2. Tolong Jemput Aku Sekarang

6 2 0
                                    

Beruntung Luna dapat menemukan telepon genggamnya dalam keadaan utuh. Ia lantas menelepon Erlan, pacarnya. Sambil menunggu teleponnya diangkat, ia memijit-mijit kepalanya yang terasa sakit. Ia benar-benar bingung dengan apa yang barusan ia alami.

"Halo, Sayang? Ada apa malam-malam begini?" terdengar suara Erlan di seberang sana seperti baru bangun tidur.

"Halo, Sayang... Tolong jemput aku sekarang... " Luna terbata-bata dengan sisa ketakutannya.

"Kamu kenapa?? Memangnya lagi di mana??"

"Aku bingung... Aku lagi ada di kamar hotel... Aku nggak tahu kenapa bisa ada di sini..."

"Hahh?? Di hotel? Sama siapa?"

"S-sendiri. Aku bingung... Tiba-tiba aku ada di sini... Ada orang, tapi dia sudah pergi. Cepat jemput aku sebelum dia kembali, Yang... Aku takut..."

"Apa?? Kok bisa?? O-oke, kamu di hotel mana? Aku jemput sekarang!" Erlan langsung bergegas bangun dan mengambil kunci mobilnya.

Luna membaca nama hotel yang tertera pada kertas menu yang tergeletak di atas meja kecil.

"Tolong bawa jaket dan celana panjang juga, ya? Aku nggak tahu baju siapa yang aku pakai ini..."

"Lho, kok bisa??"

"N-nanti kamu lihat sendiri. K-kamu ke sini sekarang, ya? Cepat! Aku takut!"

"Oke, aku ke sana sekarang."

Setelah menutup telepon, Luna beringsut ke tempat tidur dan berusaha meredam gemetar tubuhnya dengan selimut tebal. Jantungnya berdebar kencang bagai genderang, matanya terus mengawasi pintu kamar dengan tegang.

Detik demi detik menunggu kedatangan Erlan terasa begitu lama. Luna bolak-balik memeriksa pintu dan menguncinya berkali-kali. Pemandangan kota di malam hari yang berhiaskan lampu terpampang di luar jendela sedikitpun tak membuatnya tenang. Ia bahkan menutup rapat tirai jendela dan bersembunyi di dalam lemari.

Kurang dari 1 jam kemudian, Erlan datang. Luna langsung keluar dari tempat persembunyiannya dan memeluk pacarnya dengan perasaan lega. Sementara itu Erlan terheran-heran melihat pakaian yang dikenakan Luna. Ia tidak pernah melihat Luna berpakaian seperti itu.

"Baju siapa yang kamu pakai?"

Luna menggeleng, "Aku nggak tahu. Aku sendiri bingung-- Aku risih."

Erlan segera menyodorkan sebuah tas kertas kepada Luna yang berisi jaket dan celana panjang milik adiknya, "Nih, pakai."

Luna segera mengeluarkan isi tas itu dan langsung memakai pakaian yang dibawa Erlan.

"Kamu ingat nggak apa yang terakhir kamu lakukan sebelumnya?"

Luna kembali menggeleng, "Aku cuma ingat kalau aku sedang tidur di rumah. Begitu bangun, aku sudah di sini. Dan tiba-tiba, ada cowok datang..."

"Kamu diapain sama dia? Mana dia sekarang??" Erlan gusar seketika.

"Dia sudah pergi. Aku nggak apa-apa, sih. Tapi aku bingung... Dia panggil aku Maura."

Luna menceritakan semua yang baru saja dialaminya. Erlan mengernyitkan kening. Ia lega Luna tidak apa-apa, tapi ceritanya terdengar begitu aneh. Ia sangat mengenal Luna; gadis itu tidak mungkin bertindak macam-macam, apalagi dengan lawan jenis.

"Bagaimana kamu bisa ada di sini? Kenapa kamu dipanggil Maura?"

"A-aku nggak tahu. Aku juga bingung... Kepalaku sakit..."

Erlan menenangkan gadis itu dengan memeluknya. "Sudah, sudah. Ayo, aku antar kamu pulang. Kita bicarakan ini nanti aja kalau kamu sudah tenang."

*

Kepingan Wajah Luna (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang