Waktu tak mengikis cela. Yang buruk akan bertambah buruk, yang pergi tak kan kembali. Bodoh rasanya jika berharap pada hal yang tak angsal. Sempat terbesit di pikiranku jika ibu akan kembali seiring berjalannya waktu. Ibuku yang dulu, yang menerima dan membesarkanku tanpa peduli cacian orang lain. Tapi tidak, itu hanya harapan imajioner yang tercipta dari delusiku. Pada kenyataannya delusi tak kan pernah jadi nyata.
Aku takkan membantah jika kondisi tak memaksaku. Namun untuk kesekian kalinya, keadaan kembali menekanku dan memaksaku bertindak tak terpuji. Ketika kembali kutapakkan kakiku di rumahku yang dulu, armosfer dingin menyambut kulitku. Kulangkahkan kakiku menuju kamarku. Tatanannya tak berubah. Melesakkan memori pahit kembali mencuat. Merangsang endorphin dan leukephalin membuncahkan sirkuitnya. Lelehan air manik perlahan jatuh membasahi pipiku. Senyap, aku sibuk dengan untaian memori di kepalaku. Sampai ketika umpatan menderai membuyarkan delusiku.
Kuteguhkan nyaliku untuk sedikit mengintip. Ayahku. Entah pintu menuju kebahagiaan atau pintu klimaks kesengsaraan yang akan datang padaku. Kulihat ayah datang dengan kemeja kusut dan penampilan kumal. Ibu tak memberi sambutan yang sepatutnya. Janjinya, hal itu yang ia pertama tanyakan. Janjinya yang akan membawa banyak uang setelah kerja tak pulang pulang. Kurasa kenyataan buruk akan lebih baik jika tidak terungkap, tapi takdir berkata lain. Tak sengaja dari argumen argumen yang dikeluarkan ayah, suatu pengakuan menyakitkanpun ikut terlontar.
"Selama ini aku main judi,"
"Jadi selama ini uang yang kau kirimkan..."
"Ya, seseorang menawariku dengan hasil yang akan berlipat lipat seiring waktu jika aku menang,"
"Tapi resiko kalah juga besar bodoh."
"Kenapa kau tidak..."
"Sudah diam, aku yang cari uang. Kau diam dan nurut saja."
Aku tersentak, lukisan segmentis mengenai paradigma terhadap ayahku berantakan akibat kuas bernama penghianatan.
"Mana Luna. Perempuan itu sudah mati kan? Ayo gunakan dia sebagai sumber uang,"
"Apa maksudmu bodoh, dia anakmu,"
"Heh, kau yang bodoh. Anak itu pembawa sial, dia seharusnya tak pernah ada,"
"Heiii, aku tak sekeji itu, penipu. Pergi kau dari sini, aku tak punya suami penjudi."
"Ck dasar naif, coba pikir kalau dia tidak ada kita bisa berbahagia berdua kan? Tidak ada lagi parasit yang mengurangi jumlah kekayaan kita kan? Memang sudah sepatutnya kita gantian mengambil keuntungan darinya karena selama ini kita sudah menafkahinya."
"Ahh iya juga, dia seharusnya tak pernah ada,"
"Bagus. Suruh anak itu keluar, jika gadis taruhannya uangnya akan besar."
"K-kau yakin?"
"Tentu saja istriku, aku sudah menggeluti hal seperti ini tahunan"
"B-baiklah ku suruh dia keluar,"
DEGG
Lututku mencelos jatuh ke lantai. Setega itukah mereka? Aku ada disini juga karena kebodohan kalian. Aku juga tak mau lahir. Kenapa kalian buang tangan terhadap tanggungjawab kalian?
Aku hanya bisa menangis dan mencoba kabur lewat jendela. Naas, ayahku melihat kelebatanku di teras. Ia segera mengejarku. Kurasakan perih di telapak kakiku karena kerikil kerikil kecil. Namun hanya kabur yang tepikir olehku.
"Berhenti disana anak sial!"
Ayahku mengejarku. Kupercepat langkahku hingga nafasku tak beraturan. Tujuanku hanya satu, kabur. Tak kupedulikan teriakan ayahku dari belakang. Aku sempat berpikir akan pergi ke kantor polisi atau semacamnya untuk berlindung. Tapi, apapun itu, aku harus berlari sebelum ayahku bisa menangkapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle
FantasyBurung yang terbang tak akan membenci angin. Begitu pula dengan perjalanan yang tak pernah membenci langkah. Hidup adalah tentang bagaimana mengambil keputusan. Tetapi sanggupkah aku mengambil keputusan jika yang kutahu hanya manisnya permen loli se...