Di Kala Sore

123 17 3
                                    

[Matthew's POV]

Menjelang maghrib, badan terasa semakin lemas. Perut ini tak ada hentinya bergemuruh. Rasanya aku ingin terus merebahkan diriku sampai waktu berbuka tiba.

Tapi hal itu sudah terlebih dahulu dilakukan Alfred dan dia kini telah tertidur pulas di sofa. Dia adalah salah satu dari sekian orang yang percaya bahwa tidur di bulan puasa adalah ibadah.

Aku tahu orang-orang telah salah kaprah dengan hadits itu. Dan kalau aku ikut-ikutan si Kutu Kupred ini, aku hanya akan kehilangan kesempatan untuk beramal. Tentu saja hal itu tidak boleh sampai terjadi. Maka aku pun bangkit dari sofa. Dengan tubuh lunglai, aku berusaha meraih dapur, mengabaikan suara perut yang meronta meminta nasi.

Aroma sedap tertangkap indra penciumanku saat aku sampai di pintu dapur. Baunya seperti—oh, hentikan, Matthew! Jangan mengatakannya! Apapun yang dimasak Mama selalu enak. Aku sudah tahu bahkan tanpa menyebut nama makanannya.

Aku mendekati Mama yang sedang memotong beberapa sayur. "Ma, mau kubantu?" tanyaku.

"Oh, Matthew." Mama menoleh dan tersenyum. "Bisa bantu Mama buatkan sop buah? Buah-buahannya ada di kulkas."

Aku mengangguk dan berjalan menuju kulkas. Kuambil beberapa buah pepaya, melon, kolang-kaling, timun suri, dan cincau lalu kutaruh di meja. Tak lupa dengan talenan dan pisau. Aku pun mulai mengupas kulit buah sambil muraja'ah juz 30.

Saat aku telah selesai menguliti kulit buah dan hendak memotongnya, tiba-tiba Amelia datang mengacaukan segalanya.

"Mama, butuh bantuan?" tanyanya.

Eh? Sepertinya kali ini dia tidak berniat membuat kerusuhan.

"Wah, tumben," goda Mama sambil memasukkan sayuran ke dalam panci. "Biasanya kamu banyak alasan kalau disuruh~"

Mama memang benar, sih. Amelia selalu banyak alasan, inilah, itulah. Aku tak habis pikir. Apakah berpuasa telah menjernihkan pikiran dan hatinya yang penuh oleh lumpur dosa? Hamdalah jika memang begitu–

"Ayah suruh aku bantuin. Kalau enggak, entar ga jadi dibeliin Iphone ...."

–rupanya dia terpaksa.

"Bisa tolong bawain garam?" pinta Mama. Amelia pun mengangguk dan memberikan garam pada beliau.

"Merci, mon chérie~"

Beliau pun memasukkan beberapa sendok teh garam ke dalam panci sup sayur, mengaduknya, lalu mencicipinya sedikit. Amelia yang melihatnya panik seketika. "Ma! Puasa!"

Mama tersenyum. "Nggak apa-apa, sayang. Mama cuma cicipi doang, kok. Kamu nggak mau makan sup yang keasinan 'kan?"

"Oh ...." Amelia mangut-mangut. "Butuh bantuan apalagi, Ma?"

Mama berpikir sebentar. "Hmm, semuanya udah beres. Kamu bantuin adikkmu bikin sop buah aja, ya."

"Okey dokey." Amelia pun menghampiriku dan membantuku menyiapkan sop buah.

"Kena ancaman lagi?" tanyaku—meskipun sudah jelas jawabannya. Amelia mengangguk pasrah.

Kami memotong buah melon, pepaya, timun suri, kolang-kaling, dan cincau, lalu memasukkannya ke dalam mangkuk besar. Kemudian, kami menambahkan sirup M*rjan dan susu kental manis. Tak lupa kami masukkan es batu supaya lebih segar.

Setelah semua masuk ke dalam mangkuk, aku membersihkan kulit-kulit buah yang berceceran di meja dan Amelia mengaduk sop buahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah semua masuk ke dalam mangkuk, aku membersihkan kulit-kulit buah yang berceceran di meja dan Amelia mengaduk sop buahnya.

"Wah, seger nih," gumam Amelia. Aku sedikit curiga dengan kata-katanya itu. Saat aku menoleh lagi padanya, benar saja, ia hendak mencicipi sop buah itu.

"Mel! Sabar! Bentar lagi buka!" kataku panik.

"Enggak apa-apa, kok. Gue cuma cicipi doang. Kalau kemanisan nanti gimana?" ucapnya kalem. Jelas sekali bahwa dia meniru ucapan Mama.

Aku menghela napas dan Mama facepalm.

"Enggak kayak begitu, sayang ...."

-to be continued-

Our Ramadhan Story - Fanfiksi Hetalia Edisi RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang