4. Welcome back, Luna!

4 2 0
                                    

Luna membuka mata dan mendapati dirinya berada di jok belakang. Matanya memandang ke sekeliling. Dari kaca jendela mobil ia melihat deretan pepohonan yang nyaris tertutup kabut. Ia terlonjak bangun dan mendapati Erlan tidur di jok depan.

"Sayang, bangun... Kita ada di mana?" Luna membangunkan Erlan.

Erlan membuka matanya perlahan dan meregangkan tubuhnya.

"Kita di mana ini, Yang?"

"Em... Di Puncak."

"Hah??? Ngapain kita di Puncak???"

"Welcome back, Luna!" Erlan tersenyum dan mengecup kening pacarnya. Luna keheranan. "Di luar pasti udaranya segar banget. Yuk, ke luar."

Mereka keluar dari mobil, disambut oleh udara pagi yang dingin dan kebun teh serta pepohonan tinggi. Luna melihat ke sekeliling. Mereka benar-benar berada di Puncak!

"Kok kita ada di Puncak?" Luna bingung. Pertanyaannya sedari tadi tidak terjawab.

"Kamu ingat nggak, apa yang terjadi semalam di mobil?"

"Di mobil? Aku kayaknya ketiduran, ya? Aku nggak ingat apa-apa."

Erlan menghela napas sambil merangkul pundak Luna, "Iya, kamu ketiduran, terus bangun, terus nyanyi-nyanyi."

"Masa sih? Aku nggak ingat. Aku mengigau, ya?"

"Sepertinya iya. Terus kamu tidur lagi. Nggak lama kemudian, kamu bangun lagi, kemudian kamu merokok."

"Hah, mana mungkin?? Parah juga aku mengigaunya! Itu rokok dari mana?"

"Dari tas kamu sendiri. Aku tahu kamu nggak merokok. Makanya, semalam aku tanya, tapi kamu nggak jawab. Aku panggil, diam aja."

Erlan berhenti sebentar. Luna tampak kebingungan memikirkan dari mana ia mendapatkan rokok, terlebih lagi bagaimana ia bisa menghisapnya!

"Habis itu kamu ngomong... Kalau kamu bukan Luna, tapi Maura. Dan katanya yang nyanyi sebelumnya itu adalah Lulu, bocah umur 7 tahun."

Luna terkesiap. Kebingungannya berubah menjadi ketakutan. Erlan menatapnya dengan lembut sekaligus iba. Ia mempererat rangkulan di pundak Luna agar gadis itu lebih tenang.

"A-aku mengigau seperti itu??" Luna gemetar. Bulu kuduknya meremang. "Lalu?"

"Kamu nggak mau pulang, malah minta diantar ke puncak. Selama perjalanan kita mengobrol, tapi aku merasa seperti bicara dengan orang lain."

"..."

"Kemudian, kamu minta berhenti di tempat ini... Dan kamu mengajakku... bercinta, di jok belakang."

Mata Luna terbelalak, "Apa??"

"Aku tahu itu bukan kamu. Maura yang melakukannya. Ia menggodaku. Aku bilang aku nggak mau menyakiti kamu, tapi Maura malah marah. Dia baru tenang ketika aku peluk terus semalaman, sampai dia tertidur."

Luna bergidik. Ia ingat mereka keluar dari kamar menuju parkiran. Sesaat setelah masuk ke dalam mobil, ia merasa sangat mengantuk dan akhirnya tertidur. Begitu bangun, mereka sudah ada di tempat ini. Ia tidak merasa melakukan apa yang diceritakan Erlan.

"Waktu di hotel, kamu bilang hal terakhir yang kamu ingat adalah kamu tidur di rumah, kan? Begitu bangun, kamu sudah di hotel. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi ketika kamu tidur. Kamu berubah jadi Lulu atau Maura."

"Jadi... Aku kerasukan mereka ketika aku tidur?" Luna ngeri mendengar apa yang diucapkannya sendiri. Ia tidak tahu siapa Lulu dan Maura. Namun entah kenapa nama itu terdengar tidak asing baginya.

"Tapi semalam itu kamu bukan seperti orang kerasukan. Kamu berubah jadi orang lain. Begitu bangun, kamu menjadi Luna lagi, tetapi lupa dengan apa yang sudah terjadi."

"Kalau begitu aku harus tetap terjaga, supaya mereka nggak merasuki aku lagi. Aku nggak mau tidur lagi."

"Jangan begitu, Sayang. Lebih baik kita ke dokter saja."

"Aku nggak mau mereka mengambil alih diriku lagi!"

*

Kepingan Wajah Luna (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang