Nenek datang dan langsung mencekal pergelangan tangan ibu. Ia menyuruhku mengemas barangku segera. Aku tak tahu harus berbuat apa selain menurutinya. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku. Hanya isakan menyesakkan yang bisa kukeluarkan. Beberapa hari belakangan ini pikiranku terus dipenuhi dengan perasaaan menyesal dan bersalah. Aku takut, tak ada seorangpun yang bisa kujadikan tempat berbagi nasib ketika seluruh dunia seakan menganggapku penjahat tanpa kuketahui apa kejahatanku meski sudah kupikirkan ratusan kali. Namun kali ini, nenek datang bagai superhero ketika aku disiksa.
Nenek mengetuk pintu kamarku dan segera mengajakku keluar. Dia bilang mulai saat ini aku akan tinggal bersamannya. Kami segera keluar menuju rumah nenek. Di perjalanan aku kembali terisak.
"Loh loh kok nangis, kenapa?"
"Maaf ya nek, Luna udah hampir bunuh orang."
"Hush hush, nenek percaya kamu gabakal ngelakuin kayak gitu tanpa alasan. Kamu digangguin kan?"
Kuanggukan kepalaku pelan sambil masih terisak. Nenek hanya tersenyum. Hari ini, hatiku terasa begitu segar. Yang sebelumnya begitu kering kerontang mengemis air, tiba tiba dihujani tirta kasih yang begitu melimpah. Selama ini tak seorangpun yang mempercayaiku, tapi hari ini nenekku datang dan membelaku didepan ibuku hanya atas dasar kepercayaan.
"Harta paling berharga yang melekat selamanya di diri manusia sampai ia mati itu, harga diri. Jangan sampai orang lain mengambil harga diri kita. Kalau kamu diganggu, seharusnya segera laporkan dan kumpulkan bukti. Jangan nunggu sampai dia berbuat lebih jauh seperti ini, akhirnya kamu ga bisa nahan emosi terus balas dia, dan yahh kamu justru terlihat seperti pelaku."
"L-luna cuma gamau cari masalah nek, udah cukup Luna dicaci anak haram, Luna gamau dicaci jadi anak nakal."
"Iya, itu bener, tapi caramu salah. Kalau ketenanganmu diusik jangan diem aja. Besok, kamu sekolah di sekolah deket rumah nenek. Sekolah lamamu biar nenek yang urus. Disana kamu harus jadi murid yang lebih baik ya. Udah, gausah nangis lagi. Ayo cepet jalannya."
Setelah pindah tinggal bersama nenek, kehidupanku 180° berubah. Kini aku bisa beraktivitas seperti murid pada lazimnya. Berteman, berkelompok, bercanda. Tetapi tak ada satupun yang bisa benar benar masuk ke dalam hidupku. Entah mengapa aku selalu membangun tembok pertemanan dengan mereka. Kenangan masa laluku selalu membayang bayangi diriku. Tahun berganti tahun, hari berganti hari. Kutapaki setiap harinya dengan semangat yang membara. Dalam pikirku dipenuhi motivasi untuk takkan menyia nyiakan saat saat bahagia ini.
Semuanya berjalan begitu gangsar. Sampai pada akhirnya, garis berhenti disuatu titik. Titik dimana garis bahagiaku berakhir. Ketika sebuah noktah membuka kembali garis penderitaanku. Bahagiaku lenyap. Konstelasi cakram warna bias hidupku berantakan. Sekelumit rona kelabu menutup binar semburatnya. Hidupku kembali hancur. Apa yang pergi pasti akan kembali. Bahagiaku akan kembali menjadi penderitaan.
Izrail menanggalkan atmanya tanpa pitawat sedikitpun. Ia meregang nyawa ditengah lelapnya tidur. Nenekku pergi untuk selamannya. Meninggalkan senyum yang tersungging di bibirnya. Senyumnya seakan berkata aku harus ikhlas. Tapi aku tak mampu. Aku terlalu egois hanya untuk sekedar mengembalikan apa yang dipinjamkan Tuhan padaku. Hiruk pikuk tetangga menyelimuti atmosfer duka hari ini. Mentari enggan menampakkan binar kehangatannya. Cumulonimbus menghantikan tahta sang , otakku menayangkan rencana rencana yang tak sempat terlaksana di masa depan bersama nenekku. Tanpa sengaja bibirku sedikit tersungging. Sampai akhirnya beberapa untaian kata dari seorang wanita menyadarkan delusiku.
"Disini rupanya kau, Luna"
Suara ibuku. Aku kenal betul dengan tipikal suara ini meski sudah tahunan tak berjumpa. Mengapa ia ada disini? Siapa yang memberitahunya jika nenek meninggal? Kalaupun dia tahu, kenapa repot repot kemari? Aku tak berani menatapnya. Jantungku berpacu lebih cepat seirama dengan ketukan heelsnya yang semakin mendekat. Ia melenggang bebas tepat di seberangku tanpa permisi. Suasana kian tegang dan mencekam. Meski ingin, aku tak sanggup menatapnya. Aku hanya mampu melihat ujung heelsnya dan menyembunyikan ketakutanku dalam getar.
"Hmmm."
Tidak, jangan, jangan bicara. Lewat dan segeralah pergi, kumohon, jangan bicara.
"Akhirnya mati juga."
DUAGHHH
Adrenalinku membuncah tanpa bisa kukendalikan. Sebuah kepalan tinju lolos mengoyak makeup di pipinya. Ya, itu aku. Kulirik metakarpalku terbubuh dengan serpihan foundation sewarna kulit. Ekor mataku menangkap ibuku sedang memegang pipinya yang barusan kutinju. Pandanganku kini tak lagi tertunduk sayu. Kualihkan atensiku pada kedua obsidian bertabir lensa kontak bercorak bunga sewarna anggur itu.
Ibu ya? Cuihh...wanita sepertinya, ibu? Bercanda?
Ditatapnya kedua lensa mataku tajam. Tak mau kalah, aku juga menatapnya sama intens.
"Orang asing tak berhak ikut campur masalah nenek."
Kulayangkan kata kata intimidasi untuk antisipasi agar ia tak menyudutkanku.
"Jika kau masih sayang dengan pipimu, sebaiknya enyahlah sebelum tinjuku merobek tata rias norakmu itu."
Harusnya itu yang kulakukan.
Nyatanya itu hanya skema epik hasil delusi otakku. Pada kenyataanya, aku tak punya nyali sebesar itu. Tubuhku makin terguncang ketika ia menunduk dan berbisik ke arah telingaku.
"Kau, punya wajah seperti dia. Dan itu membuatku ingin melumatnya sampai habis."
Ucapnya mengintimidasiku sambil menunjuk gundukan tanah didepannya.
Aku gemetar setengah mati saking takutnya. Mataku berkaca kaca olehnya. Tubuhku seakan tertimpa beban berat hingga tak mampu bergerak. Ayolah tubuh, mengapa kau diam saja. Otakku terus merangsak tapi tak mampu membuat tanganku bergeser seinchi pun.
"Aku tak mau repot mengurus surat kependudukanmu. Jika masih ingin hidup cepat ikut aku, jika mau mati silahkan. Nenekmu sudah mati juga kan? Alangkah baiknya kau juga segera menyusul, dengan begitu kekayaanku tak akan berkurang untuk membiayaimu. Kudengar kau bahkan tak pernah memakai uang kirimanku, dasar anak tak tahu diuntung. Nada mezzosoprannya ini membuat kenangan kenangan yang sudah mati matian kututup kembali mencuat. Kepingan memori satu persatu terputar dalam otakku. Rumahku yang dulu, segala cacian, suara pukulan, pecahan piring.
Dengan nafas tersengal kunaikan tanganku dan menyumpal telingaku dengan telunjuk berharap agar tak mendengar suaranya yang menginterupsi ingatan burukku untuk mencuat keluar.
"Seharusnya aku tak pernah melahirkanmu."
Kata katanya semakin memojokkanku. Siapapun tolong lenyapkan ingatanku atau buat wanita ini bungkam. Tuhan, kau telah mengambil kembali orang baik yang kupunyai. Kini tak akan ada lagi yang akan membelaku. Tapi setidaknya untuk hari ini saja, bermurah hatilah pada hambamu yang lemah ini, pinjamkanlah aku seonggok nyali untuk melawan wanita ini. Racauku tak jelas seirama dengan tubuhku yang bergetar.
"Heh, anak haram bodoh, apa yang kaulakukan cepat pilih, mati atau ikut aku."
Jemari lentiknya mencekal pergelangan tanganku dan menariknya kuat. Mau tak mau aku mengikutinya. Ia menyeretku ke mobilnya tanpa memedulikan tetangga yang masih bergumul memandang pelik. Mobilnya melaju cepat membelah jalanan menuju perkotaan. Beberapa waktu kemudian mobilnya terhenti didepan sebuah rumah yang familiar. Rumahku yang dulu. Aku tak tahu atas dasar apa ia mau membawaku tinggal kembali di rumah ini.
"Tolol, cepat keluar bodoh."
To be continued...
Maaf apabila ada kesalahan. Silahkan tekan bintang dan mohon komentarnya. Terimakasih telah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle
FantasyBurung yang terbang tak akan membenci angin. Begitu pula dengan perjalanan yang tak pernah membenci langkah. Hidup adalah tentang bagaimana mengambil keputusan. Tetapi sanggupkah aku mengambil keputusan jika yang kutahu hanya manisnya permen loli se...