3. Aku Bukan Luna, Sayang...

5 2 0
                                    

Malam sudah larut ketika mobil meluncur di jalan yang sepi. Erlan melirik Luna yang duduk di sampingnya. Gadis itu terlihat sudah cukup santai hingga akhirnya tertidur. Ia pun mengecilkan volume radio agar tidur Luna tidak terganggu.

Tak seberapa lama. Erlan mendengar Luna bersenandung kecil mengikuti lagu yang diperdengarkan di radio. Rupanya gadis itu sudah bangun.

"Kak, tolong digedein suaranya, dong. Aku suka lagu ini."

Erlan membesarkan volume radio. Senandung Luna semakin terdengar riang. Ia menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mengikuti irama lagu.

"Kamu kayak anak kecil aja," ujar Erlan tersenyum. Ia senang melihat Luna sudah bisa santai meski terlihat sedikit agak ganjil. Terlebih dengan panggilan "Kak" yang ditujukan padanya.

Luna tidak menjawab, ia terus bersenandung. Ketika lagu itu berhenti dan lagu lain diputar, ia kembali tertidur.

"Jangan-jangan tadi dia mengigau..." Erlan mengernyitkan kening.

Beberapa menit kemudian Luna terbangun lagi. Kali ini tangannya mengambil sesuatu dari dalam tasnya, kemudian ia menurunkan kaca jendela mobil. Erlan memperhatikan Luna dengan heran. Ia kembali merasakan hal yang ganjil. Gadis itu menghisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya keluar jendela.

Sudah lama sekali Erlan mengenal Luna, tapi tidak pernah sekali pun ia melihat gadis itu merokok. Bahkan Luna tidak suka asap rokok. Tapi sekarang Luna terlihat seperti orang yang biasa merokok.

"Sejak kapan kamu merokok, Sayang?"

Luna tidak menyahut. Ia seperti sedang menikmati sekali rokoknya sambil memandang ke luar.

Erlan memanggilnya sekali lagi. "Luna?"

Untuk sesaat kepala Luna masih menghadap ke luar jendela, kemudian menoleh ke arah Erlan dengan kerlingan mata yang menggoda.

Bulu kuduk Erlan berdiri ketika mata mereka saling bertemu. Erlan merasa aneh. Secara fisik gadis di sampingnya adalah Luna yang dikenalnya sejak lama, tapi entah kenapa sekarang gadis itu terasa asing. Sorotan matanya, gestur tubuhnya, semua tampak berbeda.

Luna tersenyum. Senyum yang lain dari biasanya. Erlan mengusap tengkuk dan belakang kepalanya dengan gelisah.

"Aku bukan Luna, Sayang. Yang tadi nyanyi juga bukan," Luna berkata seraya mendaratkan tangannya di atas paha Erlan dengan lembut.

Erlan menelan ludah. Yang baru saja ia dengar itu bukan suara Luna.

*

Kepingan Wajah Luna (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang