Tujuh

146 17 19
                                    

• SINCERITY •
AMELIA & LADYNA

***

"Pak Michael sudah menunggu Kakak di atas. Silakan," ujar resepsionis pada gadis berambut panjang dan bergelombang yang baru saja tiba di lobby. Padahal gadis itu tak bertanya, tetapi sudah menjadi kebiasaan jika gadis itu datang, maka Pak Michael selaku CEO MS Entertaiment adalah tujuannya.

"Okay, terima kasih, Mbak Jessy."

Mendengar penuturan Jessy, resepsionis MS Entertaiment, yang mengatakan bahwa sang pemilik agensi tengah menunggunya, gadis cantik itu segera menekan tombol lift menuju lantai lima. Tanpa perlu menunggu terlalu lama, lift itu sudah terbuka, terbukti dengan adanya bunyi dentingan yang melengking.

Setelah sampai dan menemukan pintu ruang khusus CEO, gadis yang masih memakai seragam SMA itu mengetuk pintu berwarna metal itu dengan pelan.

"Masuk!" kata seseorang dari dalam. Setelah mendengar satu kata itulah gadis itu baru masuk ke dalam ruangan.

"Hello, honey!" Michael menutup berkas-berkas yang ada di hadapannya, lalu berdiri untuk memeluk ponakan kesayangannya itu.
"How was your extra? (Bagaimana dengan ekstrakurikulermu?)" tanya pria itu sembari meletakkan teh hangat di meja. Sebuah teh khas Jepang yang sangat ponakannya sukai.

"It was terrible as usual. I am done. But, nevermind, (Menyebalkan seperti biasanya. Aku capek. Tapi, tak apa)"

Gadis berseragam batik dengan warna serba biru tua dari kemeja lengan pendek hingga rok itu memang handal berbahasa Inggris. Bagaimana tidak? Ia adalah salah satu siswi unggulan Global Sevilla School. Sekolah berstandar internasional yang terletak di Jakarta Pusat, tepatnya di daerah Pulomas. Jadi, menggunakan Bahasa Inggris merupakan makanan pokok sehari-harinya.

Seperti katanya, hari ini ia sedang jengkel karena mulai jenuh dengan kegiatan ekskulnya. Jelas karena peraturan sekolah yang kuno dan-menjengkelkan.

Bagaimana tidak? Pemerintah pusat telah memberikan kebijakan bahwa Hari Sabtu adalah libur sekolah, tetapi sekolahnya malah tetap mewajibkan siswa-siswi memakai seragam sekolah selama mereka berada di area sekolah. Meskipun hanya sekadar datang untuk kegiatan ekskul.

"Emangnya ada apa sih, Nes? Bukannya bagus ke sekolah pakai seragam? Membanggakan loh itu," ucap Michael seraya bersandar menikmati secangkir teh hangatnya.

"First, don't call me, Nes. My name is not Agnes. Uncle kapan sih stop panggil aku Agnes? Kalau fanatik dengan nama Agnes, lebih baik Uncle cepetan buat anak lagi, lalu berdoalah semoga dia perempuan, dan kasih nama Agnes!" gerutu keponakannya itu dengan sebal. Pasalnya, namanya bukan Agnes. Nama panjangnya pun tak ada yang berbau Agnes. Tetapi pria ini selalu saja memanggilnya dengan sebutan itu.

"Uncle heran sama Papamu, wajah kamu itu lebih cocok pakai nama Agnes, kenapa dia malah menamaimu-" Gadis itu hanya menghela napas pasrah dengan kelakuan pamannya. "Uncle!"

Michael menghentikan bicaranya dan berganti dengan tawa. Ia paling suka menjahili keponakannya itu. Apalagi kalau marah, rasanya begitu menggemaskan.

Michael sudah sangat dekat dengan gadis dengan nama panggilan Agnes itu karena ia adalah keponakan dari istrinya, bisa dikatakan ayahnya adalah kakak dari istrinya yang asli Indonesia. Sayangnya, gadis itu tidak berminat menjadi penyanyi. Tepatnya, sudah hilang harapannya, entah karena apa.

"Gimana audisi kemarin, Uncle?" tanya Agnes sembari menyesap teh hangat.

"Banyak yang bagus dibanding tahun lalu. Mungkin gara-gara penambahan staff buat merekrut diperbanyak.Uncle sampai bingung mau pilih yang mana. Tapi tenang aja," jeda Michael membuat tatapan keponakannya itu menerawang. "Yang kamu titipkan kemarin udah lolos, bakatnya lumayan bahkan lebih bagus kalau terus diasah."

Sincerity [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang