Tara menunduk, ia tidak berani sedikit pun melihat wajah Raffa, karena ia tahu wajah pria itu akan lebih menakutkan dari hantu terseram di dunia. Setelah menelepon Mila, Tara kembali ke ruang tamu, jemarinya memainkan ujung bawah kausnya untuk menutupi rasa takutnya. Setelah mengumpulkan keberanian, barulah dia berani berucap, "Maafkan aku, sekarang Mila tidak bisa ke sini. Sekarang dia sedang di perjalanan ke bandara mengantarkan ibunya ke Medan. Aku benar-benar minta maaf Raffa. Kau boleh marah padaku sekarang, atau kau boleh minta apapun padaku sebagai permintaan maafku."
Raffa berdiri lalu mendekati Tara yang sedang berdiri dengan kepala tertunduk ketakutan di ambang pintu. Saat pria itu mendekat, sejenak ia memejamkan mata mengumpulkan kekuatan agar bisa menatap wajah pria itu.
Tarik napas ... keluarkan ... huft ... tenangkan diri. Tara membuka mata dan menatap Raffa yang sudah ada di depan matanya.
"Apa kau bilang? Temanmu tidak bisa ke sini? Kau tahu tidak arti buku itu untukku? Buku itu sama saja dengan dompetku. Kau sudah menghilangkan bonusku dan separuh gajiku. Sebagai anak kost sepertimu, apa yang akan kau berikan untuk mengganti semua uangku!" Raffa mengeluarkan suaranya lebih keras dari yang sebelumnya, hingga penghuni kost yang lain merasa terganggu dan menyundulkan kepala mereka di pintu kamar masing-masing.
Tara menoleh ke belakang, sekarang ia sadar, tamunya sudah membuat kegaduhan dan mengganggu teman-temannya. Semua raut wajah temannya seolah bertanya, 'Ada apa Tara?' Tara kembali menatap Raffa.
Hari ini seperti mimpi buruk. Sungguh. Mata hitam Raffa menatap tajam seperti silet, dan Tara seperti tercabik-cabik karenanya. Gadis itu sudah terbiasa dengan sikap buruk keluarganya sendiri dan itu tidak terlalu menakutkan, tapi diperlakukan seperti ini oleh orang yang baru dikenalnya, terlebih sebelumnya ia sempat mengagumi ketampanan pria itu, rasanya sangat menyakitkan. Tara berharap malaikat maut menjemputnya saat itu juga.
Perlahan mata Tara mulai memerah, dadanya sesak, ia menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan pria itu, sungguh, itu akan sangat memalukan.
"M_maafkan aku, aku sungguh-sungguh minta maaf padamu. Kau benar, aku hanya seorang anak kost miskin yang tidak mampu mengganti bonusmu dan separuh gajimu. Makanya kau boleh menyuruhku apapun itu, untuk menebus semua dosaku padamu."
"Maksudmu, kau mau jadi pesuruhku?" tebak Raffa. Di belakangnya, terlihat Dylan geleng-geleng kepala. Ia merasa sahabatnya sudah sangat keterlaluan. Pria berwajah oriental itu bangkit lalu menyeret Raffa keluar .
Tara melihat Dylan memegang bahu Raffa dan mengatakan sesuatu padanya. Gadis itu tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Raffa menyimak ucapan Dylan dengan wajah memberengut, setelah itu ia menoleh ke arah Tara dengan kesal. Tanpa sadar Tara menelan ludah saat Raffa menatapnya. Pria menyebalkan itu kembali menatap Dylan yang masih berbicara. Raffa menggeleng kemudian berkata sesuatu dengan singkat. Dylan melumat bibirnya lalu mengatakan sesuatu lagi pada Raffa.
Dylan melepaskan tangannya dari bahu Raffa lalu mengangguk seperti telah menyepakati sesuatu, tapi seperti orang menyerah. Walaupun tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dari gerak-geriknya Tara bisa mengerti.
Raffa menatap taman, membelakangi Dylan.
Dylan kembali masuk ke dalam menghampiri Tara yang masih tetap berdiri di tempatnya dengan rasa takut.
Pria tampan itu tersenyum hangat pada Tara, sebuah senyuman menenangkan seperti sebelumnya. Entah kenapa Tara merasa Dylan seperti malaikat penolongnya, wajahnya teduh, sorot matanya seperti mata air, dan Tara mampu bernapas lega ketika melihat wajah itu.
"Hm." Dylan berdeham pelan sebelum mengucapkan sesuatu pada Tara. Ia berusaha memasang wajah ceria di depan gadis itu. "Tara, aku minta maaf atas sikap temanku itu, dia memang seperti itu. Sifatnya buruk, tapi kalau kau sudah benar-benar mengenalnya, sebenarnya dia orang baik, percayalah padaku. Saat ini Raffa benar-benar marah padamu, aku susah membujuknya. Katanya kalau kau mau dimaafkan, besok datanglah ke kafe Britc jam lima sore."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss Me Softly (End)
General FictionPerlukah move on? Apakah kita harus mengubur cinta yang benar-benar kita cintai lalu mencari cinta yang lain? Apakah kita mampu mencintai cinta yang lain sedangkan cinta yang dulu tetap menjadi penghuni seluruh hati, jiwa, dan pikiran? Masih perluka...