5. Babak Belur

4 2 0
                                    

Aku ingin kamu tahu, Kevin, aku peduli, namun aku tidak cukup yakin peduliku masih karena suka atau hanya spontanitas kemanusiawian.

--Diona Aerilyn


Bisa dikatakan aku terlampau tekun. Menunggui seorang putri tidur dengan sikap santai di bangku belajarku. Beberapa kali tersenyum geli membayangkan tingkahnya sampai berakhir di ranjangku.

Aku tahu, ini bukan kali pertama Andien menginap di rumahku, namun kali ini adalah kali pertama aku membawanya paksa menginap tanpa persetujuan. Terlalu eksentrik.
Well, setidaknya aku mendapatkan persetuajuan itu dari orang yang paling bertanggung jawab akan hidupnya--Adelio. Tidak bisa dibayangkan jika Adelio benar-benar mendapati keadaannya dalam ketidaksadaran macam semalam.

Sekonyong-konyong, aku mendapatinya membuka mata, kemudian diikuti kerjab singkat. Dia memicing ke arahku.

"Kau bangun pagi sekali," katanya, menguap. Dua detik berikutnya Andien bereaksi berlebihan. Dia sadar akan eksistensinya sekarang. Ini jelas bukan ruang kamarnya.

Sementara dia sedang berusaha berkutat dengan mencermati eidetic runtun kisahnya semalam, aku--yang sudah rapi dengan seragamku tersenyum dan mendekatinya, kemudian mencubit pipinya gemas.

"Kau ngorok Ndien," kataku, membuat matanya membulat kaget.

"Benarkah?" ekspresinya membuatku menahan tertawa.

"Mungkin kamu terlalu lelah semalam," kataku, berharap berhenti melihat ekspresinya yang menggelikan. Aku tidak ingin mempermalukannya, dan pula, ini sudah terlalu siang untuk meledeknya sekarang.

"Bersiaplah, kita akan ke sekolah." Alih-alih menjawab, dia justru memberungut. "Seragammu sudah aku rapikan," jelasku. Tentu aku cukup tahu yang dia pikir dan harapkan. Tak perlu menunggu lama sampai melihat perubahan ekspresi Andien. Dia tersenyum lebar dengan mata terpejam--membuat ekspresi manis. Ah ya ampun, dia memang selalu bisa membuat hati orang menyukainya.

"Kau itu sahabatku atau Ibu periku?" tanyanya, berlagak terharu.

Aku tidak mengacuhkannya, alih-alih berdehem dan memperingatkannya akan waktu yang sedang berjalan dengan ekor mataku ke arah jam dinding. Matanya membulat, terhenyak panik dia lekas menyingkirkan selimutnya dan melompat turun dari kasur. Dia menyambar handuk yang sudah aku sediakan di hanger stand dan masuk ke kamar mandi.

[]

"Ini...." Andien mengamati dengan serius mobil yang hendak dia tumpangi. Tebakannya apropos. Aku melempar senyum.

"Andrean," sahutku.

"Bagaimana bisa?" Andien mengernyit, bingung.

"Bagaimana bisa... teler?" sindirku.

"Untuk yang satu ini aku sudah tidak sadar ya sepertinya?" Andien meringis tak enak. "Aku minta maaf sudah merepotkanmu," katanya, cengengesan.

"Sudah seharusnya 'kan?" kataku. "Aku 'kan sahabat, dan Ibu perimu...." Dan kami pun tertawa bersama.

The Way to Forget YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang