Hold Me #3

5 1 0
                                    

"Gimana badan lo sekarang, Ham?" Tanyaku pada Arham masih lewat telepon.
"Jas... Jas... Gue.. gue nggak kuat, Jas." Jawab Arham dengan suara yang lemah dan napas terengah-engah.
"Ham, ada apa? Gimana badan lo sekarang?"
"Kepala gue.. sakit banget, Jas. Bahkan gue.. gue nggak bisa.. mata gue.. nggak kuat melek. Air mata gue ngalir."
"Ham, lo minta tolong Nafiz bawa lo ke rumah sakit, Ham."
"Gue nggak mau.. ngrepotin. Lagian.. gue nggak kuat jalan."
"Ham, kirim ke gue nomor Nafiz sekarang."
"Nggak, Jas. Gue udah biasa.. sepuluh tahun.. gue kayak gini. Ini bukan apa.. dibanding asma yang gue punya.. selama dua belas tahun."
"Ham, lo butuh obat gitu nggak? Lo chat ke gue obat yang lo butuh. Gue beliin."
Setelah Arham ngirim pesan tentang obat yang dia butuh, aku pun segera bergegas ke apotek untuk membeli obat dan melanjutkan perjalanan ke asrama mahasiswa kampusnya tempat Arham tinggal.
Aku menghampiri kantor satpam, dan meminta izin untuk masuk. Namun, satpam melarangku karena hanya pria yang diperbolehkan masuk. Aku memutuskan untuk menelepon Arham.
"Ham, lo kuat jalan turun nggak? Gue di depan asrama tapi nggak boleh masuk. Gue mau bawa lo ke rumah sakit."
"Gue nggak kuat jalan, Jas."
"Lo bisa minta tolong temen lo kan?"
"Gue bilang nggak mau, Jas. Ga ngerti-ngerti sih lo."
Aku pun berpikir, tumben Arham sedikit kasar. Biasanya dia kan ga pernah bilang kayak gitu ke aku. Yeahh, positive thinking aja kan. Dia kan lagi sakit
"Ya sudah, Pak. Saya nitip obat ini ke nomor 417 atas nama Arham ya, Pak "
Malam harinya, Arham pun meneleponku.
"Jas, makasih banget ya. Gue udah mendingan sekarang. Gue nggak tau harus bales lo gimana. Lo ngelakuin banyak hal buat gue hari ini."
"Jangan lebay deh. Maafin gue yang nggak bisa nemenin lo, Ham."
"Gue ngrasa seharian lo duduk di kursi samping kasur gue dan lo ngawasin gue, Jas. Lo peduli banget sama gue. Bener-bener makasih."
"Sama-sama, Diot."
"Idiot, maafin gue tadi bentak lo. Tapi gue nggak bermaksud ngebentak, Jas."
"Iya Ham, gue paham kok."
"Jas... I love you." Ucapnya, terdengar benar-benar dari hati.
Speechless. He just said that he loves me for the first time.
"Thanks, Ham."

************************************

Dalam perjalanan dari kampus menuju rumah, aku memutuskan untuk mampir ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan. Saat di depan, aku melihat Haikal yang baru saja keluar dari supermarket. Kebetulan ia lewat di dekatku, jadi kuputuskan untuk menyapa sekadar memanggil namanya. Ia pun datang menghampiriku.
"Eh Jasmin, apa kabar kamu?"
"Baik, Kal. Kamu apa kabar?" Tanyaku balik.
"Baik juga. Gimana kuliahnya? Lancar kan?"
"Iya, doain aja. Kerjaan lo juga aman kan?"
"Aman dong. Kangen nih Jas, sama kamu."
"Orang tua kamu juga apa kabar?" Tanyaku padanya untuk mengalihkan topik.
"Baik. Orang tua kamu gimana?"
"Baik juga."
"Gimana? Udah ada yang stay di hati belum?" Tanyanya.
"Ah, apaan sih. Ya udah ya, Kal. Aku masuk dulu." Kataku.
"Iya, Jas. See you later."
Aku pun memberikan senyuman dan pergi meninggalkannya.
Saat aku akan melangkahkan kaki masuk supermarket, tiba-tiba seseorang datang menahan langkahku. Rupanya Arham-lah yang sudah berdiri di sampingku.
"Jas, tadi kayanya lo bicara sama cowo. Si Haikal? Gue ga liat jelas." Tanyanya.
"I.. iya, Ham. Si Haikal. Gue nggak sengaja lihat dia." Jelasku.
"Gue bener-bener nggak suka." Katanya lalu pergi meninggalkanku.
Aku segera bergegas mengikutinya. Ia segera memasuki mobilnya dan aku mengetuk kencang jendela penumpang supaya ia membukakan pintu. Tak menunggu lama, ia membukakan pintu dan aku segera masuk mobilnya.
"Ham, maafin gue. Gue nggak bermaksud ngobrol sama dia, Ham."
"Terus? Kalian ngomong apa aja?"
"Cuma tuker kabar, Ham."
"Yakin? Itu aja?" Tanyanya membuatku terdiam sejenak.
"Dia juga bilang kangen."
Ia pun memukul steering wheel dengan kencang.
"Bener-bener nyakitin. Kenapa lo nyembunyiin itu?" Katanya sambil meremas kencang steering wheel di hadapannya. Ia menatap ke arahku dan tiba-tiba air mata mengalir ke pipinya.
Kemudian ia meletakkan kepalanya di steering wheel tersebut dah menangis sejadi-jadinya.
"Ham... Ham... Lo kenapa, Ham? Kenapa lo nangis?"
"Lo nggak bisa ngertiin perasaan gue."
"Gue ngerti, Ham. Gue bisa paham. Tapi jangan nangis."
"Terus gue harus apa? Senyum? Ketawa? Sorry tapi gue nggak bisa pura-pura bahagia."
"Ini nggak kayak yang lo kira. Please."
"Terus kenapa lo harus sembunyiin?"
"Ham, gue..."
"Tangan gue.. tangan gue kaku. Tangan gue nggak bisa digerakin." Katanya sambil melihat ke telapak tangan yang menggemggam kencang steering wheelnya.
"Lo tenang, Ham... Tenang." Ucapku sambil membantu melepas genggaman tangannya.
"Gue nggak ngerti, Jas. Gue kenapa?!" Ucapnya masih sambil nangis.
Aku pun mendekat padanya dan kupeluk Arham yang masih sangat sedih dalam pelukanku. Aku pun meletakkan kepalanya di pundakku dan mengelus rambutnya
"Tenang, Ham... Tenang. Lo nggak papa, cuma lagi emosi aja. Lo genggam terlalu kenceng." Ucapku.
Terdengar napasnya yang berat. Terlihat ia sangat lelah.
"Tapi kenapa, Jas? Kenapa lo masih sama dia? Nyakitin banget, Jas." Ucapnya masih dalam pelukanku.
"Tarik napas dulu, Ham. Tarik napas." Saranku, dan ia pun menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Dia cuma masa lalu gue, Ham. Sejak gue ketemu lo, perlahan perasaan itu ilang. Kalau terkadang masih keinget itu wajar, Ham. Dia pernah singgah di hidup gue selama enam tahun. Tapi yang jelas, saat ini hati gue cuma buat lo. Seutuhnya buat lo." Tambahku.
Ia kemudian duduk meluruskan tubuhnya dan menatapku dengan tatapan sedih.
"Gue sayang sama lo, Jas. Gue nggak pernah ngerasain perasaan yang sama buat orang lain. Maafin gue, kalau tentang lo, gue sensitif. Hati gue rapuh, Jas. Jadi tolong jaga hati yang udah gue titipin ke lo. Gue bakal berusaha sebaik mungkin buat jaga hati lo juga. Cinta gue buat lo bukan main. I really love you." Jelasnya panjang lebar. Tanpa sadar air mata di pipiku pun ikut mengalir.


--------------------BERSAMBUNG----------------

Hold MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang