Malam itu suasana rumah sakit sangat sepi, semua pasien dan yang menunggui sudah terlelap. Tara dirawat di kelas dua, jadi ada tiga ranjang lain di ruangan itu. Ia melirik jam di ponselnya. “Jam sepuluh,” gumamnya. Entah kenapa ia belum bisa memejamkan mata. Rasanya ia ingin ke kamar kecil. Tara turun dari ranjang, Mila yang menungguinya terbangun.
“Tara, kau mau ke kamar kecil?” tanya Mila.
“Iya,” jawab Tara singkat.
“Ayo biar ku bantu.” Mila memapah dan memegangi botol infus ke kamar kecil yang ada di dekat pintu masuk. “Hati-hati, Ra. Kau bisa memegang botol infusannya?” Tara mengangguk, kemudian Mila membiarkan Tara masuk ke dalam. Selang beberapa menit Tara keluar dari kamar kecil, dan kembali ke ranjang.
“Tara, kau tidak bisa tidur?” tanya Mila sedikit khawatir seraya menyimpan botol infus ke tempatnya.
“Iya. Aku rasa, aku belum mengantuk, entahlah, rasanya pikiranku kacau,” ucap Tara dengan kepala tertunduk.
“Apa yang kau pikirkan? Masalah biaya rumah sakit? Bukankan itu sudah kita bicarkan, kau boleh meminjam uangku, kau tidak perlu mengkhawatirkan itu,” tutur Mila tulus.
“Kau sudah terlalu baik padaku, Mil. Aku tidak enak padamu, aku tahu kau sendiri sedang butuh uang itu untuk bayar uang semester. Apalagi kata dokter besok aku harus melakukan ct scan. Kau tahu, biaya itu sangat mahal, Mil. Aku tidak bisa melakukan ct scan itu,“ tutur Tara dengan suara yang sedikit tertahan karena ia takut suaranya mengganggu pasien lain.
Mila menggeleng, tidak setuju dengan ucapan sahabatnya itu. “Tidak Ra, kau harus melakukan ct scan itu, kau dengar apa kata dokter kemarin? Mereka takut ada sesuatu yang serius di kepalamu karena benturan itu.”
“Tidak, aku rasa aku baik-baik saja, dan kepalaku juga tidak sesakit kemarin. Ini akan baik-baik saja. Dokter hanya melebih-lebihkan. Dengan meminum obat secara rutin aku pasti akan sembuh total.” Tara berusaha meyakinkan Mila, tapi lebih tepatnya meyakinkan dirinya sendiri.
Mila melihat mata Tara berkaca-kaca, ia bisa merasakan bagaimana perasaan sahabatnya itu sekarang. Hidup sendiri di Jakarta tanpa ada orang tua atau saudara. Keluarganya di Bogor tidak peduli padanya, mungkin Kecuali bibinya yang di Tanggerang.
Tara tidak mau memberi tahu bibinya tentang keadaannya sekarang, ia tidak mau bibinya khawatir. Tara tahu dengan membiayai kuliahnya saja, bibinya sudah sangat kesusahan. Ia tidak mau membebaninya lagi dengan biaya rumah sakit.
Mila mengusap bahu Tara menguatkan. “Baiklah terserah kau saja. Sebaiknya kau tidur sekarang.” Mila menarik selimut Tara.
“Baiklah. Mila, tolong ambilkan dulu ponselku, aku belum men-silent-kan nada dering ponselku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss Me Softly (End)
General FictionPerlukah move on? Apakah kita harus mengubur cinta yang benar-benar kita cintai lalu mencari cinta yang lain? Apakah kita mampu mencintai cinta yang lain sedangkan cinta yang dulu tetap menjadi penghuni seluruh hati, jiwa, dan pikiran? Masih perluka...