Aku tak pernah meminta untuk dilahirkan. Kalau boleh, aku akan memohon pada Tuhan agar tak pernah dilahirkan. Atau kalau itu berlebihan, cukup tempatkan aku di keluarga bahagia. Tak masalah jika itu keluarga miskin. Yang kuidamkan hanyalah keluarga bahagia, yang mendukung segala usaha baikku.
La Luna Anneliesa, anak tunggal yang lahir dari sepasang suami istri yang usia pernikahannya belum genap lima bulan. Hal itu otomatis membuat title anak haram tersemat padaku sejak pertama kali kuhembuskan napasku di dunia ini. Orangtuaku adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, seperti pasangan pada umumnya mereka bodoh dan dibutakan oleh asmara. Tanpa sadar keduannya telah melewati batas. Mereka berdua adalah alasanku menganggap orang paling bodoh adalah orang yang hamil diluar nikah. Hingga kini, tak sebarangpun mampu membuatku mewajarkan hal itu.
Ayahku setahun lebih tua dari ibukku. Waktu itu, ia menyanggupi perintah nenekku untuk bertanggungjawab. Pernikahan tidak diadakan secara besar besaran. Pernikahan untuk menutupi aib tak pantas dimeriahkan. Hanya sebatas akad untuk menghalalkan hubungan. Sebelumnya, ibu berniat untuk menggugurkanku, namun nenek memergokinnya saat berusaha melakukan aborsi.
"Waktu tak bisa diputar, segala kesalahan yang kau buat haruslah kau selesaikan. Tak pantas jika melimpahkan kesalahan kalian pada bayi yang bahkan belum lahir itu."
Perlahan ibu mulai bisa menerima kenyataan bahwa ia telah berbadan dua, Entah bagaimana, ayah juga mampu mendanai kebutuhan ibu selama masa kehamilannya. Saat ditanya, ia selalu bungkam dan mengalihkan pembicaraan. Meski begitu, rejeki mengalir lancar selaras dengan proses kehamilan ibu. Pada akhirnya kelahiranku pun tiba. Kedatanganku disambut dengan sukacita, seakan aku adalah rahmat titipan Yang Kuasa. La Luna Anneliesa, nenek menyematkan doa dalam nama yang diberikannya agar kelak aku tumbuh menjadi gadis cantik murah hati nan anggun layaknya bulan di malam hari. Meskipun pada kenyataannya doanya tak pernah dikabulkan.
Setelah kelahiranku, para tetangga datang untuk sekedar memberi ucapan. Hanya sedikit berbincang dan wawancara kecil seputar kelahiranku.
"Bayinya prematur berapa bulan mbak?".
"Meski prematur,syukur lahirnya lancar mbak."
"Bayi saya lahir normal, dan tidak prematur Bu." Ucap ibuku lugas. Pada waktu itu ibuku tak berpikir apa dampaknya dikemudian hari bagiku ataupun bagi dirinya sendiri. Pernyataan bodohnya itu membuat semua orang berspekulasi sama bahwa aku adalah anak haram. Gosip itu segera menyebar tanpa bisa dicegah. Semua orang selalu berbisik menggunjingkan saat ibuku berkumpul maupun hanya sekedar lewat.
Sejak kecil aku tak pernah bermain bersama anak anak yang seusiaku. Mereka akan segera berbalik dan pulang saat aku mencoba bergabung. Suatu saat aku pernah memergoki ucapan mereka "Ibuku bilang jangan main sama Luna, dia anak haram"."Memang apa salahnya bermain sama anak haram? Anak haram itu apasih? Aku kan gak pernah ganggu kalian, kok kalian ngata ngatain aku?" Celetukku polos. "Ibu bilang anak haram itu anak nakal, kita cuma gamau dinakali." Balas Shannon, salah seorang dari mereka menjawab gugup. "Aku ga bakal nakalin kalian kali, selama ini akukan juga ga pernah ganggu kalian."
"Nggak mau ah, aku mau pulang aja." Ucap Pinky segera berbalik dan diikuti kedua temannya. Hal itu selalu terjadi padaku ketika mencoba bergabung dengan mereka. Karena penasaran aku pulang dan menanyakan pada ibu. Kulihat ibu sedang sibuk dengan pisau di dapur. Aku memeluk ibu dari belakang dan segera bertanya.
"Bu emang aku ini anak haram ya?"
"Belajar dari mana kamu bicara seperti itu, ibu ga pernah ngajarin jangan diulangin lagi."
"Tadi teman teman ngatain aku anak haram."
"Gausah didengerin, itu ga bener. Kamu kan anak ibu, mana ada kamu anak haram." Balas ibu santai dan kembali memasak. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan tanda setuju.
Ketika aku atau ibu pergi ke pasar atau hanya sekedar lewat, tetangga langsung berbisik seolah gunjingan itu sengaja diperdengarkan padaku dan ibu. Ibu tak ambil pusing dengan itu, begitupula aku. Mereka melakukannya hampir setiap mereka berkumpul. Apakah menurut mereka, orang yang mereka gunjingkan tidak memiliki perasaan dan bisa terluka? Tahun demi tahun berlalu gunjingan dan cemooh masih setia menempel pada suratan takdirku. Dan semuanya semakin parah ketika aku semakin besar.
Ayah kini semakin jarang pulang, ia bilang akan kembali beberapa bulan lagi dan membawa banyak uang. Cemooh para tetangga semakin menekan mental ibuku. Ibu yang tak punya lagi tempat untuk berkeluh kesah berbagi masalah dan mulai melampiaskannya padaku. Anak anak disekolah yang semula hanya menghindariku kini berani mencemoohku terang terangan. Ketika hanya melakukan barang sedikit kesalahan julukan anak haram itu kembali keluar dari mulut mereka. Padahal kesalahan yang kuperbuat tak ada relasinya dengan itu.
Penderitaanku di luar sekolah makin hari makin menjadi. Tak cukup hanya mencemoohku mereka mulai merobek buku bukuku, dan melakukan hal hal buruk lainnya. Tapi tak mengapa, aku selalu diam jika mereka menggangguku. Buku yang mereka robek bisa kutempel kembali, alat tulis yang mereka buang di sampah masih bisa kuambil dan kubersihkan. Bajuku yang mereka lempar tepung masih bisa kucuci. Tapi keteguhan hatiku tak abadi. Sedari kecil aku sudah merasakan pahitnya dunia. Entah mendapat dorongan dari mana, suatu hari saat mereka melempariku tepung dan mencekokiku segelas jus jeruk, tanganku terulur menjambak kuat rambut Xiyeon, provokator grup penindas itu. Kurebut gelas jus dari tangan Shannon dan kutuangkan paksa isinya ke mulut Xiyeon. Tak lama kemudian ku lihat Xiyeon sedikit oleng dan menahan mual. Segera kutinggalkan tempat itu dan menuju toilet untuk membersihkan bajuku.
Terlepas dari penderitaanku disekolah, penderitaan dirumah juga menantiku. Emosi ibu kian hari kian memuncak. Ia bahkan mulai menggunakan berbagai alat untuk menyiksaku. Kukira jiwannya mulai terguncang, tetapi untuk sekedar mengatakannya saja aku tak memiliki nyali. Kerap kali ia akan menuduhku asal mencuri cincinnya, padahal kemarin baru ia gadaikan ke rentenir keliling. Ia juga sering memukulku ketika aku baru menginjakkan kaki dirumah, karena baju baju dikamarnya berantakan padahal pagi tadi ia yang mengeluarkan semuanya dari lemari untuk mematut diri saat pergi ke hajatan temannya. Pagi ini, hariku disambut dengan teriakannya yang melengking. Aku segera menghampirinya dan melihatnya terkapar di lantai.
"Kenapa lantai disini licin sekali, kau tidak mengepel? Kau memang anak sial, hanya bisa menghabiskan uang."
Oh ayolah, siapa yang akan mengepel saat masih pukul tiga pagi? Ia jatuh juga karena terpeleset air yang menetes dari rambutnya yang basah. Setelah berhasil berdiri, ia segera menyambar gelas di meja dan melemparkannya padaku, dan itu pecah seketika saat membentur kepalaku. Pecahannya mengenai bahuku. Nyeri dan perih. Pelupuk mataku tak lagi bisa membendung derasnya air manik yang akan keluar. Air mata mulai meleleh perlahan dipipiku.
"Cengeng. Kau pantas mendapatkannya anak sial"
Terimakasih telah membaca. Mohon maaf bila ada kesalahan. Silahkan tekan bintang dan kritik sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle
FantasyBurung yang terbang tak akan membenci angin. Begitu pula dengan perjalanan yang tak pernah membenci langkah. Hidup adalah tentang bagaimana mengambil keputusan. Tetapi sanggupkah aku mengambil keputusan jika yang kutahu hanya manisnya permen loli se...