Aku hanya bisa mematung dikala ibuku berlalu. Emosi membakar hatiku. Aku masuk ke kamar lalu menyambar buku, dan seragam dengan air mata yang masih meleleh. Dengan segera kumasukan ke tas lalu segera pergi keluar rumah. Gelap dan dinginnya malam menyambut hidupku hari ini. Masih 3 jam sampai nanti masuk sekolah. Tapi tetap kuarahkan langkahku menuju sekolah. Aku masuk lewat pintu belakang dan duduk di depan toilet yang dekat dengan kelasku. Mataku tak bisa lagi terpejam. Kuputuskan untuk membaca dan mencoba mengerjakan latihan soal. Ketika jam menunjuk angka enam dan dua belas, aku segera mencuci muka dan berganti baju.
Tak sampai lima menit, aku sampai di depan kelas dan duduk di bangkuku. Kutata buku diatas meja lalu menaruh kepalaku diatasnya. Mataku terpejam, tetapi masih bisa kurasakan anak anak silih berganti mulai berdatangan. Suasana kian meramai. Tiba tiba, pintu belakang tersentak. Suasana yang semula penuh krasak krusuk senyap seketika. Aku masih enggan bergerak sampai sebuah tangan menarik erat rambutku kebelakang. Sontak aku terkejut dan langsung menoleh kebelakang. "Plakkk" Pipiku memanas. Iris mataku menangkap seorang ibu ibu dengan dandanan modis yang telah memelototiku.
"Apa yang kau perbuat pada Xiyeon hah? Kenapa bisa sampai seperti itu? Apakah kau ingin membunuhnya? Ada dendam apa kau dengannya? Dasar anak haram sialan. Hei semuannya, apakah dia selalu terlihat tak bersalah seperti ini saat hampir membunuh orang? Ohhh aku lupa ini pasti didikan ibu jalangnmu itu ya? Ahh benar kau kan lahir dari perzinaan, tidak diinginkan, pasti yang mengalir di tubuhmu itu darah kotor. Cihh dasar anak haram hina."
Air mataku mengalir membasahi pipiku yang memerah. Rasanya seluruh tubuhku dipenuhi dengan gejolak emosi, tapi tak sepatah katapun bisa keluar dari bibirku. Aku tahu aku anak haram, tetapi apa harus di koar koarkan seperti itu? Lagipula, apa salahku? Awalnya Xiyeon yang akan mencelakakanku kan? Oh baiklah, lagi lagi keadilan akan kalah dengan jabatan dan uang. Aku yang hanya anak haram tak akan mungkin menang melawan anak donatur terbesar sekolah. Tanganku mengepal meredam segala emosi ketika mendengar ocehan wanita tak berperasaan itu.
"Heh kau kenapa diam saja, bisu? Tak diajarkan meminta maaf? Sudah hina, tak punya sopan santun, apakah harus aku yang mengajarimu sopan santun hahh? Baiklah kemari anak sialan!"
Ia menyeretku ke belakang kelas untuk mengambil sapu. Dipukulkannya gagang sapu itu ke kakiku. Sakit, tapi lagi lagi hanya tangis yang bisa kukeluarkan. Sampai akhirnya wali kelas melihat adegan itu. "Sudah bu, cukup cukup mari kita bicarakan baik baik secara kekeluargaan." Katanya tegas sambil berlari ke arahku dan menuntun tanganku dan ibu ibu tadi menuju ruang konseling. Kulihat ekor matanya sempat memicing ke arah anak anak lain. Jangan heran jika anak anak tidak membantuku dan tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku kan anak haram, siapa yang mau berteman dengan anak haram? Kalaupun ada mereka akan langsung dibully oleh Xiyeon Cs agar menjauhiku.
Sampai di ruang konseling, ia kembali mencak mencak sambil menarik blazer yang kupakai sampai sobek dan menampakan darah yang merembes dari bahuku. Akupun tak sadar bahuku berdarah.
"Oi oi oi lihat dia, bercak darah dimana mana. Lihat inilah buktinya, dia pasti juga sering berbuat onar sampai mendapat luka yang seperti ini. Dasar hina. Aku mau kau dikeluarkan darisekolah ini sebagai pertanggung jawaban"
Dia berkata seolah aku adalah pihak yang paling bersalah sambil menunjuk nunjukku. Selalu dan selalu aku hanya bisa selalu mengeluarkan air mata. Lidahku terlalu kelu hanya untuk sekedar mengatakan sepatah tidak. Guru Konseling juga kesulitan untuk menemukan solusi permasalahan ini karena ibu itu terus mencak mencak sedangkan aku hanya terus menangis. Beberapa kali dia mencoba menenangkanku agar bisa menjelaskan apa yang terjadi. Dan pada akhirnya keberanian memecut beberapa patah kata keluar dari bibirku.
"Kemarin, Xiyeon, Shannon, dan Pinky melempariku tepung di belakang sekolah. Lalu mereka mencoba mencekokiku dengan segelas jus yang rasanya aneh. Aku merebut gelas itu dan menuangkan paksa ke mulut Xiyeon. Meskipun yang kukatakan jujur, mereka pasti tetap tidak bisa disalahkan kan karena mereka anak donatur, sedangkan aku, aku hanya anak....hiks hiks"
Guru Konseling segera mendekapku ke pelukannya. Ia tahu aku tidak bersalah. Ia tahu selama ini aku yang dirudung. Tetapi ia tidak bisa serta merta mengungkapkan perilaku bejad para anak donatur ini.
"Begini saja bu, karena Luna juga sudah memberi pernyataan meskipun belum tentu valid, bagaimana jika hukuman pertanggungjawabannya adalah skorsing selama 1 bulan?"
"Tidak. Kurang sepadan. Xiyeon hampir mati karena anak sial ini."
"Ahh begini bu, karena tidak adanya cctv di tempat kejadian, kita tidak bisa mengatakann kalau dia sepenuhnya bersalah sebelum adanya saksi. Nah sampai, kita menemukan saksi harap hukuman pertanggungjawaban ini dimaklumi."
Ibu ibu itu mengangguk enggan, setengah hatinya tidak terima atas keputusan ini karena ketidaktahuannya akan kelakuan biadap anaknya. Guru Konseling segera mengambil 4 lembar kertas yang sedari tadi diketik oleh temannya dan menyerahkannya masing masing selembar padaku dan ibu ibu itu. Aku menerimannya pelan namun emosi ibu ibu itu kembali meledak.
"Hehhh, apa apaan ini, dia yang bersalah kenapa Xiyeon juga ikut dihukum? Apa ini yang disebut keadilan? Saya tidak terima ya, anak saya hampir celaka karena makhluk sial ini." Dia kembali mengomel dan menunjuk nunjukku. Dengan sabar guru Konseling kembali menjelaskan padanya.
"Karena tidak ada saksi, pengakuan Luna juga tidak bisa diabaikan. Dan disitu menerangkan bahwa sedikit banyak Xiyeon juga ikut bersalah. Tolong hargai keputusan saya bu."
"Ya. Terserah saja."Ibu ibu itu menyambar tasnya dan segera pergi. Aku masih terisak. Wali kelas dan guru Konseling mencoba menenangkanku.
Karena masa hukumanku berlangsung mulai hari ini, aku melangkahkan kakiku keluar sekolah. Kulanjutkan langkahku menuju rumah. Kulihat keadaan rumah tak jauh berbeda dari beberapa hari yang lalu. Ruang tamu berserakan dengan potongan plastik, dan tumpukan kardus. Kulangkahkan kakiku ke kamar untuk berganti baju dan membersihkan ruang tamu. Setelah selesai, aku masuk dapur dan disambut piring kotor yang menumpuk. Dengan sabar kubersihkan perlahan. Tinggal satu piring lagi sebelum ibuku menjambak rambutku kuat kuat.
"Ini kerjaan kamu disekolah? Dasar anak sial, bisanya menghabiskan uang saja. Mending kamu kerja biar dapet duit kayak ayah, gausah sekolah. Percuma sekolah, malu maluin aja."
Cecarnya sambil menunjuk nunjuk kertas peringatan di tangannya tanpa sesikitpun memberiku kesempatan untuk bicara.
Kakiku merapat ketika gagang sapu mendera betisku berkali kali. Airmataku membanjir menahan sakit. Ibu tak henti hentinya memukulkan sapi itu sampai sebuah teriakan terdengar.
"Astaga, Arabella apa yang kau lakukan hah? Tidak lihat kakinya sudah merah seperti itu? Keterlaluan kamu. Luna, ayo kemasi barangmu kita pergi dari sini!"
Terimakasih telah membaca. Silahkan tinggalkan kritik dan saran di kolom komentar. Jangan lupa tekan bintangnya juga. Maaf bila terdapat kesalahan.
Hai guys, gimana kabarnya? Berhubung besok udah lebaran, saya disini sebagai author mengucapkan minal aidzin wal faidzin bagi yang merayakan. Saya minta maaf atas semua kesalahan yang mungkin saya perbuat. Oiya, berhubung sekarang pandemi Covid-19 makin menjamur, saya harap kalian tidak perlu ikut sholat ied dan silaturahmi terlebih dahulu. Kalaupun terpaksa keluar dont forget wear your mask y'all. Perbanyak cuci tangan and stay save all.
Ps: Sebenernya ini genrenya fantasi tpi kok critanya kek bgini si?
Sabar geng, tunggu dulu ahela. Spoiller nih ye, genre akan berubah seiring bertambahnya chapter. Fyi, bakal ada fantasi, fiksi ilmiah, politik, and maybe comedy. Tpi jan ketawain selera humor gw yg kaku kek kentongan sahur ye guys. Mungkin bkal ada lagi sih tpi gtau jga, gw blom nulis ampe kelar. Oiye, kalo ada yg g paham sama plot nih story atau apapun itu, silahkan tanya ya guy, ntar psti gw jawab. Udeh ah kebanyakan bacot lelah juga. Bubayyy y'all.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Castle
FantasyBurung yang terbang tak akan membenci angin. Begitu pula dengan perjalanan yang tak pernah membenci langkah. Hidup adalah tentang bagaimana mengambil keputusan. Tetapi sanggupkah aku mengambil keputusan jika yang kutahu hanya manisnya permen loli se...