cara yang kupakai pada Alfred tadi. Aku berteriak (pelan) di dekat telinganya, "Mel! Bangun, Mel! Sebentar lagi buka puasa!"

Amelia membuka matanya dan menatapku jengkel. Aku sedikit kaget. Kupikir dia tertidur pulas!

"Gue nggak sebego si Alfred, tahu. Sekarang masih jam sepuluh!" Ia pun membalikkan badannya sehingga punggungnya menghadapku .

"Bohong dosa, geblek!" sentaknya.

"M-Maaf aku bohong .... T-Tapi bangun dulu, Mel! K-kumohon ...," kataku sambil gemetaran. A-aku paling tidak suka disentak. Setiap kali seseorang berteriak padaku, aku selalu merasa ingin menangis ....

"Zzzzzzzzz." Sepertinya Amelia kembali tidur. Entah dia hanya berpura-pura atau memang sudah tak sadarkan diri.

Ha ... sabar, Matthew. Puasa ....

Baiklah, aku tidak akan menyerah! Ayah sudah memberiku amanah untuk membangunkan kebo ini, jadi aku harus bisa membangunkannya!

Aku mencoba segala cara untuk membangunkannya, mulai dari berteriak (pelan) di dekat telinganya, menggoyang-goyangkan tubuhnya, memukul (pelan) betisnya yang penuh lemak, dan membuat keributan memakai panci dan sendok sayur. Tetapi, Amelia tak tergubris sedikit pun—ia justru malah marah-marah padaku dan aku mulai menangis.

Ayah, maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi amanahmu ....

Tok tok

"Amelia, sweetheart, kau sudah bangun?"

Kudengar suara Ayah dari balik pintu. Hamdalah! Ayah datang di waktu yang tepat!

Sambil mengelap air mata, aku membukakan pintu untuk Ayah. Saat Ayah mulai mengamati seisi kamar Amelia yang mirip kapal pecah itu, kedua matanya melotot. Beliau menarik napas.

"AMELIA! DALAM TIGA DETIK, CEPAT BANGUN DAN BERESKAN KAMARMU ATAU AYAH TIDAK AKAN JADI MEMBELIKANMU IPHONE!" teriak Ayah dengan tegas.

Amelia langsung bangun dengan panik. "IYA! IYA! AMEL BERESIN! TOLONG JANGAN BATALIN JANJI AYAH!" Ia meloncat dari kasur dan mulai berbenah.

Aku menghela napas lega. "Terima kasih, Yah," kataku pada Ayah. Beliau tersenyum sembari menepuk pundakku.

"Matthew, kau harus banyak bersabar menghadapi kegoblokan kedua kakakmu, ya," kata Ayah sambil mengangkat jempolnya. Kemudian beliau keluar kamar dan kembali meneriaki Alfred. "Alfred, you git! Cepat bereskan kamarmu! DAN SUDAH KUBILANG MENJAUH DARI KULKAS, INI BELUM WAKTUNYA BERBUKAAAA!!!"

Aku hanya tersenyum getir sebelum Amelia meminta—memaksa–ku untuk membantunya bersih-bersih.

-to be continue-

Our Ramadhan Story - Fanfiksi Hetalia Edisi RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang