Luna tersadar ketika usapan lembut menyapu kepalanya. Sesuatu yang sejuk menerpa wajahnya. Dibukanya kedua manik cerahnya itu. Terpampanglah sepasang obsidian gelap yang bersinar lembut dari seraut wajah cantik di hadapannya. Sebuah senyum merekah indah di bibirnya, membuat kerut kerut halus dipinggir matanya.
"Syukurlah kamu sudah bangun. Apa kamu merasa sakit?"
Luna mengerjapkan matanya. Wanita di hadapannya berbicara menggunakan bahasa yang baru pertama kali ia dengar, namun dengan mudahnya ia bisa memahaminya. Puluhan pertanyaan muncul di benaknya kini, yang tentu saja tak bisa dijawabnya seorang diri. Dahi wanita dihadapannya mengkerut cemas.
"Apa kamu merasa sakit?"
Luna spontan membuka mulutnya untuk menjawab, tapi segera ia katupkan dan segera menggelengkan kepalanya.
"Nak?"
Wanita itu semakin cemas, hingga menampakkan kerutan di dahinya yang kian mendalam. Luna menghembuskan nafasnya perlahan, membuka mulut hendak mengeluarkan beberapa kata dalam bahasa Inggris, berharap wanita di hadapannya mengerti.
"Saya tidak apa apa, terima kasih."
Luna kembali terdiam. Kebingungan kembali menyergapnya ketika rentetan kata yang keluar dari mulutnya bukanlah bahasa Inggris, namun bahasa asing yang sama sekali tidak ia ketahui. Wanita itu tersenyum, tak menyadari kebingungan Luna.
"Syukurlah, jika kau baik baik saja, aku sempat khawatir karena beberapa waktu yang lalu kau tak bergerak sama sekali. Rupanya Leluhur Semi melindungimu"
Leluhur Semi? Luna menyipitkan kedua matanya. Kerutan di dahi Luna semakin menjadi ketika wanita itu membantu menyandarkan dirinya ke tiang pualam dibelakangnya. Ia tertegun melihat langit yang dijunjungnya berwarna merah muda, beberapa awan putih berbentuk mawar merekah menghiasinya. Ia menyandar di sebuah tiang pualam berwarna kemerahan. Di depannya terpampang jelas aliran anak sungai dengan jembatan kayu bertabur bunga sakura yang berguguran dari pepohonan di sekitarnya.
"Ini minumlah agar kau lebih segar."
Wanita tadi menyodorkan tembikar silinder dan menyuruh Luna meminumnya. Luna menerimanya dengan kedua telapak tangannya.
"Terima kasih."
Lagi lagi ia tertegun mendengar kata kata yang lolos dari mulutnya. Kilasan air terlihat di dalam tembikar silinder itu. Sebelum menegak isinya, sejenak Luna mengagumi tembikar di genggamannya itu. Tembikar cokelat tua yang menarik, dipoles halus dan dihiasi relief seorang pendekar pedang yang tampak gagah. Perlahan ditempelkannya tembikar itu di mulutnya, menyesap sedikit cairan di dalamnya. Ia mengernyit menyadari rasa aneh dari cairan itu. Ia suka bau dan rasa manisnya, tetapi ia tak suka sensasi panas ketika cairan itu menyentuh kerongkongannya. Dijauhkannya tembikar itu dari mulutnya dan diberikannya kepada wanita itu kembali.
"Kenapa? Apa kamu merasa tidak enak?"
"Ah tidak nyonya, hanya saja air ini terasa aneh."
"Aneh? Tapi itu air dari sungai Akheron, sumber air dari rakyat disini. Apa kau pendatang?"
Luna kembali mengernyit ketika mendengar sungai Akheron. Seingatnya ia hanya berusaha kabur dan menceburkan dirinya ke sungai. Dan akhirnya ia terdampar di negeri antah berantah seperti ini. Meski tak kesulitan untuk berkomunikasi, ia masih merasa aneh karena kefasihannya berbicara bahasa asing ini. Perlahan, ia mulai meyakinkan dirinya dan menjawab wanita itu.
"Iya saya pendatang. Seingat saya, kemarin saya jatuh ke sungai saat sedang melihat lihat."
"Ah begitu, pantas saja."
Wanita itu kembali tersenyum lebar. Sekarang ia dapat memahami reaksi Luna ketika minum air sungai Akheron tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle
FantasyBurung yang terbang tak akan membenci angin. Begitu pula dengan perjalanan yang tak pernah membenci langkah. Hidup adalah tentang bagaimana mengambil keputusan. Tetapi sanggupkah aku mengambil keputusan jika yang kutahu hanya manisnya permen loli se...