Di Kala Siang

147 17 11
                                    

[Matthew's POV]

Setelah aku (terpaksa) membantu Amelia membersihkan kamarnya dan membantu Ayah menghias kebun, aku duduk di atas kasur dengan laptop di pangkuan, berniat mengerjakan tugas sekolah. Walaupun sekolah diliburkan karena pandemi, para guru masih memberikan tugas. Tapi Alfred dan Amelia menganggap ini sebagai liburan dan membiarkan tugas mereka terbengkalai.

Jemariku dengan lihai menari di atas keyboard. Walaupun sebagian orang membencinya, aku justru sangat suka dengan tugas membuat makalah. Aku bisa saja menyelesaikannya dalam waktu satu jam jikalau tak terdikstrasi oleh apapun. Ah, paling enak mengerjakan sambil makan indomie kuah dan teh manis hangat–

astaghfirullah, aku 'kan sedang puasa!

Huh, tenanglah diriku. Aku memang merasakan perutku keroncongan, tapi aku tak boleh memikirkan makanan enak di jam segini!

Saat aku mencoba memikirkan hal lain selain makanan, aku mendengar suara pintu kamarku diketuk. "Masuk saja. Tidak dikunci."

Mama membuka pintu dan menyembulkan kepalanya dari sana. "Wah, anak Mama sedang belajar, ya? C'est tout parfait!" puji Mama.

Aku tersenyum malu. Walaupun aku sering mendengar beliau memujiku, aku masih belum terbiasa. "M-Merci, Mama."

Mama tersenyum lembut. "Ma chérie, boleh Mama mengganggumu sebentar?"

Aku mengalihkan pandanganku dari laptop menuju sosok Mama di ambang pintu. "Tentu. Ada apa, Ma?"

"Suruh Alfred dan Amelia mengerjakan tugas mereka, ya. Mama sudah menyuruh mereka berkali-kali tapi tidak didengarkan. Kamu 'kan adik mereka, pasti bisa!" Mama mengedipkan sebelah mata sambil memberiku jempol.

Non, Mama. Demi kolor Alfred yang tidak pernah dicuci selama sebulan,  mereka tidak mungkin akan mendengarkanku.

Aku berniat menghela napas, tapi aku urungkan—bukan adab yang baik melakukan itu saat orang tua menyuruh melakukan sesuatu. Walaupun hatiku sedikit keberatan, aku tetap melakukan permintaan Mama.

Aku tak habis pikir, sebenarnya siapa sosok kakak di rumah ini?

Aku menghampiri Alfred dan Amelia yang sedang duduk di ruang keluarga. Mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing; Alfred bermain game online, dan Amelia menonton TV. Tampaknya mereka tidak sadar kalau aku sedang berdiri di belakang sofa. Dasar kakak-kakak autis.

"WHAT THE HELL!! LOSE STREAK MULU DARI TADI, JIR!! DASAR TIM NOOB GA ADA AKHLAK!!" teriak Alfred dengan keras, maksudku benar-benar keras, sampai-sampai kedua telingaku hampir tuli dibuatnya.

Amelia dengan kalemnya melempari wajah Alfred dengan bantal. "Berisik, njing."

Alfred mengambil bantal di wajahnya dan melemparnya ke lantai ubin. Biasanya dia akan menyerang balik adik kembarnya itu, tapi tampaknya dia sedang tidak mood untuk berperang.

"AAAAA! KEZEEEL! MASA HERO KALAH TERUS DARI TADI!!!" Aku menutup kedua telingaku rapat-rapat sebelum Alfred kembali berteriak. Kali ini dia hampir saja melempar handphone-nya ke lantai. "Mahal ini, nanti Ayah marah...."

"Lu rese kalo lagi laper," ucap Amelia dingin sambil masih menatap layar TV yang menayangkan iklan produk Lejel Home Shopping.

Tiba-tiba, suara bergemuruh terdengar dari perut Alfred. Kalimat Amelia tadi memang tidak salah.

"Lapeeeer .... Gue nyesel makan sahur dikit ...," gumam Alfred yang dapat didengar oleh kami berdua. Sejujurnya aku juga sama. Bukan hanya aku, tapi kita semua pasti sedang kelaparan sekarang.

Amelia tertawa. "Untung gue makan banyak tadi."

"Jadi, lu masih kenyang sampe sekarang?"

"Nggak."

Mereka pun mulai berangan-angan. Keberadaanku masih belum disadari, jadi aku hanya mendengarkan mereka.

"Gue pengen buka puasa pake Mc'D," kata Alfred. Itu ide bagus. Aku juga ingin sekali-kali buka puasa di sana.

"Ya kali. Lagi korona gini mana bisa keluar," celetuk Amelia. Yah, dia benar. Kita tidak bisa keluar di situasi yang berbahaya seperti ini.

"Delivery lah, bahlul! Pinter dikit napa," kata Alfred dengan nada mengejek. Ah delivery, benar juga! aku tidak kepikiran!

"Tapi gue pengen nasi padang," ujar Amelia. Ya, aku juga ingin.

"Sama satenya Kang Gilbert," timpal Alfred. Ah, membayangkannya membuatku lapar ....

"Bakso Mang Roderich juga," lanjut Amelia. Bakso? Selama tidak dibumbui micin, boleh juga tuh.

"Batagornya Om Willem." Ah, iya, batagornya memang enak.

"Dimsumnya Engkong Yao." Dimsum juga tak kalah lezat.

"Nasi goreng Mbak Kirana." Aku masih mengingat harum makanan itu sampai sekarang.

"Semur jengkol Mas Francis." Oh, semur jengkol terenak yang pernah kumakan seumur hidupku!

"Sconenya Ayah." Scone gosong buatan Ayah–tunggu, apa?

Lalu, perut kami berbunyi dalam irama yang sama. "Lapeeeeeeer ...," lirih kami berjama'ah.

Beberapa detik kemudian, aku kembali tersadar.

Astaghfirullah, gara-gara kedua makhluk autis ini, aku jadi kepikiran makanan lagi. Air liurku bahkan sampai keluar!

"H-hey, sudah jangan bicarakan makanan! Makruh! Lebih baik kalian mengerjakan tugas!" kataku sambil menyentuh pundak mereka berdua. Mereka kaget dengan keberadaanku dan malah berteriak.

"AAAAAAAAAAA!!!"

"AAAAAAAAAAA!!!" Aku ikut menjerit.

Tunggu, kenapa aku berteriak?

Setelah kami selesai menjerit, kami memandang satu sama lain cukup lama. Tapi, aku merasa ada yang aneh. Mereka menatapku seperti predator yang sedang menatap mangsanya.

"P-Pisang?" ujar Alfred tiba-tiba, masih menatapku.

"Al, kau bicara apa? Tidak ada pisang di sini." Aku memasang senyum canggung. Aku harap sifatnya yang mendadak berubah ini bukan salah satu ciri-ciri terinfeksi virus korona.

"Pisangnya ... bisa ngomong!" Sepertinya Amelia juga sedang melantur. Dia menoleh pada Alfred. "Al, pisang segede ini bisa bikin kenyang sampai subuh!" Alfred mengangguk setuju.

T-Tunggu, apa yang mereka maksud pisang itu ... aku?

"PISAAAAAAANG!!!" Kedua anak kembar itu meloncat ke arahku. Aku segera berlari menjauh sekuat tenaga.

"MAMA TOLONG! AKU BUKAN PISAAAAANG!!!"

Mereka mengejarku. Aku terus berlari mengelilingi rumah sambil menjerit hingga akhirnya bertemu dengan Mama. Aku berlindung di balik punggung beliau dengan badan gemetaran. Raut wajah Mama terlihat bingung dengan sikapku. Aku menunjuk pada dua orang yang mirip seperti singa sedang mengejar mangsa, lalu beliau pun mengerti.

"Mes chers enfants, jangan nakal! Atau kalian tidak boleh ikut berbuka puasa!" ucap Mama tegas.

Tatapan Alfred dan Amelia yang sebelumnya seperti predator kelaparan, tiba-tiba berubah menjadi wajah anak anjing penurut yang menggemaskan. Mereka bahkan menirukan suara "kaing kaing". Aku memandang mereka dengan tatapan horor.

".... Ma, apa Mama yakin mereka tidak terjangkit Covid?"

-to be continue-


A/N:
Puasa dah mau beres, tapi buku ini belum beres juga. Maafkan keleletan Author :"

Tiga chapter lagi diusahakan update cepat ✨

Our Ramadhan Story - Fanfiksi Hetalia Edisi RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang