EMPAT

418 52 1
                                    

"Saya mau kamu jadi pendamping saya di pesta."

Mata Khana membulat. Lelaki itu sudah gila sepertinya.

"Mas Asa gila? Nggak. Gue nggak mau." Seru Khana.

"Oke. Kalau begitu aku juga nggak akan datang." Abyasa menaikkan sebelah alisnya menatap Khana. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada dinding bagian luar Warmindo, tangannya ia masukkan ke dalam saku.

"Lah, kok gitu, sih?" Khana mendesah kesal. Alisnya menukik tajam. Wanita itu menatap Abyasa sebal.

Abyasa tersenyum miring, "Aku cuma mengikuti kemauan kamu."

"Kemauan yang mana, hah? Emang kalau Mas Asa nggak dateng itu termasuk kemauan gue?" Khana mendengus. Sepertinya bakat pemaksa yang lelaki itu miliki tak pernah luntur barang sesentipun. Wajah Khana sudah merah padam, perpaduan antara marah, kesal, dan malu jadi satu. Ia marah sekaligus kesal karena ia harus dipertemukan dengan lelaki itu dalam keadaan yang awkward seperti ini. Rencananya, wanita itu ingin belajar memasang muka tembok sebelum ia bertemu dengan Abyasa. Namun, belum juga ia merealisasikan rencananya, Abyasa yang menyebalkan malah sudah duluan muncul dihadapannya.

Abyasa terkekeh menatap Khana yang tengah kesal. Raut wajah itu, raut yang amat ia rindukan. Selama kurang lebih 5 tahun ini ia sama sekaki tak melihat gadis itu. Jangankan melihat, untuk menghubungi gadis itu saja ia tak bisa. Gadis itu seperti di telan bumi setelah kepergiannya.

Memang sejak awal semua ini adalah salahnya. Setelah sampai di Vienna, ia menghapus seluruh informasi yang ia miliki tentang Khana. Lelaki itu bahkan memblokir nomor dan sosial media wanita itu dengan alasan ingin fokus pada sekolahnya. Ditambah lagi, dukungan dari kakeknya yang malah semakin memperburuk suasana. Andaru, kakek Abyasa malah menghapus dan memblokir seluruh akses informasi tentang Khana. Hal itu semakin memperumit keadaan kala Abyasa sadar bahwa lelaki itu tak mampu berjauhan dengan Khana.

Mungkin Abyasa muda kala itu terlalu naif dengan kelakuannya. Toh, bukannya mereka sudah mengikat janji bahwa mereka akan bersama setelah urusan sekolahnya kelar. Tapi, sekali lagi, Abyasa terlalu naif. Ia tak menyadari bahwa apa yang ia lakukan malah membunuh perasaan gadis itu secara perlahan.

"Kamu cantik kalau lagi marah." Abyasa menatap Khana tanpa kedip.

Alis Khana terangkat, giginya tertaut kuat. 'Nggak, ngak boleh baper lagi.' Khana memejamkan mata. Bukan tak mungkin hatinya bergetar lagi hanya karena 5 kata sederhana tersebut. Ya, walaupun rasa sakit hatinya jauh lebih besar, namun tetap saja, wanita itu tak dapat mengelak bahwa rasa cintanya juga sama besarnya seperti rasa sakit hatinya.

Khana menghembuskan nafas berat, ia mencoba menggertak hatinya agar mau berkompromi dengan otaknya. "Mas Asa mau dateng ke pesta atau enggak?" Khana berseru dingin. Wanita itu mencoba mengenyahkan gelanyar-gelanyar aneh di dadanya.

"Kalau kamu dateng, aku juga dateng." Ucap Abyasa kekeh dengan keputusannya.

Khana menghirup nafas kasar, "Oke, kalau begitu gue pulang. Terserah Mas Asa mau dateng apa nggak, gue nggak perduli." Khana segera berbalik meningalkan Asa yang masih terpaku di tempatnya.

"Jangan balik, jangan balik." Ucap Khana pada dirinya sendiri. Separuh hatinya merasa tak rela meninggalkan Abyasa sendirian. Terlebih lagi, ketidakhadiran Abyasa di pesta itu merupakan kesalahannya. Jika saja Bagas pengecut itu tak memintanya konsultasi hari ini, pastilah Abyasa akan hadir di pesta itu.

"Nggak, nggak boleh. Terserah dia mau dateng apa nggak, ini bukaj urusan lo." Khana mencoba menyingkirkan pikiran-pikiran menyebalkan di otaknya. 'Tapi, kalau sampai dia nggak dateng, rumah sakit bakalan kacau.' Sisi hatinya berseru menolak.

Khana mengerang pelan. "Kenapa harus gue yang berada di posisi ini, sih?" Seru Khana frustasi. 'Lo harus selesaiin apa yang udah lo perbuat. Dia ada di sini juga gara-gara lo.' Sisi hatinya berucap lagi.

Khana mendesah frustasi. Wanita itu menghentikan langkahnya, "Oke, kali ini aja." Ucapnya sebelum ia berbalik arah menghampiri Abyasa yang masih berdiri di tempatnya sambil menatap kepergian Khana dengan sendu.

"Kali ini aja. Selebihnya, lo harus belajar cuek." Ucap Khana pada dirinya sendiri. Sejujurnya ia sendiri merasa sangsi dengan ucapannya. Ia sama sekali tak yakin jika ia bisa bersikap cuek pada lelaki itu. Yah, kita lihat saja nanti, sejauh mana dinding besar yang Khana ciptakan mampu menahan gejolak cintanya.

Khana menghentikan langkahnya saat sudah berada di hadapan Abyasa. Wanita itu menatap tajam lawan bicaranya. Abyasa yang ditatap hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai jawaban. "Oke, gue bakalan anterin Mas Asa ke pesta itu. Setelah itu, gue pulang." Ucap Khana setengah hati. Bibirnya mencebik karena rasa kesal yang membuncah.

Abyasa menahan senyumnya. Perhatian wanita itu masih sama, Khana yang tidak tegaan, pikirnya. "Manis." Ucap Abyasa kelepasan.

"Hah?"

Abyasa membulatkan mata saat sadar akan tingkahnya. "Nggak, nggak ada. Jadi kan bareng sama aku?" Tanya Abyasa sambil menahan senyum. Tak dapat dipungkiri, perhatian kecil dari Khana mampu membuat sudut di hatinya bersorak gembira.

"Cuma nganterin doang." Tegas Khana sekali lagi. Bibir wanita itu semakin mencebik menatap wajah menyebalkan Abyasa. 'Kali ini aja. Selebihnya nggak akan.' Khana terus mengulang-ngulang kalimat itu agar akal sehatnya tak terjerumus pada hal-hal diluar kemampuan Khana.

"Oke." Sebuah senyuman kecil lolos dari bibir Abyasa. Lelaki itu berjalan mendahului Khana menuju mobilnya.

Khana mengikuti Abyasa dengan langkah malas. "Kenapa malah jadi runyam seperti ini?" Khana mendesah lagi. Sebagian hatinya merasa tak ikhlas jika ia harus berduaan dengan Abyasa untuk beberapa menit kedepan. Bagaimanapun juga perasaan sakit hati yang tak sengaja ia pupuk selama 5 tahun ini pastilah sudah tubuh dengan lebat.

"Kamu itu manusia, bukan keong. Lelet banget." Seruan Abyasa menginterupsi Khana agar segera kembali pada kehidupan nyata. Khana segera mempercepag langkahnya saat menyadari bahwa ia tertinggal jauh dari Abyasa karena terlalu asyik menyelam dalam lamunannya.

"Kebiasaan. Ngelamunin apa tadi?" Tanya Abyasa sesaat setelah ia tiba di hadapan lelaki itu.

"Bukan apa-apa." Jawab Khana pendek. Wanita itu memalingkan wajahnya, tak ingin menatap Abyasa lama-lama.

"Yaudah ayo masuk." Abyasa memutari mobilnya menuju bangku pengemudi.

"Aku bukan sopir kamu, Na. Duduk di depan!" Seruan Abyasa terdengar saat Khana baru saja memegang gagang pintu belakang mobil.

"Bukan mahrom." Khana mencoba menulikan pendengarannya. Pasti sebentar lagi lelaki itu akan berceramah panjang lebar seperti biasanya. Seperti biasanya? Khana mendengus pelan, bahkan ia masih mengingat setiap hal kecil tentang lelaki itu.

Abyasa tersenyum kecut. "Oke." Lelaki itu sadar, Khananya yang sekarang sudah jauh berbeda dari Khana yang dulu. Khana yang lemah lembut, ceria, perhatian, dan segala macam sifat Khana yang Abyasa suka. Namun kini, Khananya berubah 180 derajat, dan semua ini karena kesalahannya.

🐢🐢🐢

Next nggak nih?

JODOH MASA GITU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang