LIMA

631 67 10
                                    

Abyasa memarkirkan mobilnya di bahu jalan, sekitar 100 meter dari pintu masuk rumah sakit. Sedari tadi, lelaki itu menghela nafas berulang kali akibat keheningan yang tercipta selama perjalanan berlangsung. Tak heran, sejak tadi Guntur Abyasa Gustira sudah mencoba berbagai cara untuk menarik perhatian seorang Jasmine Khana Abiseka. Mulai dari bertanya kabar, menanyainya dengan kalimat sederhana a.k.a basa-basi, hingga menawarinya untuk menepi sebentar, mengingat sejaak tadi dirinya dan Khana sama sekali tak menyentuh makanan saat berada di warmindo. Namun, bukan Khana namanya, jika wanita itu tak menunjukkan sikapnya yang ketus dan cuek bebek pada siapapun. Wanita itu memilih duduk anteng di jok belakang dan menyumpal telinganya dengan earbuds. Bahkan wanita itu tak segan bernyanyi keras mengikuti irama lagu yang berdentum di telinganya saat melihat Abyasa akan mengajaknya berbicara, lagi.

"Udah sampai, kan?" Khana melepas earbuds dari telinganya, memasukkannya pada kotak khusus, lalu menyimpannya di dalam tas selempangnya.

"Hem." Gumam Abyasa. Entah gumaman itu ditujukan pada Khana, atau gumaman karena pikirannya yang sedang berkelana entah kemana.

"Oke. Sesuai janji gue, gue balik." Wanita itu meraih sepatu ketsnya yang ia lepas saat baru saja menginjakkan kaki di dalam mobil.

Seakan tersadar, Abyasa melirik Khana was-was. "Kamu mau pulang sekarang?" Tanyanya panik.

"Yaiyalah. Menurut lo?" Khana menatap Abyasa melalui ujung ekor matanya. Tanganya sibuk menjejalkan kakinya agar bisa masuk dengan mudah ke dalam sepatunya.

"Nggak bisa tinggal lebih lama?" Abyasa masih betah menatap Khana yang sedari tadi memgacuhkannya. Lesabaran Lelaki itu seperti tak ada habisnya. Ia masih anteng dan telaten menjawabi ucapan ketus yang keluar dari bibir mungil milik wanita itu. Mungkin, karena rasa miliknya yang tak pernah berubah sedikitpun pada Khana, yang membuatnya mampu bertahan dalam segala situasi dan kondisi, apalagi jika menyangkut wanita itu. Namun, berbeda jika Abyasa dihadapkan pada sesama jenisnya, mungkin lelaki itu sudah mencercanya dengan kalimat yang tak kalah pedas.

"Oke. Gue pulang." Khana bangkit dari posisinya yang sebelumnya membungkuk. Ia merapikan tas selempangnya yang ikut terjun bebas karena posisi bungkuknya tadi. Tangannya sudab berada di antara angin saat kepalanya reflek menoleh pada Abyasa yang berteriak.

"Jangan!" Tangan lelaki itu segera menyentuh tombol hingga suara 'klik' terdengar. Khana mendengus kesal, dapat dipastikan Abyasa baru saja mengunci pintu mobilnya dengan segaja.

"Kenapa lagi sih?" Tanya Khana sebal. Wajah Khana semakin tertekuk saat mendapati hanya helaan nafas yang ia dapat sebagai jawaban.

"Lo mau apa lagi?" Tanya Khana dengan muka memerah. Emosinya yang ia tahan sejak tadi mungkin akan meledak kali ini. Kali ini, tak ada yang bisa menjamin jika amukan Khana hanya sebatas kalimat-kalimat sindiran seperti biasanya. Dan Abyasa seharusnya tahu itu. Namun, sepertibya lelaki itu memilih mengacuhkan pikiran rasionalnya. Masa bodoh dengan amukan Khana, masa bodoh dengan rasa sakit yang akan ia dapat setelah ini, yang penting Khananya bisa bersamanya kali ini.

Abyasa menghirup nafas banyak-bangak sebelum mengutarakan kalimatnya. "Temani aku kepesta itu." Dalam sekejap, lelaki itu sudah mengganti panggilan akrabnya sama seperti saat mereka masih bersama.

"Heh? Kesambel lo?" Tangan Khana masih setia bertengger di gagang pintu, mencoba membukanya, meski ia tahu, sampai kapanpun pintu itu tak akan terbuka, kecuali dengan izin Abyasa.

Alis Abyasa terangkat, "Kamu nggak takut sama aku?"

Dahi Khana berkerut, menatap Abyasa dengan pandangan tanya. Memang, ia akui Abyasa terlihat sedikit mirip seperti macan garong saat ini. Lelaki itu kalau sudah marah pasti dibabat habis tanpa sisa. Yah, sebelas duabelas dengan Khana. Hanya saja, Abyasa sedikit lebih mengerikan dari pada Khana. "Kenapa harus takut? Lo bukan debt collector." Jawab Khana sekenanya.

Sudut bibir Abyasa berkedut menahan senyum. Wanita di hadapannya ini memang sedikit miring jika diajak berdebat. Dapat dipastikan, kalian tak akan mampu melawannya. Bagi Abyasa, mulut lemes nan pedas milik Khana adalah suatu keajaiban dan daya tarik tersendiri yang wanita itu milik. "Aku ngunciin kamu di dalem mobil, loh." Abyasa menajamkan pandangannya agar nampak semakin mengintimidasi.

"Terus kenapa? Gue harus teriak? Bilang, 'tolong-tolonnngggg...' kayak di sinetron azab itu? Hei, gue nggak bodoh, ya. Semengerikannya lo, lo nggak akan grepe-grepe gue." Ucap Khana dengan percaya diri. "Atau... mau kepala lo gue sleding sampai Vienna?" Khana menunjukkan kepalan tangannya tepat di depan wajah Abyasa.

Sudut bibir Abyasa tertarik lebar, menampilkan sederet gigi putih menawan bak model iklan pasta gigi yang biasa Khana gunakan. Terkadang saat menggosok gigi, pikiran absurdnya muncul bersamaan, seperti, apakah model iklan itu tak pegal tersenyum terus? Ditambah lagi, wajah dengan cengiran yang menampilkan deretan gigi milik model itu dipajang apik pada kemasan kardus pasta gigi. Apa tidak terkena kram wajah jika setiap hari, jam, dan detik harus meringis seperti itu.

"Aduh. Po-pokoknya kamu harus nemenin aku ke pesta." Abyasa memegangi perutnya yang terasa nyeri akibat terlalu banyak tertawa.

Khana berdecak kesal. Matanya menatap Abyasa malas. "Mas Asa nggak lihat ini gue cuma pakai celana kulot, kemeja kucel, sama jilbab hitam, pake sepatu kets lagi. Ya kali mau ke pesta pakai kayak gini." Khana mengangkat kakinya yang terbalut sepatu kets. "Apalagi dari tadi pagi gue belum ganti baju." Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran mobil. Matanya menyipit menatap perubahan reaksi Abyasa. Khana jamin lelaki itu akan ilfeel padanya. Walaupun, Khana sedikit berbohong saat mengatakan dirinya belum berganti baju. Wanita itu selalu menyiapkan baju ganti untuknya jika dirasa ia akan pulang larut.

"Nggak apa-apa. Nggak masalah." Jawab Abyasa cepat. Lelaki itu sepertinya tak terlalu memusingkan penampilan Khana. Baginya, apapun yang dikenakan wanita itu pasti akan terlihat cantik. Lagipula, penampilannya kini tak berbeda jauh dari Khana. Dirinya hanya mengenakan kaus oblong polos warna hitam yang di balut jaket bomber dengan warna senada.

"Ya nggak bisa gitu dong-"

"Yang aku pinginin itu kamu, bukan baju kamu." Potong Abyasa telak. Lelaki itu langsung melepas seatbeltnya, lalu keluar dari mobil. Abyasa berjalan memutari mobil dan berhenti di samping mobil. Tangannya yang kokoh ia gunakan untuk menarik pintu mobilnya, menampilkan sesosok gadis bernama Jasmine Khana Abiseka. Gadis itu menatap Abyasa tanpa kedip, antara bingung dan terkejut.

"Kamu mau tetap di situ atau keluar?" Abyasa membungkukkan tubuhnya agar bisa menatap wajah Khana.

Khana mengerjap beberapa kali sebelum mulutnya terbuka, "Ngapain?"

Abyasa memutar bola mata tak sabar. "Kamu mau turun sendiri apa aku gendong?"

Mata Khana melebar. "Lo gila ya?"

"Udah cepet turun. Ngomelnya nanti aja."

"Gue nggak mau ikut ke pesta lo, ya." Ingat Khana.

"Aku tanya sama kamu sekali lagi. Kamu mau ikut kepesta atau nggak? Pilihan jawaban hanya ada dua. Ya, dan bersedia." Sudut bibir Abyasa berkedut menahan senyum.

"Yah nggak bisa gitu dong-"

"Apa mau aku gendong?" Ancamnya.

Khana seketika terdiam. Wanita itu memilih jalur aman dengan mencangklongkan tas selempangnya, lalu segera turum dari mobil. Ia tahu betul jika Abyasa tak pernah main-main dengan ucapannya. Simpelnya, lelaki itu terlalu jujur dan patuh.

"Nah gitu kan cantik." Senyum yang sejak tadi ia tahan akhirnya terurai juga. "Mau jalan bareng?" Tanyanya.

"Lo duluan." Putus Khana langsung. Abyasa mengangguk, merapatkan jaketnya, lalu berjalan mendahului Khana.

"Nih giti kin cintik." Bibir Khana manyun mengikuti ucapan Abyasa tadi. Wanita itu menatap punggung Abyasa yang berjalan di hadapannya dengan pandangan permusuhan.

"Nggak usah manyun-manyun kayak gitu. Kalau kepingin dicium itu bilang. Nanti kita langsung cus ke KUA." Seru lelaki itu tanpa berniat menoleh sedikitpun.

👉😭👈

Yah. Seperti itu.
Bingung mau ngapain.

JODOH MASA GITU?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang