Di Kala Berbuka

115 17 4
                                    

[Matthew's POV]

Setelah menahan lapar dan dahaga selama hampir 13 jam, azan maghrib pun akhirnya berkumandang. Kebetulan sekali aku baru selesai menyiapkan air hangat untuk berbuka.

Tante Alice bilang, minum air hangat saat berbuka akan lebih cepat mengembalikan suhu tubuh, membuang racun tubuh, dan bahkan bisa menurunkan berat badan. Beliau memang selalu mempraktikkan gaya hidup sehat—jauh berbeda dengan Alfred dan Amelia yang menjadikan junk food sebagai makanan pokok. Beliau juga memberiku amanah untuk memperhatikan pola makan kedua kakakku (itulah alasan aku membuat air minum hangat). Jika tidak kulakukan, aku tak akan diberi THR.

Setelah selesai menyiapkan segalanya, aku duduk di kursi meja makan, membaca do'a berbuka puasa lalu berbuka dengan air hangat. Ayah dan Mama melakukan hal yang sama denganku

Tiba-tiba Alfred datang dan menepuk punggungku, membuatku tersedak.

"ALFRED!!"

"Sorry, dude. Disengaja," jawabnya enteng lalu duduk di sampingku. Aku hanya merespon dengan menghela napas dan bersabar.

Alfred mengambil gelas berisi air putih untuk membatalkan puasanya. Namun saat dia merasakan panas dari gelas itu, ia jadi terheran-heran.

"Kok hangat?"

"Tiketku untuk dapat THR dari Tante Alice. Minum saja," jawabku datar sambil menuangkan sop buah pada mangkuk.

Kakakku itu nampak masih bingung, namun ia tetap meminumnya. Lalu ia menyendok sop buah dalam porsi besar ke dalam mangkuknya dan mulai memakannya.

"Eh, kayak ada yang lupa ...." Ia berhenti mengunyah. "BELUM BACA DO'A BUKA PUASA, DUDE!"

"Kau ini, kebiasaan!" tegur Ayah sambil menyeruput tehnya—tentu saja beliau sudah minum air putih terlebih dahulu. Mama hanya tertawa kecil sambil menyantap sop buah.

"Yamaap, Yah."

Alfred pun membaca do'a buka puasa dan kembali memakan sop buahnya.

"Anyway, si Babi (Amelia) ke mana? Biasanya dia yang paling excited soal makanan," tanya Alfred. "Tapi bagus sih, nggak ada yang ngabisin takjil. NAHAHAHA!" Ia pun tertawa jahanam.

Sebelum aku dapat menjawab pertanyaannya, sebuah jeritan terdengar dari kamar mandi.

"HOLY SHIIIIIIT!!!" jerit perempuan yang tak lain adalah Amelia.

"AMELIA! LANGUAGE!" teriak Ayah. Beliau selalu marah bila ada yang mengatakan kata-kata yang tidak pantas. Padahal, beliau sendiri sering melakukannya.

"Alfred sayang, coba periksa ke sana," pinta Mama.

"Ah, p-palingan juga kecoa, Ma! B-Biar Matthew aja yang ke sana, ya!" Alfred menoleh padaku dengan panik seolah memberi kode. Tentu saja dia tak mau berurusan dengan kecoa. Hanya aku yang berani menghadapi serangga berwujud kurma itu di rumah ini.

Dengan pasrah, aku bangkit dari kursi. Dalam hati sedikit kesal karena selalu aku yang dikorbankan untuk membasmi serangga. Namun sebelum aku melangkah, Amelia sudah tiba di ruang makan terlebih dahulu. Air mata membasahi kedua kelopaknya.

"Mana kecoanya?" Aku bersiap untuk mengambil sapu.

Amelia menggeleng. "B-Bukan kecoa ..."

Aku memiringkan kepala. Ayah, Mama, dan Alfred pun nampak kebingungan.

Kemudian, Amelia menangis dan berkata dengan histeris,

"TERNYATA AMEL LAGI DATANG BULAN. TAU GITU BUKA DARI TADI!! HUWEEE!!!"

"...."

Aku dan Ayah sweatdrop, Mama tersenyum maklum, dan Alfred tertawa terbahak-bahak.

"NAHAHAHA!! MAMPUS LU—uhuk uhuk," ledek Alfred yang kemudian tersedak sop buah. Amelia tertawa kecil melihat penderitaan kakaknya. Namun, ia kembali menangis.

"Sudahlah, sweety. Tidak apa-apa. Ayo kita makan dulu," ucap Ayah, menenangkan.

Amelia pun menurut. Ia duduk di sampingku, lalu mengambil gelas berisi air putih. Saat ia memegang gelas itu, ia memasang raut wajah heran yang sama dengan Alfred.

"Kok hangat?"

Aku kembali duduk dan memakan sop buah. "Minum saja."

Amelia pun meminumnya. Setelah itu, ia mulai mengambil sop buah dengan porsi yang tak kalah banyak dengan Alfred. Alhasil, mangkuk sop buah itu habis tak bersisa.

Alfred hanya bisa menatap lemas pada mangkuk kosong itu. Aku yakin, awalnya Alfred berniat menambah.

Kemudian, Amelia mengambil banyak nasi dengan lauk yang banyak pula—hanya menyisakan masing-masing satu lauk untuk yang lain.

"Karena Amel harusnya buka dari tadi, jadi sekarang Amel harus makan banyak!" ujarnya, lalu ia memulai acara makan besarnya itu.

Aku menghela napas.

"Maksudnya, makan porsi orang ...."

-to be continued-

A/n:
Satu chapter lagi ... semoga bisa diupdate sebelum lebaran :"""

Our Ramadhan Story - Fanfiksi Hetalia Edisi RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang