Raffa melemparkan ponselnya dengan keras ke tempat tidur. Ia baru saja dihabisi oleh Beni karena tidak menyetorkan beritanya. Dan ini adalah sore terburuk yang pernah ada.
‘Semuanya gara-gara gadis itu. Sial!’ Raffa ngedumal dalam hati. Besok di kafe Britc, dia akan memberi pelajaran pada gadis itu. lihat saja nanti.
Beberapa hari ini suasana hati Raffa sangat muram. Semuram cuaca Jakarta yang selalu diselimuti awan hitam. Raffa merebahkan tubuhnya di tempat tidur, matanya menatap langit-langit namun pikirannya melayang entah kemana.
Dia memikirkan pekerjaannya, memikirkan kehidupan sebulan kedepan tanpa bonus dan gaji yang dipotong, dan dia memikirkan apa yang harus dilakukan besok pada gadis itu, biar dia tahu rasa, dan rasa kesal padanya sedikit berkurang.
Mata Raffa melirik jam dinding yang menghadap ke tempat tidur, pukul setengah tujuh, sebentar lagi ibunya pasti mengetuk pintu kamarnya untuk menyuruhnya makan malam.
Satu keuntungan beberapa hari ini diam di rumah adalah ibunya yang memastikan dia makan dengan teratur. Dan dengan makan makanan yang sehat. Selama ini Raffa sudah terlalu sering makan makanan junk food. Di umurnya sekarang yang sudah dua puluh sembilan harus sudah mulai memerhatikan makanan apa yang ia makan, bukan? Agar tidak menyesal di hari tua.
Mata Raffa beralih menatap setumpuk kertas-kertas yang sudah dia kumpulkan selama lima tahun ini dan menumpuk begitu saja di kolong meja kerjanya, sebenarnya dia ingin menyalin artikel-artikel itu ke laptopnya agar tidak tercecer dan hilang, tapi ia tidak punya waktu, akhirnya artikel-artikel itu dibiarkan begitu saja.
Raffa terduduk di tempat tidurnya. 'Ah, aku tahu sekarang.' Raffa memekik dalam hati, sedetik kemudian seulas senyum jahat terpancar dari bibirnya.
***
Dengan susah payah, Raffa memasukan dua tumpuk kertas yang diikat dengan tali rapia ke mobilnya. Ya, setelah dipaksa oleh ibunya untuk memakai mobil sementara waktu, akhirnya dia setuju karena melihat mata ibunya sampai meneteskan air mata saat membujuknya waktu makan malam kemarin.
Raffa sudah ada di balik kemudi, lalu dia mulai melajukan fortunernya dengan pelan ke kafe Britc. Sekarang dia akan bertemu dengan Tara. Setengah jam di perjalanan, dia pun tiba di Britc.
Sore ini suasana kafe lumayan ramai, hampir semua meja terisi oleh pengunjung. Pandangan Raffa berkeliling ke seluruh sudut Britc. "Gadis itu belum datang," gumamnya sendiri.
Raffa mendapatkan meja yang masih kosong dekat dengan cubicle kasir. Pria berrambut gondrong itu menyimpan dua tumpuk kertas itu di atas meja, lantas melepas tas punggungnya ke atas tumpukan kertas itu, lalu duduk dengan santai seraya mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya. Dia mencari kontak hendak menelepon seseorang.
Raffa menemukan kontak tersebut lantas menekan tombol call. Baru dua kali nada sambung itu terdengar sudah ada jawaban.
“Halo, kau di mana? Aku sudah sampai di Britc," sahut Raffa.
“Oke, kau ke sini sekarang, cepat!” lanjutnya lalu menutup telepon.
Raffa melihat-lihat buku menu yang ada di meja. "Hmm menunya semakin bervariasi," gumamnya. Mata hitamnya tertuju pada sebuah menu. ‘Sepertinya ini enak.’ Sebuah kue dark cokelat dengan toping kacang almond ditambah saus cokelat dengan sensasi mint. Kemudian pandangannya beralih pada minuman. ‘Oke, ini saja.’ Pilihannya jatuh pada minuman segar berwarna putih tapi ada krim berwarna biru di atasnya. Minuman itu bernama soda blue.
Tak lama orang yang tadi ditelepon datang menghampirinya. Orang itu datang dari belakang kafe. Lelaki jangkung berkulit putih, berwajah oriental, namun tetap manis dilihat itu adalah Dylan, sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kiss Me Softly (End)
General FictionPerlukah move on? Apakah kita harus mengubur cinta yang benar-benar kita cintai lalu mencari cinta yang lain? Apakah kita mampu mencintai cinta yang lain sedangkan cinta yang dulu tetap menjadi penghuni seluruh hati, jiwa, dan pikiran? Masih perluka...